Setelah bertahun-tahun tertunda produksinya, Netflix dan Skydance akhirnya siap merilis The Old Guard 2, sekuel film adaptasi tahun 2020 dari serial komik Greg Rucka dan Leandro Fernández yang dibintangi Charlize Theron. Disutradarai Victoria Mahoney, sekuel ini mempertemukan kembali keluarga mercenary abadi mereka untuk misi lintas dunia lainnya. Sayangnya, kali ini, ancaman terbesar bukanlah musuh abadi baru atau pertarungan lama yang ditunggu, tapi justru inersia naratif sekuel yang terhambat ambisi membangun franchise.
Beberapa tahun setelah kejadian film pertama, The Old Guard 2 menyoroti Andy (Theron) yang berjuang menerima mortalitas barunya. Bersama Nile (KiKi Layne), Joe (Marwan Kenzari), Nicky (Luca Marinelli), dan James Copley (Chiwetel Ejiofor), tim Andy kini berhadapan dengan Discord, sosok misterius diperankan Uma Thurman yang mengaku sebagai manusia abadi pertama di dunia. Dengan pengetahuan yang bisa mengancam eksistensi abadi mereka, Discord berupaya menghancurkan semua yang Andy dan kawan-kawannya perjuangkan selama berabad-abad. Untuk menghentikannya, mereka meminta bantuan Tuah (Henry Golding), berharap pengetahuannya tentang mitos keabadian bisa jadi kunci mengagalkan rencana Discord.
© Netflix
Secara wajar, film ini menghadirkan duel epik Theron dan Thurman—pertemuan dua ikon aksi Hollywood yang terasa seperti fan-fiksi hidup. Namun, duel itu, meskipun cukup solid, justru terasa seperti pembuka dibanding adegan utama, baik dari segi spektakel maupun bobot emosional. Sorotan sebenarnya adalah reuni lama ditunggu antara Andy dan Quynh (Veronica Ngô), rekan dekatnya yang pernah terkurung di peti besi di dasar laut selama berabad-abad dan kini bersekutu dengan Discord. Konfrontasi Andy dengan Discord memang memercik, tapi rekonsiliasinya dengan kemarahan dan luka emosional Quynh-lah yang memicu ketegangan terbaik film ini—sebuah dendam berusia lima abad.
Sayangnya, adegan aksi The Old Guard 2—yang seharusnya jadi andalan franchise—kali ini terasa datar. Meski ada momen kreatif di awal, momentumnya cepat pudar, tergantikan oleh editing kacau dan kamera berantakan yang mengurangi tensi pertarungan abadi vs abadi. Duel Theron-Thurman dan pertarungan emosional Nile-Quynh jadi korban terbesar. Alih-alih memuncak jadi tontonan epik, adegan ini justru dipenuhi kontinuitas yang kacau dan kesan pengambilan gambar yang tidak sinkron. Seluruh adegan akhir terasa seperti placeholder untuk sekuel berikutnya—jembatan mentah menuju film yang bahkan belum pasti.
© Netflix
Di sinilah kelemahan terbesar The Old Guard 2: terlalu sibuk mempersiapkan sekuel ketiga hingga melupakan cerita yang sedang dituturkan. Alih-alih memberi sekuel yang utuh dan memuaskan, film ini lebih mirip prolog panjang yang terus-menerus menegaskan pentingnya diri sendiri tanpa pembangunan yang memadai. Subplot seperti ketegangan Nicky-Joe atau kembalinya Booker (Matthias Schoenaerts) terasa dipaksakan, hanya menambah kebingungan naratif.
Bahkan arc emosional terkuat—reuni penuh drama Andy dan Quynh—yang seharusnya jadi puncak film, justru terasa datar karena terlalu banyak lore dan pengaturan sekuel selanjutnya. Potensi sekuel berbasis karakter akhirnya tenggelam dalam jembatan menuju trilogi yang belum layak, meski film ini begitu bangga dengan cliffhangernya.
Veronica Ngô sebagai Quynh di The Old Guard 2. © Netflix
*Yang tersisa dari The Old Guard 2* hanyalah fragmen ide menarik—adegan horor tubuh dari pertarungan abadi, kilatan koreografi kreatif, serta tema mortalitas,