Perang selama tiga setengah tahun melawan Ukraina telah melemahkan cadangan kas Rusia, menurut berbagai indikator, yang mungkin menandakan bahwa ketahanan ekonominya mulai melonggar.
Para ahli mengenai Rusia menyampaikan pada Al Jazeera bahwa negara berpenduduk 143 juta jiwa itu kini hampir sepenuhnya bergantung pada pendapatan ekspor minyak dan gas untuk arus kasnya, dan sejumlah sanksi baru yang signifikan berpotensi membawa mereka kembali ke meja perundingan.
Artikel Rekomendasi
list of 4 items
end of list
Pada 14 Oktober, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memprediksi bahwa perekonomian Rusia “akan kolaps”.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menanggapi sehari sesudahnya bahwa sistem keuangan negara mereka memiliki “margin pengaman” yang cukup dan besar “untuk memungkinkan pimpinan negara dan kita semua melaksanakan rencana-rencana yang telah kita tetapkan”.
Akan tetapi, Pernyataan Peskov mungkin terlalu optimistis. Bulan lalu, Kementerian Keuangan Rusia menyatakan telah mengalami defisit anggaran sebesar $51 miliar dalam delapan bulan pertama tahun ini, melebihi ketentuan defisit untuk setahun penuh yang sebesar $47 miliar.
Dokumen kementerian yang dilihat oleh kantor berita Reuters mengisyaratkan rencana pemotongan anggaran pertahanan tahun 2026 sebesar $11 miliar menjadi $154 miliar, atau penurunan sebesar 7 persen.
Craig Kennedy, seorang pakar energi dan ekonomi Rusia di Pusat Davis untuk Kajian Rusia dan Eurasia Universitas Harvard, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa penurunan riil belanja pertahanan akan lebih mendekati 15 persen relatif terhadap tahun 2024, karena pinjaman bank kepada industri pertahanan telah menyusut lebih dari separuhnya tahun ini.
“Pendanaan untuk perang pada tahun 2025, termasuk pinjaman yang diarahkan negara kepada produsen senjata, diperkirakan akan berkontraksi sebesar 15 persen tahun ini,” ujarnya.
Sebelum pemotongan anggaran dan pinjaman tersebut, pasukan Rusia sudah hanya meraih kemajuan dengan laju yang lambat. Tahun lalu, mereka merebut 0,69 persen wilayah Ukraina, sambil mengalami jumlah korban jiwa yang besar. Dalam delapan bulan pertama tahun ini, mereka kembali menguasai kurang dari 1 persen wilayah Ukraina, namun sekali lagi, puluhan ribu dilaporkan tewas dalam aksi.
Kontraksi ekonomi dan tingkat atrisi manusia telah membuat para analis mempertanyakan keberlanjutan operasi Rusia.
‘Ekonomi riil sipil datar hingga menurun’
Rusia berhasil menjalankan perangnya selama tiga tahun tanpa mengontraksikan perekonomiannya, menaikkan pajak, atau menjalankan defisit tinggi dengan memanfaatkan pendapatan ekspor minyak dan gas serta memerintahkan bank-bank untuk mendanai industri pertahanan secara langsung, sehingga pengeluaran itu tidak tercatat dalam neraca pemerintah.
Ekonomi mereka tumbuh lebih dari 4 persen pada tahun 2023 dan 2024 seiring mengalirnya uang ke sektor pertahanan, pajak yang tetap konstan, serta defisit anggaran yang berada di bawah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Namun hal ini mulai berubah pada tahun keempat perang, seiring kebijakan jangka pendek yang dirancang untuk memaksimalkan arus kas demi perang mulai berdampak pada ekonomi riil.
Pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN), sebuah pajak konsumen, dari 20 menjadi 22 persen dan menerapkannya pada cakupan perusahaan yang lebih luas, sehingga menghasilkan tambahan $14,7 miliar tahun depan.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi Rusia akan tumbuh 0,9 persen tahun ini dan tetap stagnan selama bertahun-tahun.
“Tahun ini, ekonomi riil sipil datar hingga menurun. Banyak yang bilang sudah resesi, hanya sektor pertahanan yang masih positif,” kata Kennedy.
