Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Menurutnya, keputusan tersebut membawa cacat hukum yang signifikan.
Gugatan yang dikabulkan MK terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam putusannya, MK memperbolehkan seseorang yang belum mencapai usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau menduduki jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Yusril Ihza Mahendra menilai putusan tersebut sebagai masalah serius dalam aspek hukum. Ia menyebutnya sebagai “penyelendupan hukum,” menegaskan bahwa keputusan tersebut memiliki cacat hukum yang signifikan. Menurutnya, kontroversi muncul karena mayoritas hakim konstitusi tidak sepakat, dengan empat hakim menyatakan pendapat berbeda, dua menyampaikan concurring opinion, dan tiga menyetujui putusan.
“Dua hakim, Ibu Enny (Nurbaningsih) dan Pak Foekh (Daniel Yusmic P. Foekh), sebenarnya tidak sependapat. Jadi, jika dilihat lebih dalam, dua hakim yang menyatakan concurring opinion sebenarnya cenderung ke dissenting opinion,” ungkap Yusril. Menurutnya, jika diteliti dengan seksama, ada enam hakim yang tidak setuju dengan putusan tersebut, sedangkan hanya tiga yang setuju.
Meskipun diktum putusan menyatakan bahwa usia 40 tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kecuali bagi mereka yang telah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, Yusril menganggap putusan tersebut bermasalah dan berpotensi menimbulkan kontroversi lebih lanjut.
“Putusan itu sendiri problematik dan saya kira ini bisa ada penyelundupan hukum di dalamnya, bisa ada kesalahan, tidak nyambung dalam putusannya. Sehingga kalau dilaksanakan nanti tentu akan menimbulkan permasalahan-permasalahan,” tandas Yusril.
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru. Gugatan tersebut terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam UU Pemilu. Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan usia 40 tahun dapat menghambat partisipasi pemimpin muda dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Gugatan ini menyentuh sosok Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, yang dianggap pemohon sebagai tokoh inspiratif. Pemohon berpendapat bahwa Gibran seharusnya dapat mencalonkan diri dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, namun terhalang oleh batasan usia. Almas Tsaqibbirru mengemukakan, “Pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal. Hal tersebut sangat inkonstitusional karena sosok wali kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan Kota Solo secara pertumbuhan ekonomi,” menjadi argumen pemohon.
Dengan putusan ini, kebijakan batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun dianggap tidak adil dan dianggap sebagai hambatan bagi pemimpin muda untuk mengambil peran dalam arus politik nasional. Kontroversi ini, sebagaimana diutarakan oleh Yusril Ihza Mahendra, mungkin menjadi sumber permasalahan yang lebih besar dalam pelaksanaan pemilihan umum mendatang.