Investigasi eksklusif dari Politico mengungkapkan percakapan pribadi selama berbulan-bulan di kalangan pemimpin Young Republican dari berbagai negara bagian melalui Telegram, yang menggambarkan strategi rasis dan fasis yang mengkhawatirkan.
Lebih dari 2.900 halaman percakapan Telegram yang diperoleh publikasi tersebut menunjukkan penggunaan berulang terminologi kekerasan, anti-Black, dan antisemit, termasuk frasa “Saya cinta Hitler.” Anggota grup tersebut memuji serangan seksual yang brutal dan kerap menggunakan hinaan rasis, ableis, dan seksis. Beberapa bahkan mengangkat citra Holocaust saat membahas lawan politik serta menggunakan kode-kode supremasi kulit putih dengan santai. Banyak dari mereka meniru narasi yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh konservatif seperti Tucker Carlson dan Charlie Kirk.
Beberapa nama yang terlibat dalam kebocoran ini antara lain Wakil Ketua Young Republican Kansas, William Hendrix, dan para pemimpin Young Republican Negara Bagian New York, Bobby Hendrix dan Peter Giunta, serta seorang pegawai pemerintahan Trump, Michael Bartels. Giunta menyatakan dalam pernyataannya bahwa kebocoran ini merupakan bagian dari upaya pembunuhan karakter yang ditargetkan, tetapi tidak membantah isinya secara kategoris. Sementara itu, pemimpin Young Republican lainnya telah mengutuk percakapan tersebut, dan Gedung Putih menyangkal adanya afiliasi dengan kelompok pecahan Young Republican. Secara keseluruhan, kelompok ini merupakan bagian dari gelombang baru aktivis Partai Republik, yang banyak di antaranya memimpin upaya untuk mengembalikan Presiden Donald Trump ke jabatannya pada tahun 2025.
Administrasi Trump dan sekutu Republik mereka yang vokal tidak segan menggunakan media sosial dengan cara yang semakin kontroversial, termasuk membagikan postingan rasis dan xenofobia, mendukung aksi anti-LGBTQ, dan menyasar pembangkang individu secara langsung. Secara umum, obrolan grup telah menimbulkan sejumlah masalah tersendiri bagi para pemimpin konservatif, termasuk percakapan Signal yang sempat terbongkar antara para pemimpin pertahanan teratas negara, Wakil Presiden JD Vance, dan pemimpin redaksi The Atlantic. Di belakang layar, jaringan percakapan Signal yang kuat antara pemimpin industri swasta dan figur politik membentuk dasar kampanye pemilihan ulang Trump dan pergeseran cepat dukungan politik, seperti didokumentasikan dalam investigasi mendalam oleh Semafor.
Pekan lalu, pesan Signal yang bocor antara penasihat Gedung Putih teratas menunjukkan bahwa Menteri Pertahanan Pete Hegseth sempat mempertimbangkan untuk mengerahkan pasukan infanteri Angkatan Darat ke-82 ke Portland, yang saat ini menjadi titik panas bagi penindakan Trump terhadap yang disebut organisator ANTIFA. Dilaporkan pertama kali oleh Minnesota Star Tribune, percakapan tersebut tampaknya menunjukkan bahwa pemerintahan Trump masih mengandalkan platform pesan terenkripsi pihak ketiga untuk membahas operasi pemerintah yang sensitif—meskipun terdapat kekhawatiran berkelanjutan terkait privasi dan reputasi.
Topik: Social Good, Politik