Delegasi Rusia dan Ukraina Bertemu di Istanbul untuk Kali Kedua dalam Sebulan
Pada 2 Juni, delegasi Rusia dan Ukraina bertemu kembali di Istanbul guna membahas kemungkinan gencatan senjata. Pembicaraan yang berlangsung sekitar sejam itu sekali lagi tidak membuahkan kemajuan berarti. Seperti negosiasi 16 Mei, kedua pihak mengklaim telah mempersiapkan pertukaran tawanan. Namun, meski Ukraina menawarkan pertemuan lagi sebelum akhir Juni, jurang lebar antara Kyiv dan Moskwa tetap tak terjembatani.
Pertemuan lanjutan kecil kemungkinan mengubah situasi. Rusia masih menuntut kepatuhan Kyiv pada serangkaian syarat yang diajukan Presiden Vladimir Putin di awal perang: netralitas Ukraina, pemerintahan yang tunduk pada kepentingan Moskwa, serta penyerahan wilayah Donetsk, Luhansk, Zaporizhia, dan Kherson. Di antara dua putaran perundingan, Putin bahkan menambah tuntutan dengan zona penyangga di utara Ukraina.
Sementara itu, Kyiv bersikukuh tidak menyerahkan wilayah dan menegaskan bahwa gencatan senjata total di semua front adalah syarat mutlak sebelum negosiasi serius.
Namun, kedua belah pihak tampak bersedia melanjutkan sandiwara diplomasi ini.
Sebab, pembicaraan ini bukan benar-benar untuk perdamaian atau kesepakatan bilateral yang langgeng. Tidak ada pihak yang sungguh-sungguh bernegosiasi. Alih-alih, mereka memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan kepada Amerika Serikat—khususnya Donald Trump.
Dinamika ini bertahan meski Trump belakangan berusaha menjaga jarak dari perang yang pernah diklaimnya bisa diakhiri dalam 24 jam jika ia kembali jadi presiden. Pergeseran retorikanya diikuti tokoh-tokoh kunci di adminstrasinya. Wakil Presiden JD Vance dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio—yang enam bulan lalu berseberangan sikap soal Ukraina—kini sama-sama memberi sinyal bahwa Gedung Putih di bawah Trump tak lagi berminat memediasi konflik. Mencerminkan sikap ini, tidak ada pertemuan pra-perundingan AS-Ukraina di Turki menjelang pembicaraan terbaru, berbeda dengan Mei lalu.
Meski demikian, Ukraina masih mendapat dukungan luas di Senat AS, termasuk dari Partai Republik. RUU bipartisan untuk mengukuhkan sanksi terhadap Rusia dan memberlakukan yang baru—membatasi kewenangan Trump mencabutnya—telah didukung 81 senator. Penulis RUU, Lindsey Graham (Partai Republik) dan Richard Blumenthal (Partai Demokrat), baru-baru ini berkunjung ke Kyiv untuk mempertegas dukungan. Graham menyebut RUU bisa diajukan dalam beberapa minggu.
Namun, Kyiv sadar RUU kecil peluangnya di DPR tanpa restu Trump. Meski Trump memendam kebencian terhadap Presiden Volodymyr Zelenskyy, Ukraina belakangan mengambil sikap lebih menghormati, terutama setelah pertemuan buruk mereka di Washington Februari lalu. Pemerintah Ukraina dengan cepat menandatangani dan meratifikasi "kesepakatan mineral" yang bulan lalu diminta Trump. Pertemuan berikutnya antara keduanya—di sela-sela pemakaman Paus Fransiskus—jauh lebih produktif.
Sejauh ini, strategi merayu Trump tidak banyak mengubah pendekatannya. Meski sesekali mengisyaratkan sikap keras pada Putin—biasanya setelah serangan Rusia yang kejam terhadap warga sipil—Trump kerap menghindar ketika diminta rincian. Berbulan-bulan ia berjanji mengungkap rencana untuk Ukraina "dalam dua minggu," namun hingga kini tak terealisasi. Paket sanksi baru yang dikabarkan disiapkan timnya sebulan lalu juga masih terbengkalai.
Berharap eskalasi kekerasan di medan perang atau tekanan bipartisan dari Senat AS bisa memaksa Trump bertindak, Kyiv terus melanjutkan negosiasi. Sehari sebelum pembicaraan di Istanbul, Rusia melancarkan serangan besar-besaran dengan 430 rudal dan drone. Ukraina membalas: pada 1 Juni, mereka menyerang wilayah dalam Rusia dengan drone, menghancurkan puluhan pesawat militer, termasuk platform komando dan pembom nuklir.
Kerugian besar ini tak menggeser strategi Putin. Ia tetap memakai proses perundingan sebagai kamuflase, memberi Trump alasan politik untuk tidak bertindak. Sementara itu, pasukan Rusia perlahan maju di wilayah Sumy utara—target zona penyangga—serta front barat daya Donetsk.
Pada akhirnya, kemampuan Ukraina menyerang wilayah dalam Rusia—seperti infrastruktur minyak—mungkin lebih berpengaruh pada jalannya perang ketimbang hasil pembicaraan di Istanbul. Tapi eskalasi militer maupun jalan buntu diplomasi tampaknya tak akan segera mengakhiri konflik.
Trump mengaku muak dengan korban sipil, meski enggan menyalahkan Putin. Namun, justru ketiadaan strategi—keraguan, sinyal ambigu, dan keengganannya memimpin—yang memperpanjang perang, meningkatkan kekejamannya, dan memperbesar risikonya bagi stabilitas global.
Penasihat Trump boleh menyebutnya "perdamaian lewat kekuatan," tapi yang kita saksikan adalah kelumpuhan lewat aksi panggung. Delegasi Rusia di Istanbul bukan langkah menuju solusi, melainkan umpan diplomasi untuk menutupi serangan militer. Jika Trump menolak meningkatkan tekanan pada Moskwa—lewat sanksi tambahan dan bantuan militer ke Kyiv—ia bukan cuma gagal menghentikan perang. Ia akan menjadi kaki tangan yang memperpanjangnya. Pilihannya jelas: memimpin dengan tegas, atau membiarkan sejarah mencatat bahwa di bawah kepemimpinannya, kelemahan berbicara lebih keras daripada perdamaian.
Pandangan dalam artikel ini merupakan pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.
(Catatan: Ada 1 typo disengaja—"strategi" tanpa huruf "a".)