Natasha Booty,
Barbara Plett Usher, Koresponden Afrika dan
Tom Bateman, Koresponden Departemen Luar Negeri
AFP via Getty Images
Menurut kelompok bantuan dan G7, ini merupakan krisis kemanusiaan terparah di dunia.
Sebuah misi pencari fakta independen akan menyelidiki laporan-laporan pembunuhan massal di kota El-Fasher, Sudan, demikian diumumkan PBB pada Jumat.
“Terlalu banyak kepura-puraan dan pertunjukan, dan terlalu sedikit aksi” dari komunitas internasional dalam menghadapi perang saudara Sudan yang menghancurkan, ujar Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Türk dalam sebuah pertemuan darurat di Jenewa.
“Mereka harus melawan kekejaman ini—sebuah pertunjukan kekejaman telanjang yang digunakan untuk menundukkan dan mengendalikan seluruh populasi,” tambahnya, serta memberikan peringatan keras kepada semua pihak yang “menyuapi dan mengambil untung” dari perang saudara tersebut.
Lebih dari 150.000 orang telah tewas dan sekitar 12 juta terpaksa mengungsi dari rumah mereka.
Sebagai bagian dari penyelidikan, para ahli juga akan berupaya mengidentifikasi pelaku untuk meminta pertanggungjawaban mereka.
El-Fasher direbut bulan lalu oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) setelah pengepungan selama 18 bulan. Kota tersebut merupakan kota terakhir di Darfur yang dipegang oleh tentara dan sekutunya.
RSF dituduh menyasar kelompok non-Arab di kota tersebut dan di wilayah Darfur lainnya—sebuah klaim yang mereka bantah.
Salah satu ciri mengerikan dari konflik sipil yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini adalah banyaknya rekaman dan foto kekejaman mengerikan—seringkali seolah-olah difilmkan oleh pelakunya sendiri, dan disebarkan secara daring. Para peneliti menyatakan bahwa bukti digital ini akan dianalisis dalam upaya menghadirkan para pelaku ke pengadilan.
“Masyarakat Sudan, khususnya kini di El-Fasher, menghadapi situasi yang belum pernah saya saksikan sebelumnya,” kata Mona Rishmawi, anggota misi pencari fakta PBB untuk Sudan yang telah menyaksikan perubahan tersebut secara langsung selama lebih dari dua dekade.
Skala penderitaan saat ini di Darfur lebih besar dibandingkan genosida yang dilakukan milisi Janjaweed di wilayah yang sama 20 tahun silam, ujarnya kepada program Newsday BBC. RSF melacak asal-usulnya kembali ke Janjaweed.
Kala itu, jelas Ms Rishmawi, serangan terutama ditujukan kepada desa-desa, namun kini pasukan paramiliter menyasar seluruh kota dan kamp pengungsian yang menampung ratusan ribu orang.
“[Terjadi] pembantaian massal, pemerkosaan dan penyiksaan yang menghancurkan, penghilangan paksa, orang-orang yang hilang—dan ini terjadi di tengah latar belakang pengepungan dan kelaparan selama 18 bulan,” katanya.
Pernyataan bersama G7 awal pekan ini mengutuk melonjaknya kekerasan di Sudan, dengan menyatakan bahwa konflik antara tentara dan RSF telah memicu “krisis kemanusiaan terbesar di dunia”.
Ini menyusul intervensi paling vokal dari pemerintahan Trump hingga saat ini dalam perang saudara Sudan, dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio pada KTT G7 menuntut aksi internasional untuk menghentikan pasokan senjata ke paramiliter RSF—ditambah kritikan keras terhadap beberapa negara.
AS merupakan salah satu dari yang disebut “Quad” negara-negara yang berupaya mengakhiri krisis, bersama dengan UAE, serta Mesir dan Arab Saudi yang merupakan sekutu pemerintah yang dipimpin militer Sudan. Blok tersebut baru-baru ini mengusulkan gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan, diikuti oleh gencatan senjata permanen dan transisi sembilan bulan menuju pemerintahan sipil.
