Megan Fisher dan Emir Nader
BBC News, London dan Yerusalem
Reuters
Seorang pria memegang peralatan jurnalis Hussam al-Masri yang tengah melakukan siaran televisi langsung dari Rumah Sakit Nasser.
Serangan ganda Israel terhadap sebuah rumah sakit di Gaza menewaskan 20 orang, termasuk para jurnalis dan tenaga kesehatan, menurut pihak tempat mereka bekerja, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.
Setidaknya satu orang tewas dalam serangan pertama, dan yang lainnya dalam serangan kedua beberapa menit kemudian saat para penyelamat dan jurnalis tiba di lokasi kejadian di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis.
Kelima jurnalis tersebut bekerja untuk sejumlah lembaga media internasional, termasuk Associated Press, Reuters, Al Jazeera, dan Middle East Eye.
Pada Senin sore, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut insiden ini sebagai “kecelakaan tragis” yang “sangat disesali” oleh Israel dan mengatakan bahwa otoritas militer sedang “melakukan penyelidikan menyeluruh”.
### Kronologi Serangan
Menurut staf medis di Nasser, serangan pertama terjadi sekitar pukul 10:00 waktu setempat.
Seorang tenaga medis asal Inggris yang bekerja di rumah sakit tersebut, yang saat itu sedang merawat pasien di unit perawatan intensif, menggambarkan situasinya sebagai “kepanikan massal… kekacauan”.
Sekitar 10 menit kemudian, terjadi ledakan lain di tempat yang sama, ujar tenaga medis tersebut, seraya menambahkan bahwa staf medis sedang merencanakan evakuasi dari gedung ketika serangan kedua terjadi.
Menurut WHO, departemen gawat darurat, bangsal rawat inap, dan unit bedah rumah sakit terkena serangan. Kepala WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa tangga darurat juga mengalami kerusakan.
BBC Verify telah melihat rekaman yang mengonfirmasi waktu-waktu ini.
Siaran langsung oleh Al Ghad TV menunjukkan sejumlah pekerja darurat merespons serangan pertama di dekat lantai atas Rumah Sakit Nasser, sementara sejumlah jurnalis di latar belakang merekam kejadian tersebut.
Sebuah tangga, tempat para jurnalis sering berkumpul untuk melakukan siaran, terlihat dalam video. Sebuah serangan kemudian langsung mengenai para pekerja darurat dan reporter, menimbulkan kepulan asap dan puing-puing beterbangan di udara. Setidaknya satu jenazah terlihat setelah kejadian.
Video terpisah, yang direkam dari tangga yang sama, menunjukkan kondisi pascaserangan. Jenazah terlihat di tangga, sementara tim medis merespons serangan tersebut.
Klip lainnya, yang direkam di depan pintu masuk utama Rumah Sakit Nasser, memperlihatkan seorang pekerja medis mengunjukkan pakaian berlumuran darah ke kamera, sebelum sebuah ledakan membuat orang-orang berlarian mencari perlindungan.
Tenaga medis asal Inggris itu menggambarkan ia melihat “jejak darah di seluruh lantai” dan “pemandangan kekacauan, ketidakpercayaan, dan ketakutan yang mutlak”.
Penyelamat dan jurnalis termasuk di antara korban tewas dalam serangan ganda di Rumah Sakit Nasser – laporan Yolande Knell.
### Siapa Para Korban?
Identitas para jurnalis yang tewas telah dikonfirmasi, namun sedikit yang diketahui tentang korban jiwa lainnya. Kementerian kesehatan yang dikelola Hamas menyatakan bahwa para penyelamat dan pasien juga tewas.
Husam al-Masri bekerja sebagai kamerawan untuk Reuters. Kantor berita tersebut melaporkan bahwa ia tewas dalam serangan pertama terhadap rumah sakit saat mengoperasikan siaran TV langsung untuk Reuters. Lembaga berita di seluruh dunia, termasuk BBC, telah menggunakan rekaman yang ia ambil.
Mariam Dagga, 33 tahun, adalah salah satu dari sedikit jurnalis perempuan yang meliput perang di Gaza. Ia adalah pekerja lepas yang bekerja dengan Associated Press (AP), yang menyatakan bahwa ia rutin melaporkan dari rumah sakit tersebut. AP melaporkan bahwa Dagga memiliki seorang anak laki-laki berusia 13 tahun, yang telah dievakuasi dari Gaza lebih awal dalam perang untuk tinggal bersama ayahnya di Uni Emirat Arab.
Mohammad Salama bekerja untuk Al Jazeera dan Middle East Eye. Menurut Al Jazeera, Salama sedang merencanakan pernikahannya dengan jurnalis lain, Hala Asfour, dan mereka berharap dapat menikah setelah gencatan senjata.
Ahmed Abu Aziz, 28 tahun, bekerja untuk Middle East Eye (MEE) dan bercita-cita untuk belajar di luar negeri, menurut laporannya sendiri. Media tersebut menyatakan bahwa ia bekerja sebagai freelancer yang berbasis di Khan Younis. Bertunangan sebelum perang, MEE menyebutkan bahwa Abu Aziz menikahi sang tunangan, pengacara Loucy Saleh, musim panas lalu.
