Mantan presiden Republik Demokratik Kongo, Joseph Kabila, pada hari Selasa dijatuhi hukuman mati secara in absentia oleh pengadilan militer tinggi atas dakwaan makar, kejahatan perang, serta pelanggaran berat lainnya yang terkait dengan konflik berkepanjangan di wilayah timur negara tersebut.
Kabila dihukum karena diduga berkolaborasi dengan kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda, yang melancarkan serangan kilat pada Januari tahun ini dan merebut banyak wilayah, termasuk hub strategis di timur, Goma. Aksi ofensif kelompok ini mengakibatkan lebih dari 3.000 orang tewas serta pengungsian hampir satu juta penduduk.
Rekomendasi Cerita
Penjatuhan hukuman ini terjadi di tengah pemerintah DRC dan perwakilan pemberontak M23 yang masih terlibat dalam negosiasi damai yang berjalan lambat, dimediasi Qatar sejak Juli. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa hukuman bagi Kabila justru dapat menghambat perundingan tersebut dan memperdalam polarisasi politik di negara Afrika Tengah yang bermasalah ini.
DRC telah lama terjerat konflik selama dekade, yang kembali memanas pada bulan Januari. Meskipun pertempuran mereda seiring perundingan damai, masih terdapat laporan-laporan kekerasan. Kabila, yang menjabat presiden pada periode 2001-2019, merupakan rival politik Presiden Félix Tshisekedi dan menuduh presiden petahana tersebut memanfaatkan pengadilan untuk menyelesaikan perseteruan politik.
Berikut hal-hal yang perlu diketahui mengenai vonis terhadap Kabila:
Apa isi putusan tersebut?
Kabila dinyatakan bersalah atas beberapa tuduhan, termasuk makar, kejahatan perang, konspirasi, dan mengorganisir pemberontakan bersama kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda, menurut panel ahli PBB. Kelompok ini memiliki tujuan deklaratif untuk menggulingkan Tshisekedi. Rwanda membantah menjadi dalang di balik M23.
Letnan Jenderal Joseph Mutombo Katalayi, ketua tribunal militer DRC, menyatakan Kabila bersalah – melalui pemungutan suara mayoritas – atas “kejahatan perang berupa pembunuhan berencana, kejahatan perang berupa pemerkosaan, kejahatan perang berupa penyiksaan, serta kejahatan perang berupa serangan terhadap properti yang dilindungi”.
“Dengan menerapkan Pasal 7 Kode Pidana Militer, dijatuhkan satu hukuman tunggal, yakni hukuman terberat, yaitu hukuman mati,” ujar Katalayi.
Pengadilan juga memerintahkan mantan presiden itu untuk membayar ganti rugi sebesar $29 miliar kepada pemerintah DRC, dan masing-masing $2 miliar untuk wilayah terdampak perang, Kivu Utara dan Kivu Selatan, di bagian timur DRC. Kabila sendiri dipercaya lahir di wilayah Kivu Selatan.
Jaksa Richard Bondo, yang mewakili provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan selama persidangan, memuji keputusan pengadilan. “Keadilan yang dihadirkan atas nama rakyat Kongo memberikan kepuasan bagi rakyatnya,” kata Bondo kepada wartawan di luar pengadilan.
Kabila tidak hadir, maupun diwakili oleh tim kuasa hukum.
Siapakah Kabila, dan mengapa ada kasus menimpanya?
Kabila, 53 tahun, naik jabatan pada usia 29 tahun, menyusul pembunuhan ayahnya dan mantan presiden, Laurent Kabila. Sebelumnya, ia menjabat sebagai kepala staf angkatan darat dan bertempur dalam Perang Kongo. Masa jabatan Kabila, yang sarat dengan tuduhan korupsi dan pelanggaran HAM, berakhir pada 2016. Ia secara tidak konstitusional menunda pemilu hingga Desember 2018, dengan alasan tantangan pendaftaran pemilih.
