Tahanan Palestina di Israel telah menghadapi kondisi yang mengerikan, dengan sebuah kelompok hak asasi mendokumentasikan setidaknya 94 kematian di antara mereka dalam dua tahun terakhir, serta pemerkosaan tahanan yang terekam kamera.
Menteri Israel sayap-kanan jauh yang bertanggung jawab atas penjara, Itamar Ben-Gvir, dengan bangga menyatakan bahwa kondisi bagi tahanan Palestina semakin keras di bawah pengawasannya. Pada akhir Oktober lalu, ia berdiri membayangi tahanan Palestina yang dipaksa tengkurap di lantai sembari menyerukan diperkenalkannya hukuman mati bagi yang ia sebut “teroris” Palestina.
Artikel Rekomendasi
Keinginan Ben-Gvir mungkin segera terkabul.
Pada awal November, parlemen Israel meloloskan pembacaan pertama sebuah RUU yang akan mengenakan hukuman mati bagi terpidana pembunuhan warga Israel jika memiliki motif “rasis” atau dilakukan “dengan tujuan merugikan Israel”. RUU ini jelas menyasar warga Palestina, sementara serangan mematikan terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki terus berlangsung, dan pembunuhan terhadap warga Palestina di Gaza oleh Israel belum berhenti.
Reaksi di kalangan Palestina terasa sangat tajam. Yang mereka dengar bukan sekadar kebijakan legislatif biasa, melainkan sinyal bahwa Israel berencana memformalkan sistem hukuman yang mematikan.
“Undang-undang ini pada praktiknya bertujuan mengeksekusi tahanan hanya karena perjuangan mereka untuk kebebasan rakyatnya dan hak menentukan nasib sendiri,” ujar Farid al-Atrash, Direktur Komisi Independen untuk Hak Asasi Manusia di Tepi Barat yang diduduki.
Kekhawatiran meluas di antara pengacara dan aktivis Palestina. Mereka menyatakan bahwa hukum ini secara fundamental mengikis jaminan peradilan, serta memperingatkan bahwa ia berupaya menghapus status tahanan Palestina sebagai pihak yang dilindungi menurut hukum internasional.
Mencabut Perlindungan
Dalam draf undang-undang tersebut, pengadilan Israel – baik sipil maupun militer – akan mendapatkan kewenangan yang diperluas untuk menjatuhkan hukuman mati wajib kepada warga Palestina yang divonis membunuh warga Israel, ketika tindakan itu dinilai dimotivasi oleh alasan nasionalis, rasis, atau kebencian, atau dimaksudkan untuk merugikan Negara Israel atau rakyatnya.
RUU itu juga akan mencabut kewenangan pemerintah atau presiden untuk memberikan grasi kepada terpidana mati untuk kejahatan tersebut, dan tidak mewajibkan majelis hakim dalam suatu perkara untuk mencapai keputusan bulat mengenai hukumannya.
Para pembela hak Palestina memperingatkan bahwa kerangka ini menghilangkan pengaman yang sebelumnya ada bagi terdakwa Palestina.
Al-Atrash membandingkan secara tajam RUU yang diusulkan dengan perlakuan terhadap warga Israel dalam kasus kekerasan terhadap warga Palestina, di mana mereka seringkali dibebaskan.
Hukum Kemanusiaan Internasional
Para pengkritik menyatakan bahwa upaya melegalkan hukuman mati ini adalah bagian dari usaha yang lebih luas untuk mencabut perlindungan warga Palestina di bawah hukum kemanusiaan internasional sebagai penduduk terjajah yang memiliki hak untuk melakukan perlawanan.
“Knesset [parlemen] Israel, yang didominasi sayap-kanan jauh, sedang berupaya mengubah pembunuhan menjadi legislasi resmi,” kata Hassan Breijieh, kepala kantor Bethlehem Komisi Perlawanan Tembok dan Pemukiman. “[RUU yang diusulkan] ini adalah upaya untuk menghapus pengakuan internasional terhadap pejuang Palestina … dan mengubahnya menjadi terdakwa kriminal.”
Farid al-Atrash, direktur Komisi Independen untuk Hak Asasi Manusia, menyatakan RUU yang diusulkan akan menghukum warga Palestina karena memperjuangkan kebebasan mereka [Mosab Shawer/Al Jazeera]
Amjad al-Najjar, dari Klub Tahanan Palestina, sepakat bahwa RUU yang diusulkan adalah upaya untuk mencabut hak-hak rakyat Palestina.
“Ini adalah kejahatan ganda. Ini adalah hukum rasis yang menyasar warga Palestina, secara khusus, dan juga pelanggaran jelas terhadap hukum internasional,” kata al-Najjar.
Saeed al-Awiwi, seorang pengacara dan mantan hakim Palestina, menyebut RUU yang diusulkan sebagai pembatasan terbaru terhadap hak hukum warga Palestina.
Al-Awiwi mencatat bahwa bahkan akses yang sebelumnya diizinkan kepada tahanan di penjara Israel telah dicabut, membuat banyak tahanan tidak memiliki perwakilan hukum yang berarti, terutama di dalam pengadilan militer.
Ia berargumen bahwa, bahkan sebelum RUU ini, banyak warga Palestina meninggal di dalam penjara tanpa pengadilan, vonis, atau proses hukum yang semestinya. Jika hukuman mati disahkan, tindakan yang menyebabkan kematian tersebut – penyiksaan, pengabaian medis, dan penahanan sewenang-wenang – akan mendapatkan status resmi.
“Langkah menuju eksekusi hukum ini melegalkan tindakan yang sudah dipraktikkan oleh [Israel] pendudukan, tetapi tanpa akuntabilitas,” kata al-Awiwi.
‘Mengadili Kebebasan’
Bagi para pendukung hukum Israel ini, hal tersebut dianggap perlu.
Komite Keamanan Nasional Israel menyatakan bahwa “tujuannya adalah untuk memutus terorisme dari akarnya dan menciptakan efek jera yang berat”.
Akan tetapi, organisasi hak asasi seperti Amnesty International mengutuk RUU ini sebagai bentuk diskriminasi yang dilembagakan yang menyasar warga Palestina.
Di bawah Konvensi Jenewa dan hukum kemanusiaan internasional, eksekusi terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi – termasuk mereka yang berada di bawah pendudukan – dilarang. RUU yang diusulkan akan bertentangan dengan aturan itu.
Pengacara dan mantan hakim Palestina Saeed al-Awiwi menyatakan RUU yang diusulkan adalah pembatasan terbaru terhadap hak hukum Palestina [Mosab Shawer/Al Jazeera]
Para ahli menyatakan bahwa ini adalah bagian dari pergeseran yang lebih luas, dari sistem di mana kematian – melalui penyiksaan, kelalaian, atau kekerasan – merupakan produk sampingan ekstrayudisial dari pendudukan, menuju sistem di mana kematian menjadi hukuman yang sah.
“Ketika pendudukan mengkriminalisasi tindakan perlawanan, ia tidak hanya mengadili sang tahanan, tetapi mengadili gagasan kebebasan itu sendiri,” kata Breijieh.
Bagi warga Palestina, RUU ini karenanya lebih dari sekadar sebuah produk legislatif, melainkan sebuah tolok ukur dalam perlakuan terhadap bangsa yang diduduki, serta menentukan apakah norma hukum kemanusiaan internasional yang ada akan bertahan atau runtuh.
“Hukum ini berarti keruntuhan sistem internasional,” ujar al-Najjar. “Pendudukan tidak memiliki hak hukum, moral, atau politik untuk mengeluarkan hukuman mati terhadap sebuah bangsa yang diduduki.”