Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan harapan untuk melanjutkan perundingan perdamaian dengan Ukraina—namun menegaskan pasukannya “terus maju di sepanjang garis depan”, meski ancaman sanksi AS yang lebih keras jika gencatan senjata tak tercapai.
“Semua kekecewaan muncul dari ekspektasi yang berlebihan,” kata Putin, seolah merujuk pada “kekecewaan” Trump karena pemimpin Rusia itu dinilai tak mengakhiri perang.
Sehari setelah serangan udara Rusia paling mematikan di Kyiv, ia mengulangi tuntutan agar Ukraina bersikap netral dan mengakui wilayah pendudukan—permintaan yang dianggap Ukraina sebagai bentuk menyerah.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan siap bertemu Putin “kapan saja”.
Berkata di Biara Valaam di sebuah pulau di barat laut Rusia, Putin menyatakan perundingan dengan Ukraina akan berlanjut dan ia memandangnya “secara positif”.
Namun, ia menyindir tekanan Ukraina dan sekutu Barat untuk setuju pada gencatan senjata jangka panjang: “Musuh dan pembenci kita… kini punya satu obsesi: menghentikan kemajuan kita [di garis depan] dengan cara apa pun.”
Ukraina dan sekutunya kerap menuduh Rusia sengaja menunda perundingan perdamaian dan menolak gencatan senjata yang berarti, sambil berupaya merebut lebih banyak wilayah.
Tiga babak perundingan Rusia-Ukraina di Istanbul belakangan ini gagal capai kesepakatan besar, meski kedua pihak sempat bertukar tahanan perang.
Usai pernyataan Putin, Zelensky mempertanyakan apakah Rusia “benar-benar siap mengakhiri perang dengan cara terhormat” atau sekadar “mencari waktu untuk perang dan menunda sanksi”.
Rusia belakangan gencar melancarkan serangan drone dan rudal mematikan ke Ukraina. Kamis lalu, setidaknya 31 orang—termasuk 5 anak—tewas dalam serangan udara di Kyiv.
Presiden AS Donald Trump mengutuk aksi Rusia dan mengancam sanksi baru: “Rusia, menurutku tindakan mereka menjijikkan,” katanya pada wartawan.
Ketika Trump memberi ultimatum 50 hari pada Juli lalu, Putin diam. Begitu pula saat batas waktu dipersingkat jadi 10-12 hari. Jumat kemarin, pemimpin Kremlin itu mempertegas bahwa ultimatum Gedung Putih tak akan menggoyahkannya.
Trump mungkin “kecewa” pada Putin, tapi sang pemimpin Rusia tak menyesal. Tamunya di Valaam, Alexander Lukashenko, lebih blak-blakan menolak ultimatum Trump: “50 hari, 60 hari, 10 hari. Politik tidak dijalankan seperti itu.”
Batas waktu Trump kerap berubah, tapi secara resmi tenggat terbaru adalah 8 Agustus. Jika Rusia tak setuju pada gencatan senjata, sanksi baru akan diberlakukan—termasuk bagi negara pembeli minyak Rusia.
Namun, media Rusia belakangan meragukan ancaman sanksi AS akan benar-benar dilaksanakan. Ditambah pernyataan Putin tentang kemajuan pasukannya di garis depan, jelas ia tak anggap gencatan senjata kini menguntungkan Moskow.
Pejabat Ukraina menyatakan Kyiv dapat “sinyal positif” dari AS terkait sanksi baru. Sehari sebelumnya, diplomat AS John Kelley mendesak Dewan Keamanan PBB agar Rusia dan Ukraina “segera berunding untuk perdamaian berkelanjutan”.
Utusan khusus Trump, Steve Witkoff, disebutkan akan berkunjung ke Rusia usai kunjungannya di Israel—tapi detailnya belum diungkap.