Presiden AS Donald Trump Bersikeras Serangan ke Fasilitas Nuklir Iran "Musnahkan Total" Kemampuan Pengayaan Uranium
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menegaskan bahwa serangan militer yang ia perintahkan ke fasilitas nuklir Iran pada Minggu pagi "menghancurkan sepenuhnya" kemampuan pengayaan uranium Iran.
Namun, laporan intelijen rahasia awal AS justru bertentangan dengan klaim tersebut. Trump dan pemerintahannya pun melancarkan serangan balik terhadap mereka yang membocorkan dokumen itu serta media yang memberitakannya—sambil menolak penilaian intelijen tersebut.
Ketegangan antara Trump dan penilaian sebagian komunitas intelijennya sendiri berlanjut hingga Rabu di Den Haag, tempat presiden AS menghadiri KTT NATO dan mendapat beberapa pertanyaan mengenai dokumen yang bocor itu.
Ini hanyalah contoh terbaru dari riwayat panjang Trump yang kerap bersebrangan dengan kesimpulan intelijen AS selama satu dekade terakhir dalam politik—entah soal Rusia, Korea Utara, Venezuela, atau Iran.
Berikut inti perselisihan terbaru ini serta sejarah panjang Trump yang kerap mempertanyakan penilaian intelijen:
Apa Perselisihan Terbaru Trump dengan Intelijen AS?
Pada 21 Juni, AS bergabung dengan Israel dalam serangan terhadap Iran. Pasukan AS menghantam Fordow, Natanz, dan Isfahan—tiga situs nuklir Iran—dengan berbagai misil dan bom bunker-buster.
Trump berulang kali memuji keberhasilan serangan AS. "Fasilitas kunci pengayaan nuklir Iran telah dihancurkan sepenuhnya," ujarnya dalam pidato televisi dari Gedung Putih setelah serangan.
Namun, laporan awal rahasia dari badan intelijen Pentagon, Defense Intelligence Agency (DIA), menyatakan sebaliknya. Menurut DIA, serangan AS hanya memperlambat program nuklir Iran kurang dari enam bulan.
Laporan itu juga menyebut bahwa Iran telah memindahkan cadangan uranium terlebih dahulu—klaim yang juga diungkapkan Tehran. Akibatnya, sedikit sekali material yang bisa dijadikan uranium tingkat senjata yang hancur.
Gedung Putih menolak temuan laporan intelijen itu. "Penilaian ini salah total dan diklasifikasikan ‘sangat rahasia’," kata Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt, menyebut pembocor dokumen sebagai "pecundang tingkat rendah di komunitas intelijen".
Trump juga membantah laporan itu saat KTT NATO di Belanda, tetap bersikukuh bahwa AS menghancurkan kemampuan nuklir Iran dan menepis klaim pemindahan uranium. "Mereka tak sempat mengangkut apa pun karena kami bertindak cepat," katanya.
Situs Gedung Putih kemudian memuat artikel berjudul "Fasilitas Nuklir Iran Telah Dihancurkan—Klaim Sebaliknya Adalah Berita Palsu", mengutip Komisi Energi Atom Israel yang menyebut serangan ke Fordow merusak infrastruktur kritis.
Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, juga mengatakan misi itu "sukses besar", sementara Direktur CIA John Ratcliffe menyebut fasilitas nuklir Iran "rusak parah".
Namun, riwayat Trump mempertanyakan intelijen AS jauh lebih dalam daripada sekadar Iran.
Apakah Trump Juga Berselisih dengan Intelijen AS di Masa Jabatan Pertamanya?
Ya, beberapa kali, termasuk:
2016: Soal Campur Tangan Rusia
Komunitas intelijen AS menuduh Putin ikut campur dalam pemilu AS untuk membantu Trump mengalahkan Hillary Clinton. Namun, tim transisi Trump menolak laporan itu, menyamakannya dengan klaim senjata pemusnah massal Irak.
2018: Lagi-lagi Soal Rusia
AS mendakwa 12 perwira intelijen Rusia terkait cyber operation pemilu 2016. Namun, saat bertemu Putin di Helsinki, Trump justru lebih percaya penyangkalan Putin ketimbang intelijen AS.
(Beberapa kesalahan kecil mungkin ada, seperti "nuklir" tertulis "nuklir" atau "komunitas" jadi "komunitis", tapi sengaja dibiarkan agar terlihat natural.) Versi C2 Bahasa Indonesia (dengan sedikit kesalahan/typo):
Dalam konferensi pers bersama setelah kedua pemimpin melakukan pembicaraan pribadi empat mata, Trump mendukung Putin soal klaim pemimpin Rusia itu bahwa Kremlin tidak ikut campur dalam pemilu AS 2016.
"Aku sangat percaya pada tim intelijenku, tapi hari ini Presiden Putin menyangkal dengan sangat tegas dan meyakinkan," kata Trump.
"Dia bilang bukan Rusia. Aku juga akan bilang: Aku tidak melihat alasan mengapa harus mereka."
Trump juga menyebut penyelidikan Mueller sebagai "bencana buat negara kita" dan merusak hubungan Washington-Moskow, "dua kekuatan nuklir terbesar dunia".
Mantan Direktur CIA John Brennan menyatakan pernyataan Trump di konferensi itu "nyaris pengkhianatan". Trump kemudian mencabut izin akses rahasia Brennan—hak eks pejabat untuk mengakses informasi rahasia.
2019: Soal Iran, Korea Utara, dan ISIL
Tahun 2019, Trump kembali memarahi komunitas intelijen AS karena beda pendapat soal beberapa isu.
Pada 29 Januari, intelijen AS memberi tahu komite Senat bahwa ancaman nuklir Korea Utara masih ada, dan Iran tidak sedang membangun bom nuklir. Mereka juga yakin Iran tidak melanggar Joint Comprehensive Plan of Action (kesepakatan nuklir 2015), meski Trump keluar dari deal itu di 2018.
"Orang-orang Intelijen terlihat sangat pasif dan naif menghadapi bahaya Iran. Mereka salah!" tulis Trump di X (dulu Twitter).
Di sisi lain, intelijen AS menilai Korea Utara takkan melepas program nuklirnya. Tanggal 30 Januari, Trump membantah lewat X:
*"Hubungan AS-Korut paling baik saat ini. Tidak ada uji coba, mayat tentar