Seniman pelopor ini, putra dari legenda Fairuz dan komposer Assi Rahbani, juga dikenal sebagai dramawan, pianis, dan provokator politik.
Musisi dan komposer Lebanon, Ziad Rahbani, putra dari penyanyi ikonik Fairuz serta pelopor jazz fusion, telah meninggal dunia pada usia 69 tahun akibat serangan jantung.
“Pada Sabtu pukul 9:00 pagi, jantung seniman besar dan kreator Ziad Rahbani berhenti berdetak,” bunyi pernyataan dari rumah sakit tempat ia dirawat di ibu kota Beirut, Sabtu lalu.
Rahbani mempengaruhi generasi masyarakat Lebanon lewat lagu-lagunya, terutama naskah drama-dramanya yang dialognya dihafal baik oleh tua maupun muda.
Dia adalah putra dari Fairuz, legenda terakhir musik Arab yang masih hidup—salah satu perempuan Arab paling terkenal di dunia—dan komposer Assi Rahbani, yang bersama saudaranya Mansour, memodernisasi musik Arab dengan memadukan unsur klasik Barat, Rusia, dan Amerika Latin dengan irama Timur Tengah.
Ziad Rahbani mengenakan syal kelompok sayap kiri Front Populer untuk Pembebasan Palestina saat konser di Sidon, Lebanon selatan, 9 Oktober 2014. [File: Ali Hashisho/Reuters]
“Saya mengagumi musik komposer seperti Charlie Parker, Stan Getz, dan Dizzy Gillespie,” kata Rahbani suatu kali. “Tapi musik saya bukan Barat, melainkan Lebanon, dengan cara ekspresi yang berbeda.”
Fairuz juga menjadi ikon bagi generasi muda ketika Rahbani menciptakan lagu untuknya yang terpengaruh irama jazz—ia menyebutnya “jazz oriental”.
Para pemimpin Lebanon memberikan penghormatan tulus kepada komposer ini, yang juga seorang dramawan, pianis, dan provokator politik.
Presiden Joseph Aoun menyebut Rahbani sebagai “hati nurani yang hidup, suara yang memberontak melawan ketidakadilan, dan cermin jujur bagi yang tertindas dan terpinggirkan”.
“Lebanon kehilangan seniman luar biasa dan kreatif, suara merdeka yang tetap setia pada nilai keadilan dan martabat” serta yang “berani mengatakan apa yang banyak orang tak berani ucapkan,” ucap Perdana Menteri Nawaf Salam.
Karya Rahbani mencerminkan warisan hibrida Lebanon, yang sebelum perang saudara 1975, merupakan tempat peleburan budaya. Ia juga menggambarkan konflik sektarian berikutnya, termasuk pertempuran berdarah antar milisi dan tiga tahun pendudukan Israel pasca-invasi 1982.
Sementara Fairuz melampaui perpecahan sektarian di negaranya, putranya memilih menjadi kiri dan sekuler secara tegas, mengecam pembelahan lama Lebanon. Drama pertamanya, Nazl el-Sourour (Hotel Kebahagiaan), yang tayang perdana tahun 1974 saat ia baru 17 tahun, menggambarkan masyarakat yang rusak oleh kesenjangan kelas dan represi.
Drama itu mengisahkan sekelompok pekerja yang mengambil alih restoran untuk menuntut hak, hanya untuk ditolak oleh elit politik.
Dalam foto tahun 2010 ini, penggemar Fairuz memegang gambarnya di Beirut. [File: Ahmad Omar/AP]
Dalam drama lain, Bennesbeh Labokra Chou? (Bagaimana dengan Besok?), ia memerankan pianis bar yang lelah di Beirut pascaperang. Karya ini menampilkan beberapa musik paling menyentuh dan kritik pedas Rahbani, termasuk kalimat terkenal, “Mereka bilang besok akan lebih baik, tapi bagaimana dengan hari ini?”
Rahbani juga komposer dengan jangkauan luar biasa. Ia menyuntikkan melodi Arab tradisional dengan jazz, funk, dan pengaruh klasik, menciptakan suara hibrida yang langsung dikenali. Penampilan langungnya legendaris, sering memainkan piano di klub-klub berasap di Hamra, salah satu distrik komersial utama Beirut.
Belakangan, Rahbani jarang tampil di publik, tapi generasi muda menemukan kembali dramanya secara daring dan mencicipi musiknya dalam gerakan protes. Ia terus mencipta dan menulis, sering menyuarakan kekecewaannya atas stagnasi politik dan kemerosotan kehidupan publik Lebanon.
“Aku rasa semuanya sudah berakhir, Lebanon terasa kosong,” tulis aktris Lebanon Carmen Lebbos, mantan pasangannya, di X.
Rahbani meninggalkan ibunya yang kini berusia 90 tahun, saudari Reema, dan saudara Hali.