Sejak Donald Trump menyatakan bahwa ia bisa mengakhiri perang di Ukraina “dalam waktu 24 jam”, sebagian besar dunia menunggu untuk melihat apakah dia bisa memaksa Moskow dan Kyiv untuk berdamai. Jutaan tayangan dan geseran, berita sepanjang *miles* serta *forecast* setinggi gunung telah dikorbankan untuk pertanyaan itu.
Trump memupuk ekspektasi ini dengan bersikukuh bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kehabisan opsi dan pada akhirnya harus menerima tawarannya. Pada kenyataannya, justru sebaliknya yang terjadi. Trump-lah yang tidak memiliki daya ungkit. Ia bisa mengancam Nicolas Maduro dengan aksi militer potensial di Venezuela atau sekitarnya, tapi ia tidak punya pengaruh atas Vladimir Putin. Sanksi apa pun yang cukup keras untuk melukai Rusia juga akan menghantam ekonomi Barat secara keseluruhan, dan tidak ada satu pun pemimpin di Barat yang bersedia menggergaji cabang tempat mereka duduk.
Intervensi bersenjata bahkan lebih tidak masuk akal. Sejak hari-hari pertama invasi skala penuh, NATO memutuskan untuk mendukung Ukraina dengan senjata dan pelatihan sambil menghindari langkah yang bisa memicu perang langsung NATO-Rusia. Posisi tersebut tidak berubah.
Alhasil, Ukraina berada dalam posisi dimana, dengan atau tanpa dukungan cukup dari sekutunya, mereka pada dasarnya berperang sendirian melawan Rusia. Semua pembicaraan tentang perdamaian atau gencatan senjata terbukti sebagai gertakan, cara bagi Vladimir Putin untuk mengulur waktu dan berkonsolidasi. Strategi Putin bertumpu pada ketahanan tidak hanya melawan tentara Ukraina, tapi juga kesabaran dan persatuan politik sekutu-sekutunya. Amerika Serikat kini telah menyebarkan versi revisi dari kerangka perdamaiannya, melunakkan beberapa poin paling kontensius setelah berkonsultasi dengan Kyiv dan beberapa pemerintah Eropa. Namun, Kremlin terus menuntut konsesi teritorial besar-besaran dan penarikan pasukan Ukraina. Tanpa ini, Rusia menyatakan tidak akan menghentikan pergerakannya. Ukraina, di sisi lain, bersikukuh tidak akan menyerahkan wilayahnya.
Begitu menjadi jelas bahwa jalur diplomatik tidak menawarkan terobosan, Amerika Serikat hampir sepenuhnya menghentikan pengiriman senjata ke Ukraina. Pejabat menyalahkan penutupan pemerintah federal, meskipun penyebab sebenarnya kecil kemungkinannya adalah kekurangan tenaga *mover* di Pentagon. Bagaimanapun juga, bantuan militer Amerika telah menyusut hingga tinggal tetesan, sebagian besar terdiri dari persediaan yang disetujui di masa pemerintahan Biden. Dalam sidang konfirmasinya di depan Komite Angkatan Bersenjata Senat, Menteri Pertahanan terpilih Austin Dahmer berkata: “Saya tidak aware adanya jeda dalam bantuan [militer AS] ke Ukraina.” Itu terdengar kurang seperti penilaian serius dan lebih seperti pengakuan ketidaktahuan. Setiap prajurit Ukraina dapat merasakan konsekuensi dari penurunan drastis senjata Amerika. Setiap penduduk Kyiv dan kota-kota lain dapat merasakan kekurangan sistem pertahanan udara.
Eropa tidak mengisi kekosongan itu. Industri pertahanan Uni Eropa dan skema pengadaan bersama telah menghasilkan banyak janji namun sangat sedikit uang nyata. Beberapa miliar euro telah secara formal dijanjikan dan jauh lebih sedikit yang telah disalurkan. Negara-negara anggota lebih memilih untuk mempersenjatai diri mereka sendiri terlebih dahulu, baru kemudian Ukraina, meskipun program mereka sendiri berjalan lambat. UE tetap terpecah antara pemerintah yang bersedia mengambil risiko lebih besar untuk mendukung Kyiv dan lainnya yang takut memprovokasi Rusia atau melemahkan anggaran mereka sendiri. Brussels kini mendorong rencana untuk menggunakan aset Rusia yang dibekukan untuk menjamin pinjaman hingga 140 miliar euro ($162 miliar) bagi Ukraina, yang dapat mendukung anggaran dan belanja pertahanan Kyiv selama dua tahun ke depan. Beberapa negara anggota kunci yang menjadi tuan rumah bagi sebagian besar cadangan tersebut tetap hati-hati, dan tanpa kesepakatan bulat, rencana ini mungkin mandek.
