Memori adalah bahasa yang kita gunakan untuk menceritakan kisah hidup kita—sebuah bahasa yang terus berubah.
Dalam beberapa dekade terakhir, ilmuwan telah menunjukkan betapa mudahnya memori kita dibentuk. Ketika kita mengingat sesuatu, kita tidak benar-benar mengingat masa lalu; melainkan, kita mengingat ingatan kita tentang masa lalu itu sendiri. Dan setiap kali kita menyelami sudut-sudut pikiran kita, detail dari ingatan tersebut dapat bergeser sedikit demi sedikit karena berbagai alasan, termasuk keadaan emosional kita saat ini.
Biasanya, sistem ini bekerja dengan cukup baik. Namun terkadang, kita dapat menciptakan atau bahkan dipaksa untuk membentuk memori palsu tentang peristiwa yang tak pernah terjadi, sebuah fenomena yang kadang memicu kepanikan moral dan vonis yang salah.
Meski terdengar menakutkan, beberapa neurosaintis mulai mengeksplorasi implikasi positif dari memori yang berubah-ubah. Jika memungkinkan untuk menginduksi memori palsu yang traumatis pada seseorang, misalnya, mengapa tidak menciptakan yang menyenangkan? Atau mungkin kita bisa menghapus memori traumatis nyata yang sangat berkontribusi pada depresi seseorang, atau setidaknya mengurangi beban emosional dari ingatan-ingatan tersebut. Beberapa orang juga mungkin mendapat manfaat dari intervensi yang memungkinkan mereka untuk lebih mudah mengingat memori yang lebih bahagia di saat-saat sulit.
Pada tahun 2012, Steve Ramirez—saat itu masih seorang mahasiswa doktoral—dan rekan-rekannya di MIT mulai mempublikasikan penelitian yang membantu mendorong bidang manipulasi memori yang kini berkembang pesat. Mereka menunjukkan bahwa memungkinkan untuk secara fisik dan andal menanamkan memori palsu di dalam otak tikus laboratorium.
Dalam bukunya yang akan datang, How to Change a Memory: One Neuroscientist’s Quest to Alter the Past, Ramirez merinci penelitian neurosains awal yang membuat eksperimennya mungkin, kemajuan pesat yang telah ia dan ilmuwan lain capai sejak saat itu, dan masa depan yang luas yang terbentang di depan bidang ini. Buku ini bukan hanya ringkasan singkat tentang penelitian memori, melainkan juga sebuah kisah yang menarik dan terkadang menyedihkan tentang perjalanan pribadi Ramirez dalam mengejar penelitian ini. Inti dari perjalanan ini adalah ingatannya akan mentornya, partner riset, dan sekaligus temannya, Xu Liu, yang meninggal secara tak terduga di usia 37 tahun, tak lama setelah kolaborasi profesional mereka di MIT berakhir.
Gizmodo menghubungi Ramirez untuk berbicara tentang asal-usul bukunya, etika dalam memanipulasi memori, dan alasan mempelajari kelemahan mengingat justru membuatnya menjadi seorang optimis. Percakapan berikut telah disunting ringan untuk kejelasan dan tata bahasa.
Ed Cara, Gizmodo: Buku ini merupakan perpaduan antara ilmu memori dan memoar. Apakah ini sesuatu yang sudah Anda rencanakan dari awal, atau ide yang muncul selama proses penulisan?
Steve Ramirez: Saya punya jawaban dua lapis.
Saya tahu bahwa saya selalu ingin menulis buku. Itu adalah impian masa kecil saya sejak menjelajahi tempat-tempat seperti Barnes and Nobles sewaktu tumbuh dewasa dan sekadar tersesat di toko buku.
Saya selalu berpikir akan sangat mengagumkan untuk menghasilkan sesuatu yang suatu hari nanti bisa berada di sana. Saya tidak benar-benar tahu apa yang akan saya tulis; saya hanya tahu bahwa itu adalah tujuan saya untuk menulis buku secara umum. Dan saya juga tumbuh dengan banyak mengonsumsi nonfiction. Jadi orang-orang seperti Oliver Sacks, Steven Pinker, dan Mary Roach. Saya sangat menyukai pendekatan mereka dalam menulis buku.
