Masa Depan Film AI yang Kulihat: Hampa Semata

Tahun lalu, pembuat film Paul Schrader—sutradara Blue Collar, American Gigolo, dan First Reformed, serta penulis skenario Taxi Driver karya Martin Scorsese—mengeluarkan pernyataan yang seolah menjadi kata final tentang kecerdasan buatan dalam perfilman Hollywood. Beberapa hari setelah perilisan blockbuster fiksi ilmiah Denis Villeneuve Dune: Part Two, Schrader bertanya kepada pengikut Facebook-nya: “Akankah Dune 3 dibuat oleh AI? Dan, jika iya, bagaimana kita bisa mengetahui-nya?”

Schrader tidak hanya dihormati sebagai sutradara, tapi juga sebagai seorang pemarah kelas atas di dunia sinema, yang cepat dengan sindiran sinis atau umpan shit-post. Namun cuitannya tentang Dune terasa lebih dari sekadar provokasi biasa. Itu menyentuh perasaan yang semakin berkembang di kalangan banyak penikmat film, termasuk saya sendiri: bahwa Hollywood telah merosot hingga menghasilkan gambar-gambar yang licin dan antiseptik, begitu miskin kepribadian sehingga seolah-olah dibuat bukan oleh seniman yang hidup, bernapas, berpikir, dan merasa, tetapi oleh komputer.

Sebagian besar AI generatif “berlatih” pada kumpulan gambar buatan manusia yang sudah ada. Pada Dune, yang terjadi tampaknya justru sebaliknya. Villeneuve terlihat seolah-olah sedang berlatih menggunakan khayalan-khayalan AI, screensaver, dan wallpaper desktop yang mengilap. (Faktanya, film itu menggunakan model “pembelajaran mesin” untuk tujuan yang relatif sederhana.) Namun, hal itu membuat saya berpikir: Apakah memang ada estetika AI yang nyata? Apakah pembangkit video bertenaga AI berbagi satu set ide atau nilai artistik yang umum dalam hasil karya mereka? Atau, lebih mendasar lagi, dapatkah pembangkit video AI memiliki ide atau nilai sama sekali?

Firasat awal saya di sini adalah … a) tidak; b) tidak; dan c); tentu saja, AI tidak dapat memiliki “ide” atau “nilai,” yang merupakan ranah eksklusif seniman manusia, dan manusia pada umumnya. Sebuah pemanggang roti tidak mendapat gagasan untuk menghangatkan roti atau bagel Anda, dan kemudian mewujudkannya. Ia juga tidak peduli tentang bagaimana cara ia melakukannya. Ia hanya menjalankan serangkaian fungsi yang rutin dan termekanisasi terkait penghangatan (dan pada akhirnya pelontaran) roti, bagel, dan benda lain yang bisa dipanggang. Mengapa AI generatif harus berbeda?

MEMBACA  Butuh Dorongan Sistem Kekebalan Tubuh? Tambahkan 11 Makanan Kaya Vitamin D Ini ke dalam Diet Anda

Untuk menguji premis-premis ini (dan kesimpulan saya sendiri yang agak meremehkan) saya melakukan perjalanan ke sebuah bioskop di New York untuk menyaksikan program 10 film pendek dari Festival Film AI 2025.

Festival Film AI didukung oleh Runway, sebuah perusahaan AI yang berbasis di New York yang menawarkan “alat untuk imajinasi manusia.” Di antara alat-alat tersebut adalah pembangkit gambar dan video yang memungkinkan pengguna menciptakan karakter, latar, skema pencahayaan, dan seluruh adegan imersif. Dengan perangkat lunak Gen-4-nya, pengguna secara teoritis dapat menciptakan seluruh film—atau sesuatu yang samar-samar mendekatinya.

“Kami semua adalah pembuat film yang frustasi,” kata salah satu pendiri Runway, Alejandro Matamala Ortiz, mengenai dirinya dan rekan-rekannya, yang bertemu sebagai mahasiswa pascasarjana yang terdaftar di Program Telekomunikasi Interaktif (ITP) di Sekolah Seni Tisch NYU. “Kami ingin membangun alat-alat yang ingin kami gunakan.”

Festival film tersebut lahir dari keinginan lebih lanjut untuk membantu melegitimasi alat-alat AI yang sama. Screening gala yang diadakan awal musim panas ini di Alice Tully Hall yang prestisius di Lincoln Center, New York (kandang bagi Festival Film New York dan pemutaran sepanjang tahun) menyaksikan para pembuat film dan teknolog berkumpul untuk menonton karya-karya pilihan dari sebuah teknologi yang biasanya dianggap remeh karena hanya menghasilkan “sampah” belaka. Format festival, kata Ortiz, berfungsi untuk “menyatukan orang-orang.” Kini, program gala yang sama sedang melakukan tur ke bioskop-bioskop Imax di seluruh negeri, untuk tayangan terbatas.