Dalam dunia review spirit profesional, kata “halus” seringkali dianggap kurang ajar. Namun sebaliknya, para konsumen justru sangat gemar menggunakannya.
Implikasi dari “halus” sederhana; ia mengindikasikan suatu produk tidak perih saat diminum. Kualitas ini sangat didambakan sehingga industri distilasi akan berupaya apapun untuk mencapainya. Beberapa metode terbilang terhormat, seperti menuaikan wiski selama 15 tahun untuk menghaluskan karakternya. Sebagian lain kurang begitu, misalnya dengan menambahkan banyak bahan kimia. Beberapa metode lebih berhasil daripada lainnya, namun tak satupun yang dapat menghilangkan sensasi terbakar di mulut secara total.
Namun, baru pada masa Joana Montenegro dan Martin Enriquez, pasangan pendiri Voodoo Scientific, seseorang benar-benar bertanya: Mengapa sebenarnya alkohol terasa membakar? Dan yang paling penting, adakah cara untuk menghilangkan rasa perih yang menyengat tersebut sama sekali?
Kebijaksanaan konvensional dan nalar sehat menunjukkn etanol sebagai penyebab rasa panas yang menusuk di mulut dan tenggorokan saat menengak minuman keras, namun ternyata bukan itu penyebabnya. Selama bulan-bulan lockdown Covid-19, Enriquez, mantan eksekutif telekomunikasi, menyatakan bahwa dia dan Montenegro, pada dasarnya hanya iseng, memiliki ide untuk menyelami pertanyaan ini. Mereka memulai dengan menelusuri jurnal ilmiah untuk melihat apakah ada yang telah menemukan alasan mengapa wiski dan sejenisnya menimbulkan rasa perih. Tak seorangpun. “Tak ada yang bisa mendeskripsikan senyawa yang menciptakan rasa tajam dan perih yang keras itu,” ujarnya. “Tak ada yang benar-benar dapat mengidentifikasi apa yang menyerangmu dan menimbulkan rasa sakit.”
Montenegro, seorang ilmuwan pangan veteran dari General Mills dan Land O’Lakes, mengatakan mereka memutuskan untuk menggali lebih dalam. “Kami berkata, ‘Mari kita kembali dan temukan reseptor spesifik di mulut yang dipicu oleh spirit’,” katanya.
Untuk melakukannya, duo ini mulai dengan menghubungi David Julius, kepala fisiologi di UCSF, untuk mendiskusikan jalur penyelidikan mereka. Dengan mengenakan masker dan menjaga jarak 6 kaki di sebuah Starbucks, Montenegro bercerita bahwa Julius awalnya tidak memahami mengapa seseorang yang merupakan bagian dari tim yang mematenkan Go-Gurt tertarik pada reseptor rasa sakit. Meski demikian, keduanya bersikeras, dan Julius akhirnya membimbing mereka cara meneliti konsep tersebut dan menentukan reseptor mana yang diaktifkan sehingga menimbulkan respons nyeri. Akhirnya Montenegro dan Enriquez menemukannya, sebuah reseptor bernama TRPA1.
Begitu reseptor negatif seperti ini teridentifikasi, ilmu pangan tradisional punya solusi untuk menanganinya: Anda memblokir reseptor tersebut dengan bahan kimia. Ini adalah cara umum untuk menutupi rasa manis dan pahit dalam bahan pangan, yaitu dengan menyelimutinya dengan sesuatu yang lebih kuat. Sayangnya, hal itu tidak berhasil untuk menyamarkan rasa bakar alkohol. “Reseptor ini memiliki properti yang sangat unik called reversible bonding,” jelas Montenegro. “Ia akan berikatan dengan sesuatu, memberimu kejutan, lalu melepaskannya—dan kemudian akan berikatan dengan yang lain.” Inilah sebabnya alkohol terus terasa membakar seteguk demi seteguk.
“Dengan kata lain, kamu tidak bisa memblokirnya,” ujarnya. “Ia dirancang untuk terus menerus mengingatkanmu bahwa kamu sedang mengonsumsi sesuatu yang bersifat iritan.”