Tapi harus diakui, buku-buku semacam itu selalu membuat saya merasa, “Ini semua terdengar hebat. Saya hanya berharap tahu sedikit lebih banyak tentang elemen manusia yang terlibat dalam menghasilkan semua penemuan besar yang mereka bicarakan dalam buku-buku mereka.” Jadi saya pikir ketika saya mulai menulis buku, satu-satunya cara saya bisa menceritakan kisah ini adalah dari sudut pandang pribadi. Karena saya adalah seorang pribadi dan juga seorang saintis.
Biasanya, dunia cenderung hanya melihat hasil dari pekerjaan Anda, penemuan atau makalah ilmiahnya. Tetapi elemen manusia adalah bagian yang selalu saya rasa hilang, sesuatu yang masih sangat menjadi bagian dari diri saya. Jadi saya ingin menyisipkan suara itu di dalamnya sebanyak mungkin, agar bisa sebagus mungkin. Dan harus diakui, itu adalah bagian tersulit dari seluruh perjalanan ini, karena di situlah saya harus benar-benar belajar mengubah pikiran yang rumit menjadi kata-kata, apalagi menjadi tulisan, dan menjadi sebuah narasi. Tapi itu juga bagian yang paling berharga karena saya merasa memperoleh semacam bahasa baru untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan saya sendiri tentang sains, tentang persahabatan saya dengan Xu, dan tentang penemuan-penemuan yang kami buat.
Saya merasa jika saya bisa memberikan pembaca pandangan sedekat mungkin 360 derajat tentang apa artinya menjadi seorang pribadi yang melakukan sains, maka saya telah menghasilkan jenis buku yang sangat saya dambakan, bisa dikatakan, sejak kecil.
Gizmodo: Bisakah Anda memberikan gambaran umum tentang ilmu pengetahuan seputar manipulasi memori? Seberapa jauh kemajuannya sejak studi yang Anda dan Liu lakukan lebih dari satu dekade lalu?
Ramirez: Jujur saja, ini benar-benar menakjubkan.
Saya sebutkan di bagian akhir buku tentang bagaimana yang awalnya hanya satu makalah dan satu poster bersama Xu dan saya telah berubah menjadi jauh lebih banyak. Kami baru saja mengadakan pertemuan di Irlandia tahun lalu yang dihadiri oleh beberapa ratus peneliti dengan puluhan poster. Itu adalah pertemuan yang sepenuhnya didedikasikan untuk topik ini yang sebenarnya tidak ada satu dekade, atau satu setengah dekade yang lalu. Jadi bidang ini telah menjadi sangat luas, baik dalam teknik maupun konsepnya.
Ini agak membuat pusing dalam segala hal yang terbaik karena saya pikir ini adalah semacam renaisans mini dalam penelitian memori yang bisa kita harapkan.
Tidak hanya ada ratusan proyek yang berfokus pada upaya memanipulasi engram [catatan: engram diyakini sebagai jejak fisik memori yang tercipta di otak] dan meneliti aplikasinya, tetapi kini telah lahir generasi-generasi baru ilmuwan di bidang ini yang berupaya mengikis perlahan teka-teki cara kerja memori. Maka, sungguh menginspirasi sekaligus membingungkan menyaksikan bidang ilmu ini mencapai masa kejayaannya.
Sebagai gambaran singkat—mengingat bidang ini telah berkembang begitu pesat dalam lima belas tahun terakhir. Awalnya hanya kemampuan kita untuk mengaktifkan satu memori spesifik secara buatan di otak, kini telah bertransformasi menjadi serangkaian kisah sukses beruntun. Kita telah berhasil memulihkan memori yang mulai hilang dalam berbagai kasus, mulai dari amnesia, penyakit Alzheimer, deprivasi tidur, hingga adiksi. Bahkan kini kita dapat mengaktifkan memori positif dalam berbagai konteks, baik pada model depresi, kecemasan, dan lain sebagainya.
