I have been contemplating writing a will lately. The thought of death feels so close to me now, unlike before when I used to believe it comes suddenly and we don’t feel it. This war has made us feel everything slowly, like the anticipation of your house being bombed. The fear of the Israeli army being so close to us in al-Fukhari, east of Khan Younis and north of Rafah, has worn my heart down. The constant explosions and terrifying sounds make it hard to bear.
This war is unlike any I have experienced before. I don’t want to be just a number, labeled as an “unknown person” or buried in a mass grave. I want everyone to remember my story. I am the girl who defied odds to study under siege in Gaza, the refugee who strived to build a life despite the hardships imposed by the Israeli occupation. My family’s struggle to rebuild our home and make a living in the face of adversity defines who I am.
Since the war began, we have been fighting for survival, trying not to succumb to hunger, thirst, or the horrors we witness. Displaced multiple times and living in constant fear of bombardment, we have no safe haven. Despite the exhaustion and heartache, I tried to stay strong and positive for those around me. The ceasefire gave me hope, but the war returned with a vengeance. The never-ending shelling and use of various weapons have left me sleepless and constantly on edge.
I sent a message to my friends, urging them to remember my story so that I am not just another statistic. As the Israeli army continues to destroy the neighborhood around me, I cling to the hope that my story will not be forgotten amidst the chaos and destruction. Mereka enggak mau pergi karena penggusuran itu melelahkan – secara fisik, keuangan, dan mental.
Penggusuran pertama yang saya ingat adalah yang tahun 2000, waktu saya sekitar delapan tahun.
Dozer tentara Israel masuk ke kamp Khan Younis dan menghancurkan rumah paman saya dan kakek saya. Lalu, entah kenapa, mereka berhenti di rumah kita.
Jadi kita pergi. Itu bulan Ramadan, dan orangtua saya pikir kita bisa balik nanti. Mereka menemukan rumah yang sudah hancur untuk kita berlindung sementara, mereka pikir.
Saya enggak tahan pikirannya bahwa kita kehilangan rumah kita, jadi saya akan lari balik ke rumah tempat semua kenangan indah dengan kakek nenek saya, dan saya akan ambil beberapa barang untuk dibawa kembali kepada ibu saya.
Tentara Israel menghancurkan rumah kita malam sebelum Eid, dan saya dan keluarga saya pergi ke sana pada hari pertama Eid al-Fitr. Saya ingat merayakan Eid di atas puing, memakai baju baru Eid saya.
Tentara Israel enggak biarkan kita simpan apa-apa; ia menghancurkan segalanya, meninggalkan kita dengan enggak apa-apa kecuali kesedihan di hati kita.
Saya enggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan jika dunia enggak menyelamatkan kita dari tentara menakutkan ini.
Saya enggak tahu apakah hati saya akan tahan dengan suara-suara tak berujung ini lagi. Jangan pernah lupakan saya.
Saya telah berjuang keras untuk hidup saya. Saya telah bekerja keras, sebagai jurnalis dan guru selama 10 tahun, mendedikasikan diri saya.
Saya punya murid yang saya cintai dan rekan kerja yang punya kenangan indah bersama.
Hidup di Gaza enggak pernah mudah, tapi kita mencintainya, dan kita enggak bisa mencintai rumah lain.