Razia di Tbilisi terjadi setelah para legislator membahas RUU kontroversial tentang pendanaan asing. Kepolisian di Georgia menggunakan gas air mata dan peluru karet terhadap para demonstran saat ribuan orang berkumpul di luar parlemen di Tbilisi selama tiga minggu berturut-turut untuk menolak RUU kontroversial tentang “pengaruh asing”. Pasukan polisi anti huru-hara yang mengenakan topeng dengan keras membubarkan aksi unjuk rasa pada hari Selasa dengan memukul dan menangkap banyak orang yang menentang RUU tersebut, yang telah dikecam oleh Brussels karena dianggap merusak aspirasi Georgia untuk bergabung dengan Uni Eropa. Para legislator sebelumnya membahas undang-undang kontroversial tersebut, yang akan mewajibkan organisasi yang menerima lebih dari 20 persen pendanaan mereka dari luar negeri untuk mendaftar sebagai “agen asing”. Sidang parlemen berakhir tanpa pemungutan suara dan debat dijadwalkan dilanjutkan pada hari Rabu. RUU yang diusulkan tersebut telah memperdalam perpecahan antara partai penguasa Georgian Dream dan gerakan protes yang didukung oleh kelompok oposisi, masyarakat sipil, selebriti, dan Presiden Georgia Salome Zurabishvili. Georgian Dream memiliki mayoritas yang kuat di legislatif, memungkinkannya untuk meloloskan undang-undang dan menolak veto presiden tanpa dukungan legislator oposisi mana pun. Para kritikus menyebut RUU tersebut sebagai “undang-undang Rusia”, membandingkannya dengan “agen asing” Moskow, yang telah digunakan untuk menindas oposisi di sana. Rusia tidak disukai oleh banyak orang Georgia karena dukungannya terhadap wilayah-wilayah yang memisahkan diri, Abkhazia dan Ossetia Selatan. Georgia kalah dalam perang singkat dengan Rusia pada tahun 2008. Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa, yang memberikan status kandidat kepada Georgia pada bulan Desember, telah mengritik RUU tersebut. Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengatakan RUU tersebut “tidak konsisten” dengan upaya Georgia untuk bergabung dengan UE dan “akan menjauhkan Georgia lebih jauh dari UE dan bukan mendekatkan”. Tina Khidasheli, yang menjabat sebagai menteri pertahanan Georgia dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Georgian Dream pada tahun 2015-2016, ikut dalam protes pada hari Selasa menentang mantan rekan-rekan pemerintahannya dan mengatakan ia yakin para demonstran akan menang pada akhirnya. “Pemerintah hanya memperpanjang yang tak terhindarkan. Mungkin kita akan menghadapi masalah serius, tetapi pada akhirnya, rakyat akan pulang dengan kemenangan,” kata Khidasheli kepada kantor berita Reuters. Pada hari Senin, unjuk rasa yang diselenggarakan pemerintah untuk mendukung RUU tersebut dihadiri oleh puluhan ribu orang, banyak di antaranya diantar dengan bis dari kota-kota provinsi oleh partai penguasa. Bulan lalu, pukulan terjadi di lorong-lorong parlemen di Tblisi selama diskusi tentang undang-undang baru yang kontroversial.