Asal-Usul Labubu dari Hong Kong

Kalimat berikut mungkin bikin para globalis menangis haru: Sebuah mainan yang diproduksi oleh perusahaan Cina di pabrik Vietnam, dirancang oleh seniman Belanda di Belgia, terinspirasi dari budaya mainan indie di Hong Kong, dan menjadi viral berkat seorang bintang K-pop asal Thailand, telah menjelma menjadi tren budaya Gen-Z terbesar tahun 2025.

Kalimat yang ruwet itu adalah kisah dari Labubu, monster boneka yang imut sekaligus menyeramkan yang menyapu bersih dunia musim panas ini. Kamu pasti sudah melihat trennya sekarang, tapi kebanyakan orang masih belum menyadari kisah global yang berlangsung selama satu dekade yang mendahuluinya. Minggu lalu, saya menerbitkan sebuah feature story tentang perjalanan saya menyelami jantungnya Labubu, bagaimana momen kegilaan budaya ini tercipta, dan kemana arahnya selanjutnya.

Ini cerita yang pada dasarnya internasional, tapi bukan pertama kalinya kita menyaksikannya. Ingatlah bagaimana dunia jatuh cinta pada Pokemon Go atau grup K-pop seperti BTS dan Blackpink. Semua itu adalah contoh bagaimana industri budaya regional berhasil menemukan audiens global untuk karya mereka. Namun, yang baru dari Labubu adalah ini merupakan kali pertama sebuah perusahaan Cina mampu merekayasa kesuksesan dan dampak budaya pada level ini.

Tentu saja, selalu ada faktor kebetulan yang berperan dalam kesuksesan sebesar ini, tetapi semakin saya meliput kisah ini, semakin saya sadar alasan historis dan ekonomi mengapa Labubu, dan perusahaan mainan di belakangnya, Pop Mart, berakhir di posisi ini. Dalam banyak hal, ini menyerupai perusahaan teknologi Cina lainnya yang berubah dari produsen barang tiruan menjadi merek internasional, naik dalam rantai nilai sembari mengubah pengalaman manufaktur menjadi pengetahuan teknologi yang berharga.

Kisah Labubu bermula di Hong Kong pada era 1970-an dan awal ’80-an, saat kota itu menjadi pusat produksi mainan. Dari Mattel dan Disney hingga Bandai asal Jepang, hampir semua perusahaan mainan besar memindahkan produksinya ke pabrik-pabrik di Hong Kong, berkat biaya tenaga kerja yang rendah disana.

MEMBACA  Bank Daya USB-C 10.000mAh Termurah di Pasar Ini Hampir Gratis, Sekarang Lebih Murah dari Tiket Bioskop

Howard Lee, pendiri studio mainan Hong Kong bernama How2Work, menceritakan bagaimana periode sejarah itu membentuk masa kecilnya. “Banyak orang tua pergi ke pabrik dan pulang dengan membawa pekerjaan rumahan seperti mengecat mainan dengan tangan,” katanya. Saat itu juga mudah bagi masyarakat untuk membeli mainan yang cacat secara estetika atau fungsional langsung dari pabrik, sehingga generasi anak-anak seperti Lee tumbuh dengan akses yang relatif mudah ke boneka dan mainan lain yang cacat, yang justru membuat mereka semakin mendambakan mainan yang lebih bagus yang tak mampu mereka beli.