Bencana terkait iklim telah menewaskan lebih dari 2 juta jiwa dalam 50 tahun menurut badan meteorologi PBB, dengan 90 persen korban berasal dari negara berkembang.
Dipublikasikan pada 20 Okt 2025
Bagikan di media sosial
share2
Hampir separuh negara di dunia belum memiliki sistem peringatan dini untuk fenomena cuaca ekstrem, membuat jutaan orang – khususnya di negara berkembang – berada dalam kondisi rentan.
Dalam laporan terbarunya yang dirilis Senin, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB menyerukan penutupan celah dalam jaringan pemantauan dan peramalan global. Peringatan tepat waktu dinilai krusial untuk menyelamatkan nyawa seiring meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
“Berjuta-juta orang tidak memiliki perlindungan memadai terhadap cuaca berbahaya, yang semakin membebani aset ekonomi dan infrastruktur vital,” bunyi pernyataan WMO, sambil mencatat angka kematian akibat bencana enam kali lebih tinggi di negara-negara tanpa sistem peringatan dini.
Warga berlari di tengah kepulan asap kebakaran hutan dekat kota Patras, Yunani Barat, 13 Agustus [Aris Messinis/AFP]
Organisasi tersebut menyatakan bahaya terkait cuaca, air, dan iklim telah menyebabkan lebih dari 2 juta kematian dalam 50 tahun terakhir, dengan 90 persen terjadi di negara berkembang.
“Dampaknya semakin meluas seiring memburuknya cuaca ekstrem,” tulis laporan tersebut.
‘Terparah di wilayah konflik’
WMO mengakui telah terjadi “kemajuan signifikan” dalam pemantauan iklim selama dekade terakhir. Jumlah negara yang menerapkan sistem peringatan dini multi-bencana meningkat dari 52 menjadi setidaknya 108.
Namun, assessment terhadap 62 negara menunjukkan separuhnya hanya memiliki kapasitas dasar, dan 16 persen berada di bawah kapasitas dasar.
“Situasi terparah terjadi di wilayah yang terdampak fragilitas, konflik, dan kekerasan,” jelas organisasi itu.
Meski demikian, WMO mencatat kemajuan di Afrika dengan lebih banyak negara yang memiliki situs web fungsional dan mengeluarkan peringatan terstandarisasi.
“Peringatan dini berarti aksi dini. Tujuan kami bukan hanya memperingatkan dunia, melainkan memberdayakannya,” ujar Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo dalam pidato pembukaan konferensi tahunan di Jenewa.
Tahun 2025 telah diwarnai berbagai bencana terkait cuaca. Banjir besar melanda Pakistan, Nigeria, dan Korea Selatan. Kebakaran hutan menghanguskan wilayah luas di Eropa Selatan maupun AS.
Warga menyisir area terdampak banjir usai hujan deras di kota Mokwa, Nigeria, 31 Mei [Afolabi Sotunde/EPA-EFE]
Menteri Dalam Negeri Swiss Elisabeth Baume-Schneider dalam pidatonya menegaskan tidak ada negara atau wilayah yang kebal terhadap dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
Ia mencontohkan pemantauan rutin gletser gunung yang memungkinkan ilmuwan memprediksi keruntuhannya pada Mei 2025, sehingga desa Blatten di Swiss dapat dievakuasi tepat waktu.
“Mencairnya permafrost akan memicu lebih banyak keruntuhan gletser dan longsor batuan,” ujarnya menegaskan pentingnya sistem peringatan dini.