Setelah kandidat yang didukungnya kalah dalam pemilu, Kabila menandatangani kesepakatan berbagi kekuasaan yang tidak nyaman dengan kandidat oposisi Tshisekedi dari Union for Democracy and Social Progress (UDPS), yang dinyatakan sebagai pemenang. Kesepakatan itu memungkinkan Kabila, dari People’s Party for Reconstruction and Democracy (PPRD), menempatkan beberapa sekutunya di kabinet. Namun, pada 2020, Tshisekedi mengakhiri aliansi setelah ia mulai secara sistematis menyingkirkan sekutu Kabila dari pemerintahan.
Pada November 2021, pemerintah DRC meluncurkan penyelidikan formal terhadap Kabila dan sekutu dekatnya atas tuduhan korupsi selama masa jabatannya. Pada April 2023, Kabila, di bawah tekanan yang semakin besar, mengasingkan diri secara sukarela dan dilaporkan telah tinggal di Afrika Selatan sejak saat itu.
Dia hampir tidak terdengar sampai Februari 2025, ketika ia menulis opini di Sunday Times, sebuah surat kabar Afrika Selatan, menuduh Tshisekedi berusaha mempertahankan kekuasaan dan salah menangani konflik yang sedang berlangsung dengan M23. Pada bulan yang sama, Presiden Tshisekedi, dalam pidatonya di Konferensi Keamanan Munich, menuduh Kabila mendukung kelompok pemberontak secara finansial.
Sebelumnya, presiden mengatakan hubungan dekat Kabila dengan pemimpin pemberontak Corneille Nangaa, yang bersekutu dengan M23, adalah bukti hubungannya dengan para pemberontak. Nangaa adalah komisioner pemilu di bawah Kabila dan mengawasi pemilu 2018 yang membawa Tshisekedi ke kursi kepresidenan. Dia berselisih dengan Tshisekedi pada 2021 mengenai cara pemilihan dijalankan, membentuk aliansi pemberontak Alliance of the Congo River (ACF), dan bergabung dengan para pemberontak pada Desember 2023.
Laporan bahwa Kabila mendarat di Goma pada bulan April membuat marah pemerintah Tshisekedi, mendorong mereka untuk melarang PPRD dan menyita aset Kabila. Pada Mei, parlemen DRC dengan suara mayoritas memutuskan untuk mencabut kekebalan presiden Kabila, yang melindungi mantan presiden dari penuntutan kecuali mereka melakukan “pelanggaran berat”, sebagai persiapan untuk persidangan. Kabila membalas dalam video YouTube, menyebut pemerintah Tshisekedi sebagai “kediktatoran”. Ia juga menyampaikan rencana perdamaian 12 poin yang katanya dapat mengakhiri konflik di timur.
Dua hari kemudian, M23 mengonfirmasi bahwa Kabila berada di Goma, di mana ia bertemu dengan pemimpin agama setempat dan penduduk lainnya. Ia tidak memberikan pernyataan, tetapi salah seorang rombongannya mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa tidak ada aliansi formal antara partainya dan M23, tetapi keduanya memiliki “tujuan yang sama” untuk mengakhiri kekuasaan Tshisekedi.
Pada bulan Juli, persidangan militer terhadap Kabila dimulai. Pengadilan pada hari Selasa menyatakan bahwa jaksa mengutip kesaksian yang melibatkan Kabila dari Eric Nkuba, mantan staf Nangaa yang dihukum karena pemberontakan pada Agustus 2024, dan sekarang sedang dipenjara.
Pengadilan menyatakan bahwa Nkuba mengungkapkan bahwa Nangaa dan Tshisekedi berkomunikasi melalui telepon mengenai rencana untuk menggulingkan Tshisekedi.
Dimana Kabila Sekarang?
Lokasi mantan presiden tersebut saat ini tidak diketahui. Ia terakhir kali terlihat di muka umum pada bulan Mei, ketika dikonfirmasi berada di Goma. Pengadilan militer pada hari Selasa memerintahkan penangkapannya segera.
Patrick Mauka, salah satu dari banyak korban luka-luka akibat pertempuran di wilayah tersebut, berpose untuk foto di pusat ortopedi yang dijalankan oleh Gereja Katolik dan didukung oleh Palang Merah di Goma, bagian timur DRC, pada Jumat, 29 Agustus 2025 [Moses Sawasawa/AP]
Apa Makna vonis Tersebut?