Menurut media tersebut, ia baru-baru ini berbicara tentang tidak memiliki anak “hanya karena saya tidak memiliki kekuatan untuk menjamin kehidupan mereka”. MEE mengutip renungan Abu Aziz tentang kondisi mengerikan yang ia dan istrinya alami, sambil berbicara jujur tentang kehidupan sehari-hari mereka yang bergulat dengan kelaparan dan pengungsian.
“Saya menghindari obrolan ringan dengan jurnalis lain di sekitar saya karena saya tidak tahan memikirkan kehilangan teman lain,” lapor MEE mengutip perkataannya.
Moaz Abu Taha bekerja dengan berbagai media, termasuk surat kabar Israel Haaretz baru dua minggu lalu merekam panggilan video dengan jurnalis yang menunjukkan anak-anak yang menderita kekurangan gizi di Nasser. Reuters menyatakan bahwa mereka sesekali menerbitkan karyanya.
Israel tidak mengizinkan lembaga berita internasional, termasuk BBC, masuk ke Gaza untuk melaporkan secara bebas. Reporter lokal diandalkan untuk menyediakan informasi kepada agensi media dunia.
Committee to Protect Journalists (CPJ) menyatakan bahwa lebih dari 190 jurnalis telah tewas dalam 22 bulan perang, sebagian besarnya adalah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel.
Dua minggu lalu, Israel membunuh enam jurnalis dalam serangan yang ditargetkan pada salah satu dari mereka dekat Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, yang memicu kemarahan.
### Apa Kata Israel?
Angkatan Pertahanan Israel (IDF) awalnya mengonfirmasi bahwa mereka melakukan serangan di area Rumah Sakit Nasser di Gaza selatan.
Sepanjang hari, pejabat Israel mengeluarkan banyak pernyataan dengan informasi yang minim, yang mengindikasikan kurangnya kejelasan dalam tubuh militer mengenai serangan tersebut, namun dirancang untuk menanggapi kemarahan yang meluas.
Pada Senin malam, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan Israel “sangat menyesali kecelakaan tragis yang terjadi hari ini di Rumah Sakit Nasser di Gaza”, menambahkan bahwa Israel “menghargai pekerjaan jurnalis, staf medis, dan semua warga sipil” dan mengatakan bahwa militer sedang melakukan “penyelidikan menyeluruh”.
Namun, pernyataan tersebut hampir tidak menjawab sifat serangan “double-tap” yang tampak jelas. Fakta bahwa sebagian besar korban tewas akibat serangan kedua di lokasi yang sama persis sekitar 10 menit kemudian tampak sangat disengaja.
“Double tap” adalah taktik militer yang kontroversial yang dirancang untuk memaksimalkan korban jiwa dengan menyerang mereka yang merespons ke lokasi serangan pertama.
Pernyataan dari organisasi media, termasuk Foreign Press Association di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina, menuduh militer Israel memiliki pola yang disengaja dalam menargetkan jurnalis sepanjang perang.
Tidak jelas kapan dan apakah Israel akan menerbitkan hasil penyelidikan internal yang diklaim telah dimulainya.
### Reaksi Luas atas Pembunuhan Tersebut
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dengan keras mengutuk “pembunuhan mengerikan” di Rumah Sakit Nasser, yang menurutnya “menyoroti risiko ekstrem yang dihadapi tenaga medis dan jurnalis saat mereka melakukan pekerjaan vital di tengah konflik brutal ini”, dan menyerukan “penyelidikan yang cepat dan tidak memihak”.
Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyatakan ia “terkejut” dan menyerukan gencatan senjata segera.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut serangan itu “tidak bisa ditolerir” dan mengatakan bahwa warga sipil dan jurnalis harus dilindungi. Ia memperbarui seruan agar bantuan kemanusiaan diizinkan masuk ke Gaza dan agar Israel “menghormati hukum internasional”.
Kantor luar negeri Jerman menyatakan “terkejut”.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyatakan tidak aware dengan serangan tersebut, tetapi ketika dimintai tanggapannya, ia berkata “tidak senang tentang hal itu”.
Kelompok kebebasan media juga mengeluarkan kutukan.
“Kapan dan di mana ini akan berakhir? Ada hukum internasional,” kata kepala Reporters without Borders, Thibaut Bruttin. “Ada jaminan yang seharusnya diberikan kepada jurnalis yang meliput konflik, dan tidak satu pun dari itu tampaknya diterapkan.”
Committee to Protect Journalists menyatakan: “Pembunuhan terhadap jurnalis di Gaza yang disiarkan Israel berlanjut sementara dunia menyaksikan dan gagal untuk bertindak tegas”.
Foreign Press Association mengatakan pembunuhan terbaru ini harus menjadi “momen penting” dan mendesak para pemimpin internasional untuk bertindak. Mereka menyerukan kepada Israel untuk “menghentikan praktik menjijikkan dalam menargetkan jurnalis”, menambahkan bahwa “terlalu banyak jurnalis yang telah dibunuh oleh Israel tanpa justifikasi”.