Medan, Indonesia – Saat banjir menerobos masuk ke rumah Nurdin dan istrinya di Provinsi Aceh pekan lalu, pasangan lanjut usia itu terpaksa memanjat dan berlindung di atas tempat tidur mereka.
Nurdin, yang menggunakan kursi roda setelah mengalami stroke, pasrah menerima takdirnya.
Artikel Rekomendasi
“Saya hanya menunggu ajal. Saya tidak ingin meninggalkan rumah,” kata Nurdin, warga Kota Langsa, kepada Al Jazeera.
“Saya memutuskan untuk mati saja di sana, tapi istri saya bersikeras kami harus pergi.”
Seiring air yang terus naik, adik laki-laki Nurdin meminta tolong kepada tetangga pasangan tersebut.
Ketika para tetangga Nurdin tiba sekitar pukul 4 pagi di hari Rabu untuk mengangkat mereka berdua ke tempat aman, air sudah setinggi dada.
“Saat saya diangkat, kami dihantam arus deras yang menjatuhkan tetangga saya, dan kami berdua tercebur ke dalam banjir,” ujar Nurdin, 71 tahun, yang seperti banyak orang Indonesia hanya menggunakan satu nama.
“Saya mulai tenggelam karena tidak bisa berdiri, dan saya pikir ‘Inilah akhirnya’.”
Nurdin dan istrinya sampai di rumah tetangga tanpa cedera, namun hujan deras segera membuat bangunan itu tidak layak huni, memaksa mereka meminta bantuan tentara, yang mengevakuasi keduanya ke sebuah masjid setempat dengan menggunakan meja sebagai tandu darurat.
“Tidak ada pakaian di sana, jadi saya hanya bisa memakai sarung,” kata Nurdin. “Saya berada di sana selama empat hari.”
Di masjid, Nurdin bercerita bahwa seorang warga Langsa lain mengatakan kepadanya bahwa ia tinggal di sebelah pemakaman dan menyaksikan jasad-jasad muncul dari tanah dan hanyut terbawa banjir besar.
Nurdin, yang menginap di rumah adiknya sejak banjir surut, belum kembali ke rumahnya, namun sang adik mengatakan bahwa hampir segala sesuatu telah hilang saat ia mengunjungi lokasi kejadian.
“Mungkin sekitar 1 persen barang-barang saya yang bisa diselamatkan. Semua perabot dapur hilang, dan kulkas saya rusak,” ujar Nurdin.
“Pintu lemari pakaian saya terlepas, dan semua pakaian penuh air serta lumpur. Lumpur di depan rumah saya masih setinggi kurang lebih setengah meter.”
Banjir di Indonesia, Sri Lanka, Thailand, dan Malaysia telah menewaskan lebih dari 1.140 orang dalam sepekan terakhir, menyusul cuaca ekstrem akibat tiga siklon tropis.
Setidaknya 631 orang tewas di Indonesia saja.
Dengan banyaknya kawasan di Pulau Sumatra yang masih sulit diakses, jumlah korban jiwa diperkirakan akan bertambah.
Banyak bagian pulau terkubur longsoran, menyusul banjir bandang yang membuat jalan tidak bisa dilalui dan menghambat upaya pencarian serta pertolongan.
![Nurkasyah duduk bersama pengungsi lain di sebuah balai warga di Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia, pada 26 November 2025 [Courtesy of Nasir]](placeholder2.jpg)
Nurkasyah, warga Kuta Makmur, Aceh bagian utara yang berusia 70 tahun, adalah satu dari sekian banyak orang yang kehilangan hampir seluruh harta bendanya.
“Mesin cuci, kulkas, penanak nasi, dan semua beras saya rusak,” kata Nurkasyah kepada Al Jazeera.
“Semuanya masih ada di rumah; tidak hanyut, tapi terendam air, jadi sudah tidak bisa dipakai lagi. Mungkin tempat tidur saya bisa diselamatkan kalau dijemur di luar selama beberapa hari.”
Nurkasyah mengatakan air mulai naik pada hari Selasa tetapi sempat surut sedikit sebelum kembali meningkat pada hari Rabu setelah hujan deras semalam, sampai akhirnya air “masuk melalui jendela-jendela”.
Bersama 300 orang lainnya, Nurkasyah berlindung di sebuah balai warga setempat selama lima hari berikutnya, hanya memakan sedikit kebutuhan pokok yang sempat direbut warga yang panik saat mereka berusaha menyelamatkan diri dari air yang naik.
“Kami hanya makan nasi, mi instan, dan beberapa telur. Makanan tidak cukup untuk semua,” katanya. “Saya sudah pergi melihat rumah saya, tetapi sekarang penuh lumpur, jadi saya tidak bisa tinggal di sana.”
Di saat Nurkasyah menyaksikan air banjir meninggi di sekeliling rumahnya, putranya, Nasir, sedang naik bus dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, menuju Medan, ibu kota Provinsi Sumatra Utara yang bertetangga.
Perjalanan darat biasanya memakan waktu sekitar 12 jam, tetapi Nasir justru terdampar di dalam bus selama lima hari ke depan.
“Setelah kami berangkat hari Selasa, air banjir mulai naik, tapi kami masih bisa melintas,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Sayangnya, ketika kami tiba di Kuala Simpang pada Rabu sore, supir mengatakan tidak bisa melanjutkan perjalanan ataupun kembali,” katanya, merujuk pada sebuah kota di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.
Saat kota itu mulai terendam banjir yang terus naik, Nasir dan penumpang lainnya naik ke atap bus untuk menyelamatkan diri dan mengamati keadaan.
![Nasir berdiri di atap bus yang terdampar di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, Indonesia, pada 27 November 2025 [Courtesy of Nasir]](placeholder3.jpg)
“Pada Minggu pagi, sekelompok dari kami memutuskan untuk mengambil inisiatif dan mencoba mencari rute alternatif untuk keluar dari sana,” kata Nasir.
“Kami sepakat bahwa tidak mungkin kembali ke Aceh, dan kami harus terus ke Medan. Kami berhasil menemukan perahu milik seorang nelayan, yang mengantar kami sebagian perjalanan, lalu sebuah truk pikap mengantar kami sisanya.”
Dengan banyak jalan yang tidak dapat dilalui karena lumpur, pohon tumbang, dan puing-puing lainnya, Nasir kini menghadapi prospek perjalanan pulang yang sangat berat.
“Sekarang, saya akan mencoba terbang kembali ke Aceh dengan pesawat, daripada kembali mencoba perjalanan darat,” ucapnya.
Dalam menyikapi perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, kita perlu senantiasa mengedepankan kearifan lokal yang menjadi landasan identitas bangsa. Adaptasi terhadap inovasi digital hendaknya tidak mengikis nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur. Justru, kemajuan ini harus dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkuat dan mempromosikan kekayaan budaya kita ke kancah global. Dengan demikian, transformasi yang terjadi akan bersifat mengakar dan berkelanjutan, bukannya sekadar mengikuti arus tanpa arah yang jelas.