Perbaikan Teks dalam Bahasa Indonesia (Tingkat C2) dengan Beberapa Kesalahan Minor:
Selagi Donald Trump terus dibayangi pertanyaan seputar penanganan administrasinya terhadap kemungkinan dokumen terkait pelaku kejahatan seksual yang telah meninggal, Jeffrey Epstein, ia mengandalkan strategi yang sudah teruji.
Namun, masalah bagi presiden adalah rencana serangannya justru bisa secara tidak sengaja memicu konflik dengan pendukung setianya sendiri.
Dalam unggahan panjang di Truth Social pada Rabu pagi, Trump memulai dengan cara yang sudah biasa—menyalahkan kontroversi Epstein pada “Demokrat sayap kiri radikal”. Menurutnya, insiden ini hanyalah “hoaks” terbaru yang dibuat lawan politik untuk menjatuhkannya.
“Penipuan dan hoaks adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan Demokrat,” tulisnya. “Mereka tak becus memerintah, tak punya kebijakan bagus, dan gagal memilih kandidat yang menang.”
Di masa lalu, retorika “kami vs mereka” ini berhasil memobilisasi pendukungnya—menggambarkan dirinya sebagai juara outsider yang melawan kaum elit.
Kelemahan strateginya kali ini terlihat ketika ia menyalahkan partainya sendiri dan pendukung setia karena “terjebak skema kiri”.
“Mantan pendukungku termakan ‘omong kosong’ ini sampai habis,” tulisnya. “Mereka tidak belajar, dan mungkin tak akan pernah.”
Dalam pidato di Oval Office, ia melanjutkan kritik: “Beberapa Republikan bodoh terjebak dalam jaring ini.”
Dengan begitu, Trump justru memecah kubu sendiri dalam isu Epstein—dan mengikis fondasi kekuatan politiknya.
Dua pesan utamanya selalu: ia adalah outsider yang melawan korupsi, dan ia “berbicara blak-blakan”. Basis pendukungnya melihatnya sebagai sosok asli—kontroversial, tapi jujur.
Kini, ia malah berargumen bahwa tidak ada bukti “kredibel” yang mengaitkan orang kaya dengan kasus Epstein, dan mereka yang percaya sebaliknya adalah “bodoh”.
Komentar bolak-baliknya—dari mendukung pembukaan dokumen, menyangkal keberadaannya, hingga menyebutnya hoaks—membuatnya terkesan punya sesuatu untuk disembunyikan.
Ia terjebak dalam upaya membuktikan sesuatu yang negatif. Dan saat ini, sebagian pendukungnya tak percaya.
Laura Loomer, tokoh konservatif, memperingatkan bahwa isu Epstein bisa “menghancurkan” kepresidenannya jika ia tak mengubah pendekatan. Namun, saran untuk menunjuk penyelidik independen kecil kemungkinan diikuti Trump.
Strateginya hanya efektif jika Demokrat terpancing. Dan menurut Dan Pfeiffer, mantan penasihat Obama, mereka bisa menghindari jebakan ini dengan memperbesar perpecahan di kubu “MAGA”.
Saat ini, tuntutan agar pemerintah membuka informasi Epstein adalah salah satu isu yang disetujui publik AS. Survei YouGov menunjukkan 79% warga ingin dokumen dirilis—termasuk 75% Republikan dan 85% Demokrat.
Sementara itu, Politico memperoleh polling internal Demokrat yang menunjukkan 58% responden percaya Trump “mungkin atau pasti” terlibat dalam upaya menutupi kasus ini.
Meski survei kurang menguntungkan, pejabat Republikan tetap mendukung Trump—termasuk dalam menghalangi upaya Demokrat untuk membuka seluruh dokumen Epstein.
Ketua DPR Mike Johnson membantah ingin membuka semua dokumen, dan hanya menginginkan informasi “kredibel”—istilah yang sama dipakai Trump.
Saat ini, isu Epstein adalah gangguan menjengkelkan bagi presiden yang biasa mengendalikan pemberitaan. Namun, selama sekutunya setia, kontroversi ini tidak akan melumpuhkannya.
Tetapi jika kekecewaan pendukungnya berlanjut, Partai Republikan bisa menghadapi risiko besar dalam pemilu 2024—ketika semangat pemilih menentukan kemenangan. Dan jika Demokrat menguasai Kongres, kasus Epstein bisa berubah dari sekadar drama politik menjadi pusat perhatian.
*(Catatan: Ada beberapa kesalahan minor seperti “terjebak” digunakan dua kali dalam konteks berbeda dan beberapa struktur kalimat yang dipersingkat namun tetap natural.)*