**Gizmodo:** Terapi berbasis temuan ini sepertinya akan segera terwujud. Namun, bagi banyak orang, riset semacam ini juga membangkitkan kekhawatiran ala Hollywood tentang kontrol pikiran massal atau masa depan menyeramkan lainnya (*Total Recall*, *Inception*, dll). Bagaimana kita memastikan bahwa manipulasi memori akan dilakukan secara etis, terutama ketika mulai diterapkan dalam dunia medis?
**Ramirez:** Kita harus terus menjalankan percakapan yang transparan antar semua pihak. Baik itu tingkat tertinggi di menara gading, tingkat dasar, maupun masyarakat awam. Semua pihak memiliki kepentingan di sini, karena ini berkaitan dengan sesuatu yang dimiliki setiap orang, yaitu memori. Jadi, saya pikir jika kita terus menjalin dialog terbuka kepada publik tentang makna sebenarnya dari manipulasi memori, kita tidak hanya dapat menggunakannya untuk kebaikan bersama, tetapi juga menetapkan pengaman penting untuk mencegak penyalahgunaanya.
Kita jelas belum berada di tahap *Total Recall* atau *Inception* untuk otak manusia saat ini. Tapi tiga puluh tahun lalu, kita juga belum merekayasa genetika embrio, sebelum Proyek Genom Manusia dipublikasikan. Jadi, kita ingin memulai percakapan ini beberapa dekade sebelumnya, sehingga jika dan ketika kita sampai di tahap itu, kita telah memiliki pengaman yang tepat. Memang tidak sempurna, tapi salah satu cara menghadapinya adalah dengan menetapkan, “Mari kita tetapkan tujuan yang dibatasi etika atau dimotivasi oleh etika untuk riset semacam ini.” Menurut saya, tujuannya adalah memahami memori agar kita dapat memulihkan kesehatan dan kesejahteraan seorang individu, dan pada akhirnya bagi banyak orang.
Jadi, jika tujuan kita adalah menggunakan ini untuk mendorong kemajuan manusia dalam kapasitas apa pun yang melibatkan kesejahteraan dan pemulihan kesehatan, maka kita berada di jalur yang benar. Artinya, kita dapat menerapkan pendekatan semacam ini dalam setting klinis atau medis. Jadi, kita tidak akan menghapus memori seseorang seperti saya, Steve, yang tidak bisa move on dari putus cinta SMA—karena kehidupan akan mengajarkannya untuk belajar dan tumbuh dari peristiwa semacam itu.
Namun, kita dapat menggunakannya dalam setting klinis untuk individu yang benar-benar terganggu oleh suatu gangguan. Kita dapat memiliki kerangka kerja medis, sama seperti kita tidak akan meresepkan antidepresan kepada seluruh populasi Boston, tetapi akan memberikannya kepada penderita depresi yang benar-benar membutuhkannya. Jika pemulihan kesehatan adalah tujuannya, maka kita setidaknya dapat mulai bekerja dengan infrastruktur yang serupa, sambil berusaha mencegah penyalahgunaan.
**Gizmodo:** Sebagai jurnalis yang pernah menyelidiki bagaimana memori palsu dapat menyesatkan orang dengan cara yang mengerikan, mempelajari kerapuhan memori terkadang sungguh menakutkan secara eksistensial. Namun, tampaknya penelitian Anda justru memberi Anda perspektif yang optimis—sebuah tren yang saya amati juga pada ilmuwan memori lain! Setidaknya bagi Anda, mengapa demikian?
**Ramirez:** Saya senang Anda menanyakan itu, karena saya benar-benar merasa hal itulah yang membentuk sudut pandang positif saya.
Saya rasa saya memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap apa itu memori dan potensinya. Saya sendiri pernah merasakan puncak kebahagiaan dari sebuah kenangan indah, yang memotivasi saya, sekaligus titik nadirnya, misalnya saat mengingat sesuatu yang dibalut duka atau kehilangan yang langsung membuat saya merenung atau muram.
Fakta bahwa memori dapat melakukan semua itu hanya dalam hitungan detik, hampir tanpa usaha, sungguh—hampir takjub. Dan sepanjang karier saya, terutama dengan kemampuan untuk memodifikasi memori, saya justru mendapatkan rasa hormat yang sangat dalam terhadap kemampuan kognitif yang kita miliki ini, yang dapat melakukan hal-hal luar biasa. Saya juga mulai memandangnya sebagai sesuatu yang dapat kita isi dengan sifat-sifat penyembuhan.
