Bagaimana Cara Menggoyang Inersia Industri yang Telah Berpuluh Tahun?
Minor bilang, butuh kesabaran ekstra. Ia memperhatikan bagaimana aktivis difabel sebelumnya melakukannya selama beberapa generasi: tersenyum terus dan menjelaskan hal yang sama berulang kali tanpa lelah.
Pekerjaan pertama Minor ada di Madden NFL 18—ia memberikan masukan tentang fitur getar kontroler dan memimpin sebuah workshop. Namanya tak tercantum di kredit, dan ia tak dibayar, hanya dapat tur kantor dan game yang ditandatangani. (Tim dev sempat menawarinya proyek lanjutan, tapi ia serahkan ke temannya; Minor tak suka sepakbola.) Meski sudah ada kemajuan, praktik seperti ini masih umum di industri. Studio game kerap menggoda pemain difabel dengan tawaran "konsultasi", hanya untuk mengajak mereka bermain, bertanya selama sejam, lalu memberi hadiah kartu hadiah. Minor pernah diminta studio game AAA datang ke kantor mereka untuk uji coba—tapi bayarannya bahkan tak cukup buat ongkos Uber.
Ini tarian yang rumit. Minor dan advokat difabel lain yang saya ajak bicara—baik untuk gamer tunanetra, mobilitas terbatas, atau disabilitas kognitif—kadang ragu mengkritik studio yang memberi pengalaman buruk. "Ada perasaan ‘jangan melawan yang memberimu makan’," kata Minor. Intinya, mereka khawatir jika dianggap "tidak bersyukur", perusahaan akan mengabaikan mereka.
Tapi cukup jadi konsultan handal saja tak cukup. Agar studio tetap yakin aksesibilitas itu investasi berharga, seseorang juga harus jadi "advokat"—alias figur publik. Atau dalam istilah lebih relevan: influencer.
Medan rumit ini adalah keahlian salah satu mentor Minor, Brandon Cole—lebih dikenal sebagai Superblindman. Ia salah satu konsultan aksesibilitas tunanetra paling terkenal di industri, dikenal ramah, optimis, dan sangat kompeten. Saat Xbox umumkan Forza Motorsport bisa dimainkan sepenuhnya oleh tunanetra, semua tahu Cole terlibat. Ia juga berkontribusi di The Last of Us 2. Cole aktif di media sosial, berbicara di berbagai acara, dan streaming di Twitch demi memajukan isu ini.
Cole meninggal karena kanker di tahun 2024. Minor, seperti kebanyakan komunitas, hancur. Ia kehilangan sosok teman sekaligus mentor. Ia juga sadar, kini gilirannya meneruskan perjuangan Cole.
Oh ya, Minor itu lucu. Memang klise bilang ini tentang difabel, tapi percayalah: Ross Minor ngakak banget. Saat kami pulang dari restoran pizza, saya menghindari dahan pohon. Minor… enggak. Kepalanya nabrak. Saya merasa bersalah—seharusnya saya peringatkan. Ia geleng-geleng, "Satu-satunya yang lebih parah dari jadi tuna netra," katanya sambil meludahkan daun, "adalah jadi tuna netra setinggi 188 cm." Jenis canda favorit saya: tajam, tak nyaman, dan berdasar pengalaman yang takkan audiens pahami. Minor menyungging senyum sama seperti ke wanita di zebracross tadi. Saya akhirnya tertawa. Ross, dasar lu.
Minor pindah ke Los Angeles tiga tahun lalu dari Colorado, berharap karirnya maju. Dan itu berhasil—sampai titik tertentu. "Proyek konsultasi mulai berdatangan," katanya. "Aku merasa sedang naik daun." Tapi karena suksesnya banyak bergantung pada channel YouTube-nya, masalah baru muncul. "Editing video nggak aksesibel," ujarnya. "Bikin thumbnail—katanya itu kunci, kan?—itu juga nggak aksesibel."