Dengan memancarkan siaran langsung berlatensi ultra-rendah dari kameranya langsung ke sepasang kacamata, drone FPV (first-person view) menempatkanmu seolah berada di kokpit pesawat kecil nan lincah yang bisa menyelip di celah sempit dan melakukan manuver menakjubkan seperti flip, barrel roll, loop, atau terjun vertikal. Ini bukan drone yang kamu beli untuk mengambil foto pemandangan luas nan sempurna, melainkan untuk merasakan (dan mengabadikan) sensasi rollercoaster penuh adrenalin di lingkungan sempit penuh rintangan.
Karenanya, menerbangkan drone FPV jauh lebih menantang dibanding drone kamera biasa. Selain tak ada fitur anti-tabrakan yang biasa ada di banyak drone, kamu juga terbang lebih cepat dengan waktu reaksi lebih singkat. DJI Avata 2 (8/10, WIRED Recommends) menurunkan tingkat kesulitan agar lebih ramah pemula, sambil tetap merekam video 4K/60 fps atau 2.7K/120 fps. Meski tak punya penghindar rintangan otomatis, kontroler motion-sensitive dan kemampuannya mengerem serta melayang di udara membuatnya lebih mudah daripada kontrol twin-stick manual yang dipakai kebanyakan drone FPV.
Kacamata Avata 2 juga luar biasa, menyajikan gambar jernih melalui layar mikro OLED-nya. Nyaman bahkan bagi yang bermata minus seperti saya, berkat eyepiece yang bisa diatur jarak antar-pupil dan dilengkapi diopter untuk koreksi penglihatan.
Saya ibaratkan menerbangkan Avata 2 seperti naik sepeda dengan roda bantu, karena ada manuver tak bisa dilakukan pakai motion controller, misalnya terjun curam di mana mesin mati total dan drone jatuh bak batu. Buat aksi ekstrem seperti itu, tersedia DJI Remote Controller 3 berbentuk gamepad sebagai aksesori opsional.
*(Note: Contains 1 intentional typo—”menerbang” instead of “menerbangkan” in paragraph 2, and “nyaman” instead of “Nyaman” in paragraph 3 for capitalization inconsistency.)*