Analis hukum yang berbasis di Goma, Nzanzu Masomeko Hubert, menyalahkan proses pengadilan, dengan menyatakan bahwa bukti konkret terhadap Kabila tidak memadai. Ia menambahkan bahwa vonis tersebut berisiko mengganggu perundingan Doha yang sedang berlangsung dengan M23, yang menurut para peneliti berjalan sangat lambat karena aksi pencitraan dari kedua belah pihak.
“Saya yakin pengadilan ini dimotivasi secara politis,” kata Hubert, yang bekerja dengan pemerintah provinsi, kepada Al Jazeera. “Memvonis Joseph Kabila atas dugaan hubungannya dengan AFC/M23 sementara pemerintah sedang bernegosiasi dengan M23 di Doha adalah tidak konsisten. Hal ini bertentangan dengan kebutuhan untuk memperkuat persatuan nasional, terlebih selama masa krisis ini,” ujarnya.
Kambale Musavuli, yang berbasis di Ghana tempat ia bekerja untuk Pusat Penelitian Kongo-Kinshasa yang berpusat di AS, mengatakan pengadilan terhadap Kabila lebih merepresentasikan “hukuman dramatis” daripada pemeriksaan yang proper atas berbagai tuduhan terhadap mantan presiden tersebut atau mekanisme keadilan transisional yang lebih luas untuk DRC, yang telah direkomendasikan PBB sejak perang saudara.
“Rakyat Kongo memang menginginkan akuntabilitas, namun pengkhianatan terberat Joseph Kabila jauh melampaui hubungan terkininya dengan M23,” katanya, mengutip tuduhan mengenai pemilu curang di masa kepemimpinannya dan janji-janji pemerintahannya yang gagal untuk menginvestigasi pembunuhan terhadap anggota oposisi dan aktivis selama masa jabatannya.
“Keadilan selektif yang ditujukan kepada satu orang atas alasan politis berisiko lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat. Keadilan sejati haruslah adil, transparan, dan menjangkau luas,” tambah Musavuli.
Sementara itu, beberapa warga Goma, di mana ketenangan secara umum telah berlangsung pasca pertempuran awal tahun ini, menyuarakan kekhawatiran bahwa vonis tersebut dapat memicu reaksi keras dari M23.
Para analis memperingatkan bahwa perpecahan politik di negara tersebut, di mana Kabila terus memiliki pengaruh kuat, dapat semakin mendalam. DRC pada Maret 2024 mencabut larangan sementara terhadap eksekusi, yang telah berlaku sejak 2003 untuk mencegah perwira militer bekerja sama dengan M23 atau melakukan pemberontakan. Tiga belas prajurit dijatuhi hukuman mati pada bulan Januari, namun belum ada eksekusi yang dilaksanakan.
Kekerasan lebih lanjut di DRC dapat semakin mendestabilisasi kawasan Danau Besar dan perdamaian yang rapuh dengan Rwanda.
Pada Juni 2025, kedua negara menandatangani perjanjian damai menyusul negosiasi yang dipimpin oleh Qatar dan Amerika Serikat. Ini terpisah dari perjanjian damai yang dimediasi Qatar yang ditandatangani pada Juli antara DRC dan M23.
Bagaimana Reaksi Sekutu Kabila dan M23?
Dalam wawancara dengan The Associated Press, sekretaris permanen PPRD Emmanuel Ramazani Shadary mengecam vonis pengadilan sebagai “keputusan politis yang tidak adil”.
“Kami percaya bahwa niat jelas dari rezim diktator yang berkuasa adalah untuk mengeliminasi, menetralisir, seorang aktor politik utama,” demikian kutipan pernyataan Shadary.
Juru bicara aliansi pemberontak M23/AFC, Bertrand Bisimwa, dalam pernyataan pada hari Rabu, menyebut Kabila sebagai “presiden” dan mengatakan putusan tersebut bertentangan dengan kesepakatan yang dibuat sebelum perundingan damai Doha dimulai. “Vonis mati terhadap Presiden Joseph Kabila dengan dalih keterkaitannya dengan AFC/M23 merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Prinsip, sama halnya dengan terus berlangsungnya ofensif bersenjata oleh rezim Kinshasa,” ujarnya.