Pusat Analisis Makroekonomi dan Peramalan Jangka Pendek Rusia, sebuah think tank independen, sependapat, dengan menyatakan bahwa semua sektor ekonomi non-pertahanan telah berkontraksi sebesar 5,4 persen sejauh tahun ini.
Menurut Kennedy, perlambatan itu sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa pemerintah telah menggunakan kredit perbankan dan menyalurkannya ke industri pertahanan.
Gubernur bank sentral Rusia, Elvira Nabiullina, membunyikan alarm pada bulan Juni di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg, dengan mengatakan, “Kami tumbuh selama dua tahun dengan laju yang cukup tinggi karena kami menggunakan cadangan yang tersedia – tenaga kerja, kapasitas produksi, modal dalam sistem perbankan, dan dana dari Dana Kesejahteraan Nasional, yang digunakan pemerintah untuk menambal lubang anggaran dan membiayai mega-proyek triliunan rubel. Banyak dari sumber daya ini kini benar-benar terkuras.”
Aset likuid dalam Dana Kesejahteraan Nasional telah menyusut sepertiganya menjadi $34 miliar, dan $10 miliar di antaranya telah disisihkan untuk menguatkan perbankan. Para ahli mengatakan cadangan ini bisa habis sepenuhnya pada tahun 2026.
Pada saat yang sama, bank-bank Rusia kini dapat menghadapi peristiwa kredit, karena para produsen senjata Rusia mungkin tidak mampu membayar kembali sebagian besar dari $180 miliar utang bank yang diarahkan negara, yang menurut perkiraan Kennedy telah mereka tanggung.
“Semuanya rentan terhadap toksisitas, itu adalah uang gelap, tidak ada yang tahu berapa banyak yang mungkin macet,” katanya. “Itu setara dengan 22,7 persen dari seluruh portofolio pinjaman korporasi dalam rubel Rusia. Itu masalah besar.”
Beberapa perusahaan industri terbesar Rusia sudah menunjukkan tanda-tanda bermasalah: Pada 9 Oktober, Reuters melaporkan bahwa beberapa dari mereka telah memulangkan pekerja tanpa bayaran untuk menghemat biaya gaji.
‘Kematian oleh seribu luka’
Sementara itu, sanksi-sanksi membuat upaya perang Rusia semakin mahal.
Olena Yurchenko, direktur analitik, riset, dan investigasi di Dewan Keamanan Ekonomi Ukraina (ESCU), sebuah think tank swasta di Kyiv, memperkirakan bahwa Rusia membayar di atas harga pasar untuk mengimpor material-material kritis bagi mesin perangnya, yang disanksi di Barat.
“Anda harus membayar kepada perusahaan perantara dan Anda harus menunggu lebih lama,” ujarnya. “Harga rata-rata lebih tinggi setidaknya 30 hingga 50 persen. Untuk produk dengan penggunaan militer yang jelas, terkadang mereka harus membayar lebih hingga 70 hingga 80 persen,” katanya kepada Al Jazeera.
Kendala-kendala ini menciptakan “kesenjangan tak terjembatani dalam hal kemajuan dan kapasitas teknologi” industri pertahanan Rusia, kata Yurchenko.
Seorang pejalan kaki melintas di depan cabang Raiffeisen Bank di Moskow, Rusia, pada 18 April 2025 [Maxim Shemetov/Reuters]
Dia meyakini hal itu memiliki efek langsung di medan tempur.
“Jika kita bisa mendapatkan tempo yang lebih lambat, lebih banyak penundaan, lebih banyak kegagalan mesin di medan tempur, lebih banyak masalah dengan, misalnya, mekanisme penembakan, dengan navigasi rudal”, kualitas tempur Rusia akan terdampak material, yang memperburuk kesulitan ekonominya.
“Dengan taktik seribu luka, efek-efek ini mulai saling menumpuk,” pungkasnya.
“Tak Mungkin Memprediksi Hari Persis Kehancurannya, Tapi Situasi Yang Mendukung Sudah Makin Nyata”
Sanksi minyak berpotensi memberi dampak langsung dan menentukan bagi perekonomian perang Rusia, menurut para ahli.