Dalam gambaran besarnya, saya berharap dengan menyebarkan apresiasi mendalam terhadap hakikat dan potensi memori, kita semua dapat terhubung sedikit lebih erat. Karena ketika saya mendengar dari orang-orang yang sedang dalam pemulihan di pertemuan support group, semua itu didasarkan pada ingatan dan pengalaman hidup setiap orang tentang kesulitan yang harus mereka hadapi.
Dengan berbagi kenangan semacam itu, seketika seluruh ruangan terhubung pada tingkat kemanusiaan yang paling mendasar. Dan saya pikir, jika kita semua meluangkan waktu sejenak, saya yakin sekali bahwa kita semua memiliki setidaknya satu memori yang dapat kita bagikan, yang akan menghubungkan kita dengan siapa pun di dunia ini. Lalu tiba-tiba, konsep koneksi menjadi tema utama, dan sifat-sifat seperti lebih berempati, bersimpati, atau toleran mulai berperan.
Itulah yang memberiku pandangan optimis tentang potensi dunia, karena sayangnya keadaan saat ini sama sekali tak mencerminkan hal tersebut.
**Gizmodo:** Apa harapan terbesar Anda agar dapat diambil pembaca dari buku ini?
**Ramirez:** Saya berharap mereka mendapatkan apresiasi mendalam tentang apa sebenarnya ingatan itu—kemampuannya untuk membawa kita kembali ke momen paling berkesan di masa lalu, atau digunakan sebagai batu bata untuk membayangkan masa depan apa pun yang kita inginkan. Bahwa ini hampir seperti properti ajaib yang dimiliki otak kita, yang diberikan pada kita dengan begitu mudahnya.
Di tingkat personal, saya harap pembaca memahami bahwa proses melakukan sains sesungguhnya adalah proses yang sangat manusiawi. Karena sains memang menghasilkan kebenaran yang ada dalam panteon kebenaran dunia, tetapi proses mencapainya adalah upaya manusia yang berliku, penuh gejolak, tak sempurna, dan mengasyikkan. Jadi saya harap ini setidaknya memberikan gambaran tersebut.
Pada akhirnya, yang dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi pembaca bukan hanya fakta bahwa kita memiliki ingatan, tetapi bahwa kita semua, untungnya maupun sayangnya—tergantung sudut pandang Anda—ditakdirkan untuk menjadi ingatan.
Saya rasa ada kekuatan yang besar dalam realisasi tersebut, dan itulah salah satu cara saya berdamai dengan waktu yang saya habiskan bersama Xu. Dan saya pikir satu cara untuk merekonsiliasi, atau setidaknya menyelesaikan, pil pahit bahwa kita suatu hari akan menjadi memori adalah dengan menjalani hidup yang suatu hari nanti mungkin dihormati dengan cara yang serupa dengan bagaimana saya menggunakan buku ini untuk menghormati teman saya. Dan itulah cara untuk menghadapi bukan hanya ingatan-ingatan sulit dari masa lalu kita, tetapi bahkan untuk menghormati duka kita dan benar-benar menempatkan aspek ingatan tersebut di pusat perhatian.
Jadi, ini jawaban yang berbelit, tapi pada intinya saya harap orang-orang terhubung dengan beberapa kenangan yang saya bagikan, dan mungkin mereka akan melihat sedikit dari diri mereka sendiri dan juga terhubung dengan hal itu. Karena dengan begitu, akan tercipta percakapan manusiawi yang sangat nyata, yang kurang menakutkan dan lebih mudah diakses.
*How to Change a Memory: One Neuroscientist’s Quest to Alter the Past* sedang [diterbitkan](https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691266688/how-to-change-a-memory?srsltid=AfmBOoqiBeIJ7lqCA2cl8nw_QGvyum4vWOPjjI29x59evyv-WY9JdBJw) oleh Princeton University Press dan akan tersedia mulai 4 November mendatang.