Mungkin Anda tinggal di rumah tangga yang suka membagi-bagi tugas. Anda yang cuci piring, sementara orang lain yang buang sampah. Jika iya, Anda tak jauh berbeda dari kebiasaan tikus mondok telanjang, menurut sebuah studi baru.
Temuan yang diterbitkan Rabu di jurnal Science Advances ini menunjukkan bahwa individu tikus mondok telanjang melakukan tugas-tugas khusus untuk koloninya, termasuk menggali, mengangkut sampah, dan membersihkan “toilet.” Studi ini mengungkapkan bahwa tikus-tikus tersebut melakukan suatu bentuk alokasi tugas yang membantu koloni berfungsi lebih efisien, menurut para peneliti.
“Secara keseluruhan, temuan kami mengungkap peran berbeda dari para penangkaran dan keragaman perilaku yang luar biasa di antara yang tidak menangkar, menegaskan kompleksitas organisasi sosial tikus mondok telanjang,” tulis mereka.
Sistem sosial yang sulit dipahami
Tikus mondok telanjang (*Heterocephalus glaber*) adalah hewan pengerat kecil yang hampir tidak berbulu dan hidup di bawah tanah dalam koloni besar. Koloni-koloni ini dapat terdiri dari beberapa ratus individu dan membentang sepanjang beberapa mil terowongan.
Koloni ini bersifat eusosial, artinya mereka menunjukkan tingkat organisasi tertinggi dalam perilaku sosial hewan. Dalam sistem eusosial, satu betina dan beberapa jantan menghasilkan semua keturunan, sementara sebagian besar individu lainnya dipekerjakan. Koloni lebah adalah contoh umum lain dari sistem eusosial. Yang luar biasa, tikus mondok telanjang adalah salah satu dari hanya dua spesies mamalia yang diketahui menunjukkan struktur sosial ini.
Mirip seperti lebah, para ilmuwan telah menemukan bahwa tikus mondok telanjang melakukan berbagai tugas, tetapi belum jelas apakah individu-individunya secara konsisten melakukan pekerjaan spesifik atau lebih fleksibel. Jawaban atas pertanyaan ini lama luput dari para peneliti karena tantangan memantau seluruh koloni bawah tanah dalam jangka waktu lama, tetapi sebuah tim yang dipimpin Masanori Yamakawa dari Universitas Kumamoto di Jepang menemukan caranya.
Melacak tenaga kerja bawah tanah
Yamakawa dan rekannya mengembangkan sistem pelacakan identifikasi frekuensi radio (RFID) otomatis untuk memantau 102 ekor tikus mondok telanjang di lima koloni penangkaran selama 30 hari.
Setiap koloni menugaskan fungsi khusus ke “ruang-ruang” yang berbeda, biasanya termasuk sarang, toilet, tempat sampah, dan enam ruang tambahan. Sarang adalah tempat individu-individu berkumpul dan beristirahat, tempat sampah adalah tempat mereka membuang limbah seperti sisa makanan atau kotoran yang mengering, dan toilet—yah, Anda pasti bisa membayangkannya.
Para peneliti menanamkan mikrochip pada tikus-tikus mondok tersebut dan memasang detektor di seluruh kotak koloninya, memungkinkan mereka melacak ke mana pun mereka pergi dan dengan individu mana mereka berinteraksi. Sementara kelompok penangkaran tetap bersama, individu-individu yang tidak menangkarkan dapat dibagi menjadi enam “kluster” berdasarkan perilaku mereka.
Berdasarkan ruang mana yang mereka tempati dalam waktu lama, para peneliti menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok ini melakukan tugas-tugas yang berbeda dan spesifik. Misalnya, individu kluster 1 menunjukkan mobilitas tinggi dan sering berada di ruang sampah, menunjukkan mereka mungkin berfungsi sebagai tukang sampah. Sementara itu, individu kluster 5—yang banyak menghabiskan waktu di ruang toilet—mungkin bertanggung jawab membersihkan jamban.
Para peneliti menemukan bahwa berat badan dan usia individu memiliki pengaruh signifikan terhadap penugasan kluster mereka, menunjukkan bahwa pekerjaan tikus mondok telanjang dapat berubah seiring pertumbuhan mereka. Tetapi sebagian besar individu (95%) bertahan dengan peran yang ditugaskan selama 30 hari penuh masa studi, menunjukkan bahwa mereka tidak sering bertukar tugas. Mungkin masa-masa sulit bagi tikus mondok petugas toilet.
Karya ini memberikan gambaran terperinci tentang struktur sosial kompleks dari spesies yang sulit dipahami ini. Menurut para peneliti, studi masa depan dapat membangun wawasan ini dengan memanipulasi variabel untuk memicu perubahan perilaku atau memasukkan metode observasi lain. Hal ini dapat membantu “mengungkap mekanisme yang mendorong terbentuknya masyarakat kooperatif,” tulis mereka.