"Peningkatan Tajam Ujaran Kebencian Anti-Druze Terkait Kerusuhan di Suriah, Lapor CyberWell" Catatan: Teks disusun dengan tata bahasa yang baik dan visual yang rapi.

Menurut kelompok pengawas, hasutan tersebut mencantumkan bahasa antisemit eksplisit serta teori konspirasi yang menggambarkan Druze Suriah sebagai kolaborator dengan Israel.

Di tengah kerusuhan kekerasan di Provinsi Sweida, Suriah selatan, laporan terbaru dari kelompok pengawas CyberWell mengungkap lonjakan hasutan daring yang menarget minoritas Druze di negara itu, dengan lebih dari 45 juta tayangan pada konten provokatif di platform X/Twitter hanya dalam seminggu.

Menurut laporan yang dirilis pekan ini, hasutan tersebut memuat narasi antisemit terang-terangan dan teori konspirasi yang mencitrakan Druze Suriah sebagai kaki tangan Israel.

CyberWell menyatakan retorika ini kerap meniru stereotip antisemit tradisional—kali ini ditujukan pada kelompok non-Yahudi karena dianggap terkait dengan negara Yahudi tersebut.

Organisasi itu mencatat peningkatan tajam ujaran kebencian dan kekerasan terhadap komunitas Druze antara 13-20 Juli.

Konten yang beredar meliputi hinaan seperti “anjing Zionis”, tuduhan mata-mata, hingga perbandingan tidak manusiawi dengan hewan.

Bendera Druze yang dihiasi Bintang Daud terlihat di kota Druze Daliat al-Karmel, Israel utara, 2 Agustus 2018 (kredit: REUTERS/AMIR COHEN)

Tagar berbahasa Arab semacam “Druze adalah agen Israel” digunakan dalam ribuan unggahan, mendapat sambutan masif.

Salah satu istilah yang muncul dalam 900 postingan adalah “Jewlani”, gabungan nama pemimpin Suriah dan kata “Jew” (Yahudi) dalam bahasa Inggris, yang mengisyaratkan kolaborasi dengan Israel. CyberWell mencatat lebih dari 5.700 postingan memuat tagar yang menuduh Druze bekerja untuk Israel, dengan total 4 juta tayangan. Ratusan cuitan juga mencap individu Druze sebagai “anjing Zionis”, menurut laporan.

Selama periode pelaporan, unggahan harian yang memuat istilah seperti “Druze” dan “Israel Raya” rata-rata mencapai 1.016 per hari—naik 3.529% dibanding enam bulan sebelumnya. Pada 17-18 Juli, aktivitas melonjak jadi 3.700 posting per hari, kenaikan fantastis 13.000% dari biasanya.

MEMBACA  Tiga Pria Berkulit Gelap yang Tinggal di Jepang Menggugat Pemerintah atas Profiling Rasial

CyberWell menyatakan tingkat hasutan ini bukan sekadar wacana politik, tapi termasuk apa yang mereka sebut “retorika antisemit konspiratif”, dengan Druze digambarkan sebagai proxy untuk memajukan gagasan Israel Raya.

**Eskalasi Sejak April**

Organisasi itu menyebut tren hasutan anti-Druze telah meningkat sejak April 2025, menyusul kunjungan delegasi Druze Suriah ke Israel. Meski saat itu telah memberi peringatan ke platform media sosial besar, CyberWell klaim sebagian besar konten provokatif tidak dihapus.

Laporan ini mengaitkan tren tersebut dengan definisi antisemitisme menurut IHRA (Aliansi Peringatan Holocaust Internasional), yang mencakup konspirasi terhadap non-Yahudi karena keterkaitan nyata atau persepsian dengan Yahudi/Israel.

**Seruan untuk Bertindak**

Menanggapi temuan ini, CEO CyberWell Tal-Or Cohen Montemayor secara langsung mendesak perusahaan media sosial untuk mengatasi apa yang ia sebut “wabah antisemitisme modern”.

“Kami menyaksikan eskalasi mengkhawatirkan dalam retorika kekerasan terhadap komunitas Druze di Suriah, yang berdampak langsung dan berbahaya,” ujar Montemayor.

“Hasutan dan retorika antisemit menciptakan landasan berbahaya untuk melegitimasi serangan terhadap minoritas yang dianggap pendukung Israel. Tanggung jawab ada pada perusahaan media sosial. Mereka harus mengenali wabah antisemitisme modern dan bertindak tegas. Penegakan sebagian atau tidak konsisten memakan korban jiwa.”

**Dampak Mematikan Kebencian Daring**

CyberWell memberi contoh mengerikan tentang potensi dampak hasutan daring yang tak terkendali.
Pada Juli 2024, video di Instagram yang menghasut serangan terhadap Druze—disebut “Zionis” dalam unggahan—tetap ada beberapa hari sebelum serangan teroris di Majdal Shams, di mana 12 anak Druze, warga Israel, tewas.

Organisasi itu menyimpulkan datanya bukan hanya peringatan, tapi bukti bahwa ujaran kebencian digital—terutama di zona konflik—dapat memicu kekerasan.

“CyberWell tidak hanya menuntut penghapusan konten berbahaya,” kata laporan itu, “tapi penerapan kebijakan toleransi nol terhadap wacana antisemit—dalam bentuk apa pun, dan terhadap kelompok mana pun.”

MEMBACA  Apa yang Sedang Streaming Minggu Ini? Tonton 'The Diplomat,' 'Para Penyihir di Luar Tempat Waverly' dan Lainnya