Ini membuat Ukraina memperluas produksinya sendiri dan bertarung dengan apa pun yang tiba dan apa pun yang tidak disedot oleh tokoh-tokoh korup seperti Tymur Mindich, yang sedang diselidiki dalam kasus pengadaan besar. Untuk saat ini, Ukraina dapat memperlambat musuh dengan biaya sangat besar, tetapi ini tidak cukup untuk menang.
Pasokan untuk tentara tidak memadai. Pemerintah gagal mempertahankan motivasi atau memobilisasi negara; faktanya, mereka justru mencapai hal sebaliknya. Para pria telah berperang hingga tahun keempat, sementara para wanita tidak bisa menunggu tanpa batas. Perceraian meningkat, kelelahan semakin dalam, dan moral runtuh. Jaksa telah membuka lebih dari 255.000 kasus untuk ketidakhadiran tanpa izin dan lebih dari 56.000 kasus untuk desersi sejak 2022. Hanya dalam 10 bulan pertama 2025 saja, mereka mendaftarkan sekitar 162.500 kasus AWOL dan 21.600 kasus desersi. Laporan lain menunjukkan bahwa lebih dari 21.000 pasukan meninggalkan angkatan pada Oktober, yang merupakan angka bulanan tertinggi sejauh ini. Ketidakadilan sosial semakin melebar.
Secara demografis, gambarnya sama suramnya. Populasi Ukraina telah turun dari lebih dari 50 juta saat merdeka menjadi sekitar 31 juta di wilayah yang dikendalikan Kyiv per awal 2025. Kelahiran tetap di bawah kematian dan tingkat fertilitas telah turun menjadi sekitar satu anak per perempuan.
Dalam *backdrop* ini, Ukraina hanya memiliki tiga opsi strategis.
Opsi pertama adalah menerima syarat-syarat Putin. Ini berarti menyerah, kehilangan muka secara politis, dan menyerahkan wilayah, tetapi akan melestarikan negara Ukraina. Ini juga akan mengunci negara dalam kerentanan jangka panjang.
Opsi kedua adalah overhaul radikal kepemimpinan politik dan militer Ukraina. Ini akan melibatkan pembangunan ulang mobilisasi, restrukturisasi sistem komando, dan merekayasa ulang upaya perang dari dasar. Ukraina tidak bisa berperang panjang dengan institusi yang dirancang untuk politik masa damai dan penugasan *rotational*.
Opsi ketiga adalah tidak mengubah apa pun dan mempertahankan status quo. Ukraina akan terus melancarkan serangan presisi pada infrastruktur minyak Rusia dengan harapan menggerus ekonomi Kremlin dan menunggu Putin meninggal. Ini adalah ilusi. Jika serangan semacam itu tidak bisa menghancurkan Ukraina yang lebih kecil, mereka tidak akan menghancurkan negara yang berkali-kali lipat lebih besar dalam hal ekonomi, teritori, dan demografi. Kerusakan akan ditimbulkan, tapi tidak cukup untuk memaksa Rusia berhenti.
Dilihat dari pernyataan terkini Zelenskyy dan beberapa mitra Eropanya, Ukraina secara efektif telah berkomitmen pada opsi ketiga. Pertanyaannya adalah berapa lama pendekatan ini dapat dipertahankan. Bahkan mengesampingkan moral dan kelelahan setelah empat tahun perang, prospek keuangannya suram.
Ukraina menghadapi defisit anggaran yang besar dan utang publik yang kemungkinan akan melebihi 100 persen dari produk domestik bruto. Eropa gagal menghimpun dana yang diperlukan, Belgia belum melepas aset Rusia yang dibekukan, dan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar benua itu masih lemah. Setiap kenaikan dukungan yang signifikan akan membutuhkan keberanian politik di saat para pemilih masih sensitif terhadap lonjakan inflasi baru-baru ini. Uni Eropa juga tidak mampu mengikat Amerika Serikat pada komitmen jangka panjang dalam iklim politik saat ini di Washington.
Semua ini mengarah pada suatu kesimpulan yang tak terelakkan. Jika Ukraina bermaksud bertahan sebagai sebuah negara, pada akhirnya mereka harus mengambil jalan kedua dan melakukan restrukturisasi radikal atas kepemimpinan politik dan militernya. Begitu momen itu tiba, persyaratan dari Moskow akan lebih keras daripada sekarang. Ultimatum Rusia kemungkinan akan meluas dari klaim atas empat wilayah menjadi tuntutan untuk delapan wilayah, disertai dengan mekanisme kontrol ketat, demiliterisasi, dan konsesi-konsesi tambahan.
Perubahan radikal sangat diperlukan segera, sebelum opsi strategis Ukraina menyempit lebih lanjut dan sebelum kemampuan mereka untuk bertahan runtuh bersamanya.
Pendapat yang diutarakan dalam artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak serta merta mencerminkan kebijakan editorial Al Jazeera.