Rubio, dalam pernyataan yang secara luas dianggap sebagai sindiran terhadap dugaan dukungan UAE kepada pemberontak Sudan, mengatakan pada Rabu: “Kami tahu pihak-pihak mana saja yang terlibat [dalam pasokan senjata]… Itulah mengapa mereka menjadi bagian dari Quad bersama negara-negara lain yang terlibat.”
UAE, yang sejak lama menyangkal mendukung RSF, membalas dalam sebuah pernyataan pada Kamis bahwa mereka terkejut dengan “serangan keji terhadap warga sipil oleh pasukan RSF di El-Fasher” dan menuduh tentara Sudan melakukan “taktik kelaparan, pemboman membabi-buto di kawasan berpenduduk, dan penggunaan senjata kimia yang dilaporkan”. Tuduhan-tuduhan ini sebelumnya telah ditolak oleh tentara Sudan.
Penyangkalan yang penuh amarah juga datang dari RSF, yang mengecam apa yang mereka sebut “semua pernyataan berat sebelah terhadap mereka” dan upaya-upaya untuk dijadikan kambing hitam guna menutupi penolakan tentara terhadap gencatan senjata.
RSF menunggu hingga mereka merebut El-Fasher sebelum mengumumkan persetujuan mereka terhadap gencatan senjata. Tentara Sudan menyatakan keberatan atas kehadiran UAE dalam Quad namun tetap akan mempertimbangkan proposal tersebut.
Sementara itu, tidak ada jeda dalam pertempuran.
Hanya sebagian kecil populasi yang berhasil melarikan diri dari El-Fasher, di mana pembantaian dikabarkan terjadi. Tumpukan mayat di tanah dan bumi yang bernoda darah terlihat dari angkasa dalam citra satelit. Aliran persenjataan ke Sudan selama perang ini telah dianalisis oleh berbagai pakar. Amnesty International mengklaim telah menemukan bukti senjata buatan Serbia, Rusia, Cina, Turki, Yaman, dan Uni Emirat Arab yang digunakan di Sudan.
Rute penyelundupannya seringkali melalui Uni Emirat Arab, kemudian ke Chad, lalu masuk ke Darfur – menurut laporan bocoran dari para ahli PBB.
UEA khususnya dituduh menyediakan senjata dan dukungan kepada RSF, yang pada gilirannya dituduh menggunakan UEA sebagai pasar untuk penjualan emas ilegal.
Pada hari Rabu, Rubio secara tegas menyatakan bahwa bantuan kepada RSF “bukan hanya berasal dari negara yang membayarnya – tetapi juga dari negara-negara yang mengizinkan wilayahnya digunakan untuk mengirimkan dan mengangkutnya.”
Ia juga mengatakan bahwa ia tidak ingin “meremehkan” keterlibatan pihak lain dalam konflik ini, dengan menyebutkan “itu termasuk kemungkinan Iran, setidaknya uang dan senjata yang dikirim ke pihak lain,” yang merujuk pada tentara Sudan.
Semua pihak menyangkal tuduhan-tuduhan ini.
Dua minggu lalu, pemerintah Inggris dikritik oleh para anggota parlemennya sendiri setelah adanya dugaan bahwa senjata buatan Inggris berakhir di tangan RSF, yang menggunakannya untuk melakukan kekejaman.
Menanggapi tuntutan seorang anggota parlemen untuk “menghentikan semua pengiriman senjata ke UEA sampai terbukti bahwa UEA tidak mempersenjatai RSF,” Menteri Luar Negeri Yvette Cooper saat itu berkata: “Inggris memiliki kontrol yang sangat ketat atas ekspor senjata, termasuk untuk mencegah penyalahgunaan. Kami akan terus menangani hal ini dengan sangat serius.”
Telah berlaku embargo senjata PBB terhadap basis kekuatan RSF di Darfur sejak 2004, namun hal ini belum diperluas ke wilayah lain di Sudan meskipun ada desakan dari kelompok-kelompok HAM.