ICJ akan memutuskan arah pertanggungjawaban iklim dalam kasus hukum bersejarah yang diajukan oleh Vanuatu.
Mahkamah Internasional (ICJ) bersiap mengeluarkan opini perdana tentang perubahan iklim, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai momen bersejarah dalam hukum internasional.
Para hakim telah menelaah puluhan ribu halaman dokumen tertulis dan mendengarkan dua minggu argumen lisan selama kasus terbesar ICJ sepanjang sejarah.
15 hakim pengadilan akan berusaha menyatukan berbagai aspek hukum lingkungan menjadi satu standar internasional definitif ketika mereka membacakan putusan di Istana Perdamaian, Den Haag, Belanda, pukul 15.00 waktu setempat (13.00 GMT) pada Rabu.
“Opini penasehat” pengadilan diperkirakan mencapai ratusan halaman, mengklarifikasi kewajiban negara-negara untuk mencegah perubahan iklim dan konsekuensi bagi polutor yang gagal melakukannnya.
Ini merespons pertanyaan pertama yang diajukan oleh negara kepulauan Vanuatu di Pasifik Selatan dan negara-negara lain yang membawa kasus ini: Tanggung jawab apa yang dimiliki negara-negara untuk mengatasi perubahan iklim?
Negara-negara polutan bahan bakar fosil teratas menyatakan pengadilan tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut karena ketentuan hukum dalam Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) sudah cukup.
Tapi para advokat iklim berpendapat ICJ harus mengambil pendekatan lebih luas, termasuk merujuk pada hukum hak asasi manusia dan hukum laut.
Vanuatu mendesak hakim di Den Haag mempertimbangkan “seluruh korpus hukum internasional” dalam opininya, dengan argumen bahwa ICJ berada di posisi unik untuk melakukannya.
ICJ adalah “satu-satunya yurisdiksi internasional dengan kompetensi umum atas semua bidang hukum internasional, yang memungkinkannya memberikan jawaban demikian,” kata negara kepulauan itu.
Para hakim juga akan mempertimbangkan apakah harus ada konsekuensi hukum bagi negara-negara yang paling berkontribusi pada krisis iklim.
Amerika Serikat, emitor gas rumah kaca terbesar dalam sejarah, dan polutan utama lainnya merujuk pengadilan pada Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim, yang tidak secara eksplisit mengatur kompensasi langsung atas kerusakan masa lalu akibat polusi.
Isu tanggung jawab dianggap sensitif bagi banyak negara dalam negosiasi iklim, tapi pada pembicaraan PBB 2022, negara-negara kaya setuju untuk membentuk dana membantu negara rentan menghadapi dampak saat ini akibat polusi masa lalu.
“Kami berharap ICJ akan menyatakan bahwa mengatasi perubahan iklim adalah kewajiban hukum negara. Anda harus menghormati negara lain dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri,” kata Menteri Perubahan Iklim Vanuatu Ralph Regenvanu menjelang putusan.
“Kolonialisme sudah berlalu – konon sudah berlalu – tapi ini adalah warisan di mana tindakan suatu negara terus menekan masa depan bangsa lain,” ujar Regenvanu.
“Dan Anda tidak punya hak hukum untuk melakukannya di bawah hukum internasional. Tidak hanya itu, jika tindakan Anda telah menyebabkan kerugian ini, harus ada reparasi untuk itu,” tambahnya.
Vishal Prasad, salah satu dari 27 mahasiswa hukum di Universitas Pasifik Selatan yang mendorong Vanuatu mengajukan kasus ini pada 2019, mengaku “haru, takut, gugup, cemas” menjelang putusan Rabu.
Prasad, kini direktur kelompok Pacific Island Students Fighting Climate Change, menyatakan perubahan iklim adalah “masalah eksistensial bagi generasi muda di negara seperti Kiribati, Tuvalu, Kepulauan Marshall”.
“Mereka menyaksikan dampak perubahan iklim setiap air pasang,” katanya.
Prasad menambahkan bahwa budaya Kepulauan Pasifik menghargai konsep “wayfinding”.
“Anda perlu memperbaiki arah jika Anda salah jalan,” ucapnya.