Mari mulai dengan desainnya. Dibungkus dengan bodi biru tua dan keyboard hitam, palet warnanya terasa seperti diambil dari tahun 1990-an, dan aku juga menemukan bahwa ia mudah menyerap sidik jari dan noda. Setidaknya, kamu tak perlu khawatir soal noda di layar, karena tampilan 14 inci (dengan resolusi ketinggalan zaman 1.920 x 1.200 piksel) bukanlah layar sentuh.
Keyboardnya memberikan respons yang cukup baik tapi terlihat lebih kecil dari ukuran sebenarnya, mungkin karena tombol panahnya yang kecil dan tombol page up/page down yang bahkan lebih kecil lagi—bisa jadi ini tombol terkecil yang pernah kulihat di keyboard laptop. Touchpad-nya agak kecil, sebagian karena ada dua tombol fisik terpisah di bawahnya. Tombol! Awalnya aku agak terpesona dengan desain retro yang sangat kental ini, tapi kemudian kecewa saat merasakan betapa lembek dan rapuhnya tombol-tombol tersebut.
Spesifikasi utamanya termasuk kelas menengah, dengan prosesor Intel Core Ultra 7 258V, RAM 32 GB, dan SSD 1 terabyte. Namun, pilihan portnya sangat baik untuk mesin korporat, dilengkapi dua port USB-C dengan dukungan Thunderbolt 4 (satu untuk charging), dua port USB-A, port HDMI ukuran penuh, Ethernet, dan slot kartu microSD—terbagi merata di sisi kiri dan kanan perangkat.
Sayangnya, semua itu tidak menghasilkan banyak hal di bidang performa. Portégé mencatat beberapa skor benchmark terburuk yang pernah kulihat dari mesin berbasis Intel di era Core Ultra. Baik di aplikasi bisnis, tugas berbasis grafis, maupun pekerjaan AI, Portégé nyaris tak bisa mengangkat kepalanya dari bantal, tertinggal 10 hingga 15 persen di bawah skor rata-rata secara keseluruhan. Perlambatan ini mungkin tidak terlihat jelas untuk tugas sederhana seperti browsing dan aplikasi produktivitas ringan, tapi mereka yang menjalankan tugas kompleks seperti edit foto atau pembuatan gambar AI pasti akan merasakannya.
Foto: Chris Null