Setiap drama kriminal yang dapat ulasan bagus dan sering dibandingkan dengan Slow Horses yang brilian dari Apple TV pasti akan masuk daftar tontonan saya. Begitu Dept. Q tayang di Netflix minggu lalu, saya langsung menekan tombol putar tanpa pikir panjang. Alasannya? Saya tinggal di Edinburgh—kota tempat seri detektif baru ini berlatar.
Edinburgh sering jadi lokasi syuting, tapi biasanya hanya sebagai latar yang indah atau historis untuk film atau acara TV—lebih ke efek estetis daripada peran krusial dalam alur. Dept. Q beda. Detektif Carl Morck, diperankan oleh Matthew Goode yang terlihat lelah, sedang pulih dari insiden penembakan yang menewaskan satu polisi, hampir membunuhnya, dan melumpuhkan rekannya. Dia ditugaskan memimpin departemen baru yang mengungkap kasus-kasus lama Edinburgh. Kasus yang diambil Morck, plus kondisi sekitar penembakannya, punya kaitan rumit dengan sistem peradilan dan dunia kriminal Edinburgh.
Di sini, kota ini bukan cuma jadi pemandangan cantik—tapi juga jadi pusat cerita, dengan para tokoh utama bergerak antara pengadilan megah di Royal Mile yang terkenal dan bagian-bagian kumuh kota yang tak pernah dilihat turis. Sebagai orang yang tinggal di sini, saya sangat kenal dengan landmark-nya, tapi sisi kota yang ditampilkan di acara ini sama sekali asing buat saya. Bukan berarti tidak akurat.
Benteng Edinburgh tentu sudah sangat familiar bagi saya.
Memang, Edinburgh bukan sarang kejahatan berdarah dibanding kota lain di UK, apalagi di AS. Selama lima tahun tinggal di sini, saya cuma ingat satu penembakan fatal yang jadi berita. Tapi saya juga sadar bahwa sebagian besar kejahatan terorganisir sering tersembunyi dari pandangan orang luar.
Kadang, insiden kekerasan, razia polisi, atau persidangan menyeruak ke permukaan, memicu kecemasan di lingkungan dan jadi berita. Tapi penggambaran artistik, meski kerap dibesar-besarkan untuk efek dramatis, bisa memperlihatkan sisi kota yang biasanya tak terlihat.
Sebagai kota yang terkenal cantik, sering dianggap anggun dan tenang, menarik melihat Edinburgh digambarkan sebagai tempat yang jauh lebih kompleks dari citra turisnya. Sejak film Trainspotting tahun 1996, belum ada lagi gambaran yang tidak terlalu diromantisasi dari kota ini di layar.
Dept. Q awalnya bahkan tidak berlatar di Edinburgh—ini adaptasi dari novel Denmark dengan judul sama—tapi sebagai penduduk, saya menghargai cara seri ini memberi perspektif berbeda tentang tempat yang saya kenal dan cintai. Seru juga melihat bagian kota yang sangat saya kenal muncul di produksi besar—misalnya pemandangan benteng dari depan toko rekaman indie favorit saya.
Ada banyak kelemahan di Dept. Q, dari hal kecil (wartawan lokal mana yang mampu beli Porsche?) sampai masalah tempo—terutama di episode pertama. Plotnya begitu padat sampai kadang jadi ruwet. Tapi meski begitu, saya terus terjaga melewati jam tidur demi "nonton satu episode lagi"—seperti yang saya dan suami saling bisikkan sambil tersenyum, sadar bahwa kami sudah terjebak binge-watching.
Apa ini sempurna? Tidak. Apa saya sudah ngebet musim kedua? Sangat. Apa saya berharap Edinburgh bakal lebih menonjol di episode-episode mendatang? Dengan sangat sopan—ya, tolong.**