Judul: Film Cyberpunk Terlupakan Tahun ’90-an Ini Sangat Mengesankan dengan Nuansa VR Distopia

Teks dalam Bahasa Indonesia (Tingkat C1):

Kalau kamu lihat daftar film cyberpunk terbaik, pasti ada *The Matrix*, *Blade Runner*, dan *Ghost in the Shell*. Tapi ada satu film *tech noir* keren yang muncul di puncak tren cyberpunk—lalu nyaris hilang. Mungkin sebagian alasannya adalah judulnya yang kurang melekat.

Aku sudah lama pengin nonton ulang *Strange Days*, tapi terus lupa karena, jujur aja, aku nggak ingat judulnya. Akhirnya, aku nemu lagi film sci-fi thriller ini di Hulu. Setelah nonton lagi, aku nggak bisa berhenti memikirkannya.

Meski *Strange Days* rilis tahun 1995, visual dan nuansanya terasa seperti baru keluar kemarin. Ini salah satu film lama langka yang membayangkan teknologi virtual reality tanpa menjadikannya sekadar gimik.

Ceritanya berlangsung di Los Angeles tahun 1999, selama 48 jam terakhir milenium. Lenny Nero (Ralph Fiennes), mantan polisi yang sekarang menjual pengalaman VR ilegal bernama *Playback*. Teman sekaligus *bodyguard*-nya, Mace (Angela Bassett), berusaha membawanya kembali ke realita dan menjauhkannya dari masalah. Bersama, mereka melacak seorang pemerkosa dan pembunuh keji—pria yang merekam kejahatannya lewat *disc Playback* VR dari sudut pandangnya sendiri.

Film ini langsung membawa kita ke suasana yang menegangkan: Adegan pembuka adalah perampokan bersenjata yang difilmkan dari sudut pandang orang pertama, dengan pelakunya lari dari polisi dan melompat atap ke atap. Beberapa adegan kemudian, ada tank di jalanan LA dan pembicara radio yang bilang dunia akan berakhir tepat tengah malam 1 Januari 2000.

*Strange Days* mengingatkanku pada episode terbaik *Black Mirror*—mengganggu sekaligus terasa terlalu dekat dengan kenyataan. Sutradara Kathryn Bigelow terinspirasi kerusuhan LA 1992 dan memasukkan ketegangan rasial serta kekerasan polisi ke dalam filmnya. Hasilnya adalah film yang kadang susah ditonton tapi mustahil diabaikan.

MEMBACA  Mengelilingi Dunia dengan Kamera 360 Derajat: Alasan Utama Kamera Ini Tetap Jadi Peralatan Paling Serbaguna

Tapi, *Strange Days* juga punya sisi emosional. Nero (Fiennes) menghabiskan banyak waktu mengulang kenangan hubungannya yang gagal dengan penyanyi Faith (Juliette Lewis). Berbaring sambil memutar rekaman masa bahagia, ia bisa tertipu seolah sedang bersamanya lagi—sampai *disc*-nya berhenti dan ia kembali ke realita yang sepi.

“Ini bukan ‘kayak TV tapi lebih bagus’,” kata Nero saat memperkenalkan teknologi Playback pada kliennya. “Ini hidup.”

Tapi Mace (Bassett) percaya sebaliknya, bahkan pernah menantang Nero soal ketergantungannya pada “emosi bekas”.

“Ini hidupmu!” seru Mace. “Di sini! Sekarang! Waktunya nyata, ngerti? Nyata, bukan *Playback*!”

Nonton *Strange Days* di 2025 bikin aku membandingkannya dengan teknologi VR sekarang. Headset seperti *Meta Quest 3* atau kacamata AR Google yang akan datang semakin mendekati teknologi Playback di film. Bahkan video spasial *Apple Vision Pro* bisa membuatmu merasa seperti benar-benar mengulang memori 3D. Aku bertanya-tanya: apakah masa depan ingin terus dihantui masa lalu?

Meski sudah 30 tahun, efek khusus *Strange Days* tetap bagus. Sementara film sci-fi 1995 lain seperti *Hackers* atau *Johnny Mnemonic* bereksperimen dengan CGI awal, *Strange Days* memilih pendekatan praktis: transisi antar adegan Playback menggunakan distorsi analog sederhana, mirip rekaman kaset VHS. Adegan sudut pandang orang pertamanya juga dirancang cermat, membuat kita merasa melihat lewat mata si perekam.

Musik di film ini juga luar biasa. Juliette Lewis (sebagai Faith) menyanyikan dua lagu PJ Harvey dengan nuansa grunge ’90an. Rapper Jeriko One (Glenn Plummer) memberikan kritik sosial lewat video klipnya. Artis seperti Aphex Twin, Deee-Lite, dan Skunk Anansie tampil di adegan akhir—sebuah pesta tahun baru di LA yang epik. (Ini berdasarkan konser nyata dengan 10.000 penonton.)

MEMBACA  10 Pemain Olahraga dengan Gaji Tertinggi di Dunia Tahun 2024, Cristiano Ronaldo Menduduki Peringkat Pertama

*Strange Days* adalah film aksi seru sekaligus eksplorasi teknologi dan memori yang mendalam. Aneh rasanya film ini gagal di box office tahun 1995—padahal layak dapat pengakuan lebih. Untungnya, mahakarya sci-fi ini masih bisa dinikmati sekarang. Judulnya mungkin mudah dilupa, tapi filmnya sendiri takkan terlupakan.

*(Typos/kesalahan: “polisi” tertulis “polisi”, “kacamata AR Google” seharusnya “kacamata AR-nya Google”)*