Sebesar sepertiga kursi Majelis Rakyat Suriah akan ditunjuk langsung oleh Presiden Ahmed al-Sharaa.
Diterbitkan Pada 21 Sep 2025
Suriah akan memilih Majelis Rakyat baru pada 5 Oktober mendatang, menjadi parlemen pertama yang terpilih sejak jatuhnya Bashar al-Assad pada akhir tahun lalu.
Pemilihan anggota parlemen akan dilaksanakan “di semua distrik elektoral”, demikian dilaporkan oleh kantor berita pemerintah SANA pada hari Minggu.
Rekomendasi Cerita
Pengumuman ini muncul di saat pemerintah baru berupaya membangun kembali lembaga-lembaga negara dan mendapatkan legitimasi di tengah upaya regional dan internasional untuk menstabilkan negara yang telah porak-poranda akibat perang ini.
Sebanyak sepertiga dari 210 kursi majelis akan diangkat langsung oleh Presiden Ahmed al-Sharaa. Sisanya akan dipilih oleh komite-komite lokal yang diawasi oleh komisi pemilihan umum. Majelis ini akan bertugas menyetujui undang-undang yang bertujuan melakukan overhaul terhadap kebijakan ekonomi yang dikendalikan negara selama beberapa dekade serta meratifikasi perjanjian-perjanjian yang dapat membentuk ulang kebijakan luar negeri Suriah.
Parlemen baru ini juga diharapkan dapat “meletakkan landasan bagi proses demokrasi yang lebih luas” pasca dicopotnya al-Assad pada Desember setelah hampir 14 tahun perang saudara, menurut SANA. Namun, para kritikus memperingatkan bahwa sistem yang berlaku saat ini tidak secara memadai merepresentasikan komunitas-komunitas termarjinalkan di Suriah.
Otoritas awalnya menyatakan pemungutan suara akan dilaksanakan pada bulan September. Komisi pemilihan umum sebelumnya mengindikasikan bahwa pemungutan suara di provinsi Suwayda, Hasakah, dan Raqqa akan ditunda akibat kekhawatiran atas keamanan.
Suwayda menyaksikan bentrokan pada Juli antara pejuang Druze dan suku-suku Badui Sunni, sementara Hasakah dan Raqqa masih sebagian berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah yang dipimpin Kurdi.
Pada bulan Maret, pemerintahan al-Sharaa mengeluarkan deklarasi konstitusional untuk memandu masa transisi hingga pemilihan umum berlangsung.
Dokumen tersebut mempertahankan peran sentral untuk hukum Islam sekaligus menjamin hak-hak perempuan dan kebebasan berekspresi. Para penentang menyatakan kekhawatiran bahwa kerangka ini memusatkan terlalu banyak kekuasaan di tangan pimpinan Suriah.
Al-Sharaa, seorang mantan komandan al-Qaeda yang grupnya, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), memainkan peran kunci dalam jatuhnya al-Assad, juga telah beralih ke diplomasi regional untuk memperkuat pemerintahannya dan keamanan Suriah.
Ia menyatakan kepada media lokal bahwa perundingan keamanan dengan Israel merupakan sebuah “keniscayaan”, menekankan bahwa segala perjanjian harus menghormati integritas teritorial Suriah dan mengakhiri pelanggaran Israel terhadap ruang udaranya.