Pemerintah-pemerintah saling berebut memberikan konsesi kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyongsong tenggat tarif 1 Agustus. Minggu lalu, presiden AS itu meraih kemenangan terbesarnya sejauh ini ketika Ursula von der Leyen, pemimpin Uni Eropa, bagai penguasa bawahan yang memberi upeti, datang ke lapangan golf pribadi Trump di Skotlandia untuk menyerahkan persembahan.
Persembahan itu berupa perjanjian tarif sepihak di mana Brussel menerima kenaikan tarif besar-besaran dan berjanji membelanjakan ratusan miliar dolar untuk bahan bakar fosil dan produk militer AS.
Perjanjian ini mengubah keseimbangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. UE menyerah tanpa perlawanan. Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou menyebutnya sebagai "hari kelam" bagi persatuan Eropa, sementara seorang diplomat Eropa mengeluh, "yang tidak bersatu akan digantung satu per satu."
Dampak ekonomi bagi dunia kemungkinan lebih buruk lagi. Trump telah menyatakan perang ekonomi terhadap kawan dan lawan. Banyak negara menghadapi tarif lebih tinggi daripada UE dan lebih tak mampu bertahan. Dengan menyerah, Brussel mempersulit negara lain untuk tetap tegar.
Tarif 40% untuk Laos atau 36% untuk Kamboja, misalnya, akan menghancurkan industri ekspor yang dibangun atas dorongan korporasi AS beberapa dekade terakhir. Tanpa front persatuan, negara-negara lain terpaksa ikut merundingkan.
Minggu lalu, Trump mengumumkan kesepakatan dengan Filipina: tarif 19% untuk semua barang ekspor ke AS dan nol tarif untuk impor AS—tidak jelas apakah Manila benar-benar setuju sebelum presiden AS mengumumkannya. Kesepakatan Indonesia lebih buruk: dipaksa melepas kendali atas ekspor mineral kritis dan sektor digital yang sedang berkembang—keduanya penting bagi pembangunan ekonominya. Sementara Brasil menghadapi tuntutan AS yang melampaui ekonomi, bahkan sampai intervensi dalam penuntutan mantan Presiden Jair Bolsonaro.
Meski ketentuan perjanjian berbeda-beda, semuanya mengikuti strategi serupa: memaksa pemerintah mengubah aturan demi kepentingan korporasi AS, terutama oligarki di sekitar presiden.
Gaya negosiasi Trump mungkin tidak terduga, tapi tujuannya jelas: mengguncang sistem ekonomi global, mengganti aturan yang sudah tidak adil dengan dominasi mutlak si tukang gertak.
Dampak langsung restrukturisasi ini akan buruk bagi negara yang menyerah, tapi bukan akhir cerita. Dengan memenuhi keinginannya, mereka memperkuat posisi Trump—dan dia akan kembali meminta lebih.
UE pun tak punya kejelasan soal tarif tambahan apa lagi yang akan dikenakan Trump dan bagaimana pengaruhnya terhadap "kesepakatan" yang sudah dibuat. Kanada menghapus pajak layanan digital untuk raksasa teknologi demi kesepakatan, hanya untuk dibebani tarif lebih tinggi. Filipina kini menghadapi tarif lebih besar dibanding April, meski sudah memberi konsesi. Sementara Inggris mengira sudah sepakat soal baja, ternyata tidak.
Tak ada keadilan di sini. Satu-satunya jalan adalah melawan Trump—dia tidak menghargai kelemahan.
Minimal, bagi negara yang sudah menandatangani kesepakatan, berarti menerapkan sesedikit mungkin. Pemerintah yang bisa membalas harus melakukannya. Bukan sekadar membalas tarif dengan tarif—kebijakan yang bisa merugikan diri sendiri—tapi menggunakan alat yang paling menunjukkan kekuatan.
UE punya kekuatan untuk menantang perdagangan jasa AS dan seharusnya membalas dengan membatasi akses korporasi AS ke kontrak pemerintah, pasar keuangan, dan perlindungan kekayaan intelektual.
Dengan tidak bertindak demikian, UE menunjukkan salah paham besar akan situasi saat ini. Von der Leyen seolah menganggap Trump sebagai anomali sementara yang bisa dibendung sembari menunggu kembalinya "bisnis seperti biasa" dalam empat tahun.
Tapi di Eropa dan AS, publik sudah muak dengan ekonomi global yang dikuasai korporasi. Tak mungkin kembali ke dunia itu. Kebijakan balasan seperti yang disebutkan tak hanya bisa memukul teman oligarki Trump, tapi juga melemahkan monopoli yang jadi inti ekonomi tak adil dan tak berkelanjutan ini.
Poin terakhir ini penting. Jika kita ingin Trump lenyap—seperti diinginkan jutaan warga AS—itu tidak akan tercapai dengan memberinya kemenangan tak perlu. Trump berkuasa dengan menjembatani kemarahan publik terhadap ekonomi korporasi dan para baron korporasi itu sendiri. Ini pencapaian luar biasa. Tapi aliansi ini hanya bertahan selama dia menang.
Pertanyaannya kini: bagaimana pemerintah bisa melindungi ekonomi mereka dalam jangka panjang? Jawabannya adalah dengan merebut kembali kedaulatan, bukan menyerahkannya kepada tukang gertak di Gedung Putih. Lebih dari itu, tindakan semacam ini bisa membongkar wajah Trump sebagai lobi korporasi sekaligus membuka jalan bagi kejatuhannya.
Pandangan dalam artikel ini milik penulis dan tidak selalu mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.