Pada tahun 2021, para peneliti di Antartika melihat retakan besar yang berkembang di Brunt Ice Shelf, hamparan es yang sangat luas di sudut barat laut benua tersebut. Dua tahun kemudian, patahan itu membesar sedemikian rupa hingga sebuah gunung es raksasa yang hampir dua kali ukuran Kota New York terlepas dalam proses yang disebut calving, membuat para ilmuwan bergegas meneliti potongan es tersebut, yang mereka beri nama gunung es A-81.
Sebuah tim peneliti yang berafiliasi dengan British Antarctic Survey berusaha memahami kekuatan yang mendorong "perilaku retakan" di rak es yang besar ini. Dengan merancang model matematika untuk memperhitungkan kekuatan alami yang mempengaruhi rak es, para peneliti menemukan bahwa gunung es A-81—dan sebagian besar gunung es lainnya—kemungkinan terpisah akibat gaya pasang yang mendorong rak es di musim semi, ketika arus paling kuat.
Studi ini, yang diterbitkan di Nature Communications pada 24 Juli, mendukung asumsi umum tentang peran faktor lingkungan dalam peristiwa calving. Namun, model yang diusulkan juga dapat meningkatkan prediksi peristiwa calving, yang selama ini merupakan tugas yang sulit.
Brunt Ice Shelf, sebelum dan setelah peristiwa calving yang menghasilkan gunung es A-81. © Oliver Marsh et al., 2025
"Memahami apa yang mengontrol waktu peristiwa ini sangat penting, karena calving tidak hanya mempengaruhi bentuk dan laju pencairan rak es tetapi juga stabilitas jangka panjangnya," kata Oliver Marsh, penulis utama studi, dalam sebuah pernyataan. "Sangat menarik menemukan hubungan antara sesuatu yang bisa diprediksi seperti pasang surut dengan proses dramatis dan tiba-tiba seperti calving gunung es."
Dalam penelitian ini, Marsh dan rekan-rekannya pertama-tama merancang model matematika untuk menghitung ambang batas perilaku retakan di rak es dengan menggunakan pasang surut laut atau pola angin sebagai potensi penyebab stres. Kemudian, mereka menguji prediksi mereka terhadap data GPS dan radar, dengan memperhatikan gerakan halus dan tekanan yang muncul di dalam rak es seiring waktu. Mereka menemukan bahwa retakan cenderung tumbuh paling banyak di musim semi, yang kebetulan adalah saat pasang paling kuat.
Namun, model ini hanyalah interpretasi sederhana dari dinamika nyata di Antartika, seperti diakui oleh penulis studi, dan lebih cocok untuk menjelaskan perubahan kecil dan bertahap dalam perilaku retakan. Ini berarti bahwa peristiwa yang lebih dramatis—seperti suhu ekstrem akibat perubahan iklim—akan menyebabkan retakan yang lebih besar. "Pasang dan angin kunci untuk waktu pertumbuhan retakan kecil di sini," tulis para penulis dalam makalah, "tetapi perlu dicatat bahwa tabrakan gunung es pada 2021 menyebabkan pertumbuhan retakan yang lebih signifikan dalam satu peristiwa dibandingkan sepanjang tahun 2020."
Meski begitu, studi ini menandai langkah penting dalam memodelkan peran faktor lingkungan dalam peristiwa calving, yang menurut penulis akan membantu memperbaiki prediksi calving dalam kondisi atmosfer atau laut yang ekstrem. Gunung es besar juga mempengaruhi sirkulasi laut dan ekosistem lokal, sehingga model baru ini bisa menjadi alat yang berguna untuk penelitian di Antartika, jelas Marsh.
"Gunung es seperti A-81 bisa berukuran ribuan kilometer persegi dan menyumbang sekitar setengah dari es yang hilang dari Antartika setiap tahun," kata Marsh. "Wawasan semacam ini membawa kita lebih dekat ke kemampuan memprediksi peristiwa kehilangan es besar dan dampaknya terhadap kenaikan permukaan laut dengan lebih akurat."