Presiden Dina Boluarte Mengecam Inter-American Court of Human Rights atas Penolakannya terhadap RUU Amnesti
Presiden Dina Boluarte mengkritik keras Inter-American Court of Human Rights karena menentang RUU yang baru disahkan, yang memberikan amnesti bagi tentara, polisi, dan personel keamanan lainnya yang terlibat dalam konflik internal Peru dari 1985 hingga 2000.
Pada Kamis, Boluarte menegaskan bahwa pengadilan internasional tersebut telah melampaui kewenangannya dengan meminta penundaan undang-undang itu.
"Kami bukan koloni siapa pun," ujarnya, sambil membagikan cuplikan pidatonya di media sosial.
"Dan kami tak akan mengizinkan intervensi Inter-American Court yang berupaya menghentikan RUU yang bertujuan memberikan keadilan bagi anggota angkatan bersenjata, Polisi Nasional, serta komite pertahanan diri yang berjuang melawan kegilaan terorisme dengan mempertaruhkan nyawa."
Sejak disetujui Kongres Peru pada Juli, undang-undang amnesti ini menunggu persetujuan Boluarte. Ia bisa menandatanganinya menjadi undang-undang, membiarkannya berlaku otomatis, atau mengembalikannya ke Kongres untuk revisi.
Namun, RUU ini memicu kecaman internasional, terutama karena dianggap melindungi aparat keamanan dari pertanggungjawaban atas kekejaman selama perang.
Undang-undang ini juga memberikan amnesti "kemanusiaan" bagi pelaku berusia di atas 70 tahun yang telah dihukum karena kejahatan perang.
Sekitar 70.000 orang tewas dalam konflik internal, sebagian besar berasal dari komunitas pedesaan dan pribumi.
Tentara dan polisi seharusnya diberi tugas memerangi pemberontakan bersenjata dari kelompok seperti Shining Path dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru. Namun, konflik ini terkenal karena pelanggaran HAM dan pembantaian warga sipil yang tak terkait dengan kelompok pemberontak.
Francisco Ochoa baru berusia 14 tahun ketika penduduk di desa Andean-nya, Accomarca, dibantai oleh tentara. Ia mengungkapkan pada Al Jazeera pekan lalu bahwa ia dan penyintas lain merasa "geram dan dikhianati" oleh undang-undang amnesti baru ini.
Organisasi internasional juga mengecam hukum ini sebagai kemunduran bagi masyarakat Peru.
Sembilan pakar HAM PBB menandatangani pernyataan pada 17 Juli yang menyatakan "keprihatinan" atas disahkannya RUU ini. Mereka mendesak pemerintah Peru untuk memvetonya.
"RUU ini akan mencegah penuntutan dan penghukuman pelaku pelanggaran HAM berat selama konflik bersenjata," kata mereka.
"Negara akan jelas melanggar kewajibannya di bawah hukum internasional."
Seminggu kemudian, pada 24 Juli, Presiden Inter-American Court of Human Rights, Nancy Hernandez Lopez, memerintahkan Peru untuk "segera menunda proses" RUU tersebut. Ia menilai undang-undang ini melanggar putusan sebelumnya terkait hukum amnesti di negara tersebut.
"Jika tidak ditunda, otoritas yang berwenang harus menahan diri dari menerapkan hukum ini," ujarnya.
Ia mencatat bahwa sidang akan digelar bersama penyintas, pejabat Peru, dan anggota Komisi HAM Antar-Amerika (IACHR).
Dalam putusan sebelumnya, Inter-American Court menyatakan bahwa hukum amnesti dan kadaluwarsa tidak sah dalam kasus pelanggaran HAM berat seperti penghilangan paksa dan eksekusi di luar pengadilan.
Pengadilan juga menyatakan bahwa usia bukan faktor pembebasan bagi tersangka pelanggaran HAM berat. Pengecualian semacam itu hanya berlaku untuk pelanggaran ringan atau non-kekerasan.
Koordinator Nasional HAM Peru memperkirakan undang-undang amnesti terbaru ini dapat membatalkan 156 vonis dan mengganggu lebih dari 600 penyelidikan yang sedang berlangsung.
Sebelumnya, pada 1995, undang-undang amnesti serupa diterapkan di bawah Presiden Alberto Fujimori, tetapi kemudian dicabut.
Namun, Presiden Boluarte pada Kamis berusaha menunjukkan bahwa tindakan pemerintahnya sesuai dengan standar HAM internasional.
"Kami pembela HAM dan warga negara," tulisnya di media sosial, sambil menegaskan bahwa pemerintahnya "bebas", "berdaulat", dan "otonom", sindiran terhadap keputusan Inter-American Court.