Sekutu-sekutu Ukraina telah melarang impor minyak Rusia, yang menyebabkan Rusia kehilangan pendapatan sebesar $82 miliar per tahun hanya dari Uni Eropa. Namun, Moskwa telah mengganti sebagian pendapatan itu dengan meningkatkan penjualan minyak ke pasar besar Tiongkok dan India.
“Ekonomi Rusia tidak berada di ambang kehancuran meski menghadapi berbagai tekanan, karena Kremlin terus menerima pemasukan devisa yang stabil dari minyak, dan justru lebih banyak keberhasilan daripada tantangan dalam mengembangkan bisnis baru jangka panjang belakangan ini,” ujar Maximilian Hess, seorang fellow di Foreign Policy Research Institute, lembaga pemikir yang berbasis di Philadelphia.
Rusia telah menjual pasokan minyak jangka panjang ke Tiongkok dengan diskon besar sebagai imbalan untuk pembayaran di muka, yang untuk sementara telah mengisi kasnya.
UE, Inggris, Australia, dan Kanada telah merespons dengan membatasi harga jual minyak Rusia oleh kapal tanker mereka ke pihak ketiga sebesar $47,6 per barel. Namun, AS tidak mengikuti langkah tersebut. AS juga tidak merealisasikan ancamannya untuk menghukum pembeli minyak Rusia dengan sanksi sekunder.
Hess menyalahkan “keterlambatan dalam membawa AS untuk bergabung dalam penetapan batas harga minyak yang lebih rendah dan kurangnya langkah-langkah AS untuk terus menutup celah-celah dalam rezim sanksi” atas arus kas Rusia yang masih berjalan.
Anna Wieslander, Direktur untuk Eropa Utara di Atlantic Council, sebuah lembaga pemikir AS, menyatakan bahwa strategi Washington “terlalu lunak terhadap Rusia, dan begitulah cara Kremlin memandangnya juga”.
“Kita dapat melihatnya melalui cara Rusia menjalankan perangnya di Ukraina, dengan menyerang warga sipil dan infrastruktur hingga tingkat yang belum pernah dilakukan sebelumnya.”
Data yang dikumpulkan oleh angkatan udara Ukraina menunjukkan Rusia telah meluncurkan jumlah misil dan drone dalam rekor tertinggi ke kota-kota Ukraina sejak terpilihnya Trump ke Gedung Putih pada November lalu.
“Kepemimpinan AS telah berubah … dalam hal memperlakukan Rusia sebagai ancaman bagi keamanan Eropa dan masa depan Ukraina,” Wieslander mengatakan kepada Al Jazeera. “Eropa akan membayar harga yang sangat mahal … untuk tidak bersikap lebih tegas sekarang.”
UE kini sedang mempertimbangkan paket sanksi ke-19 yang akan melarang produk minyak olahan Rusia – sebuah celah yang memungkinkan Eropa tetap mengimpor sejumlah minyak – serta membatasi pergerakan ratusan kapal tanker Rusia yang tidak tunduk pada batas harga.
Jika dirancang secara efektif, langkah-langkah ini diyakini dapat secara menentukan melucuti dana Kremlin.
Akan tetapi, pesan politik terkuat dari paket tersebut, menurut Wieslander, adalah sebuah usulan untuk menggunakan sekitar separuh dari hampir $300 miliar cadangan bank sentral Rusia yang disita dan disimpan di lembaga-lembaga Eropa, guna mendukung pinjaman besar untuk pertahanan dan rekonstruksi Ukraina.
Rusia telah menyebut gagasan itu “mengada-ada” dan telah menjanjikan “tindakan balasan”, namun negara-negara anggota UE seperti Jerman mulai bergeser posisinya untuk mendukung langkah ini.
“Saya rasa kesadaran itu telah mulai muncul di sejumlah ibu kota bahwa harus ada perubahan,” kata Wieslander.
“Kita sekarang mengambil risikonya, apapun risiko itu, dan menyita [aset-aset ini], karena sama sekali tidak seharusnya uang itu kembali ke negara Rusia.”