Caroline Hawley
Koresponden Diplomatik
BBC
Dr. Mohammed Abu Mughaisib mengaku sulit untuk makan karena tahu rekan-rekannya di Gaza masih menderita.
Selama dua dekade, pekerjaan dan tujuan hidupnya adalah menyembuhkan orang. Namun, Dr. Mohammed Abu Mughaisib juga ingin tetap bertahan hidup.
Jadi, ketika ia bahkan tak lagi mampu merawat dirinya sendiri, dan rasa lapar sudah terlampau berat untuk ditanggung, ia mengambil kesempatan langka untuk meninggalkan Gaza.
“Saya tak pernah membayangkan akan kelaparan,” kata tenaga medis Médecins Sans Frontières (MSF) itu.
“Tetapi kepala saya pusing dan perut saya terasa sakit akibat kelaparan.”
Setelah bekerja tanpa henti di rumah sakit di seluruh Gaza selama dua tahun terakhir, Dr. Abu Mughaisib dievakuasi ke Irlandia pada pertengahan September, bersama sejumlah pelajar yang menerima beasiswa.
Dalam keadaan aman dan tercukupi makanannya, ia kini dapat merenungkan pengalamannya bekerja dalam kondisi yang kian memprihatinkan seiring ofensif Israel yang menghancurkan infrastruktur medis dan kritikal lainnya – serta perasaannya karena meninggalkan rekan-rekannya.
“Keputusannya sangat sulit,” katanya kepada saya, sambil duduk di sebuah taman yang tenang di Dublin – dengan latar suara kicauan burung, alih-alih peluru, drone, dan ledakan.
Kontras antara kedua dunia itu hampir tak tertahankan baginya.
“Secara fisik saya di sini tetapi hati dan jiwa saya berada di Gaza,” ujarnya. “Sangat aneh menyaksikan orang menjalani hidup normal, dan butuh waktu untuk membiasakannya.”
“Saya bersyukur karena saya selamat. Sebab saya bisa saja terbunuh atau terluka kapan saja. Namun saya sedih telah meninggalkan rekan-rekan dan rakyat saya.”
Dr. Abu Mughaisib bertanggung jawab atas operasi untuk lembaga amal medis internasional itu di Jalur Gaza, termasuk semua rumah sakit, klinik, dan layanan kesehatan jiwanya. Ini merupakan salah satu penyedia layanan kesehatan terbesar di Gaza.
Ia kesulitan mengungkapkan konsekuensi “tak terkatakan” bagi rekan-rekannya selama dua tahun perang terakhir, dengan ofensif Israel membuat rumah sakit Gaza berada di bawah tekanan berat, beberapa terpaksa ditutup dan lainnya beroperasi pada tingkat yang jauh berkurang.
Ia bercerita kepada saya tentang tenaga medis yang terpaksa meneguk larutan glukosa hanya untuk memberi sedikit energi agar dapat terus bekerja.
Pada satu titik, di antara para dokter dan perawat, satu-satunya topik pembicaraan di rumah sakit adalah makanan, dan pencarian yang putus asa untuk mendapatkannya. “Dokter-dokter yang kelaparan justru sedang menangani kasus malnutrisi,” katanya.
Dan para korban luka terus berdatangan.
“Saat Anda memasuki rumah sakit, Anda mencium bau darah,” katanya kepada saya.
“Rumah sakit seharusnya menjadi tempat yang suci, tempat yang steril, tetapi di Gaza rasanya seperti pergi ke pasar umum. Pasien-pasien benar-benar terbaring di tanah karena tidak ada tempat tidur untuk mereka.”
“Tidak ada cukup dokter untuk merawat mereka. Di unit perawatan intensif, mereka menunggu seseorang meninggal, untuk kemudian menerima pasien kritis lainnya.”
Ia menambahkan: “Saya berharap suatu hari nanti Anda dapat mengakses untuk melihat apa yang terjadi di rumah sakit-rumah sakit ini di Gaza. Ini mengerikan.”
Wartawan asing dilarang oleh Israel memasuki Gaza secara independen, sehingga organisasi berita, termasuk BBC, mengandalkan freelancer lokal terpercaya untuk melaporkan dari lapangan.
Getty Images
Sekitar 51% populasi Gaza berusia di bawah 18 tahun, menurut data dari Unicef
Dokter berusia 52 tahun ini sudah tak lagi menghitung berapa kali ia mengungsi sejak perang dimulai, yang dilancarkan Israel sebagai balasan atas serangan pimpinan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Serangan-serangan itu “sangat tak dapat diterima” dan mengejutkannya, katanya.
Ia mengatakan rumah besarnya di Kota Gaza – yang dulunya memiliki panggangan barbekyu dan meja piknik di halaman – diambil alih menjadi pangkalan militer Israel dan kemudian dijarah oleh warga lokal.
Dr. Abu Mughaisib berhasil mengevakuasi keluarganya ke Mesir pada Februari 2024, sementara ia sendiri tetap tinggal.
“Saya tinggal di tenda. Saya tinggal di rumah sakit. Saya tinggal di kantor MSF. Saya membentur kasur saya di ruang listrik sebuah restoran.”
Tapi di mana pun ia berada, ia terus bekerja.
Rasa takut menyertainya ke mana-mana. “Setiap kali saya berjalan di jalan, saya sangat ketakutan dan saya melihat sekeliling, menatap orang-orang, karena saya tidak tahu siapa yang Hamas,” ujarnya.
“Dan saya berpikir, OK orang ini, mungkin dia yang dicari, mungkin mereka [Israel] akan menargetkannya. Dan mereka akan membunuh semua orang di sekitarnya.”
Setiap hari menghadirkan dilema moral tentang bagaimana merawat mereka yang terluka.
“Pasien mana yang Anda terima? Anda memutuskan hanya bisa menerima anak-anak, tetapi sebagian besar memang anak-anak, jadi mana yang lebih Anda prioritaskan untuk dirawat?”
“Situasinya tak terlukiskan,” tambahnya.
Lebih dari 18.000 dari 66.000 orang yang tercatat tewas selama perang oleh kementerian kesehatan yang dikelola Hamas adalah anak-anak. PBB menganggap angka-angka ini terpercaya.
Dan saat Israel melanjutkan ofensifnya di Kota Gaza, PBB mengatakan bahwa serangan terhadap dan di sekitar rumah sakit telah membuat warga sipil yang sakit dan terluka tidak memiliki tempat untuk mendapatkan perawatan penyelamatan nyawa.
Menurut Kantor Hak Asasi Manusia PBB, setidaknya telah terjadi 17 serangan Israel di dalam atau di dekat fasilitas kesehatan di Jalur Gaza hanya pada paruh kedua bulan September saja.
“Tidak ada tanda-tanda bahwa hanya Hamas yang ditarget,” kata Dr. Abu Mughaisib. “Melainkan warga sipil, penduduk, saya, teman-teman saya, kolega saya, tetangga saya, mereka bukan Hamas.”
“Kamilah yang terbunuh dan terluka serta berlarian dari satu tempat ke tempat lain dan kelaparan.”
Israel menyatakan mereka mengambil langkah-langkah untuk mengurangi korban jiwa sipil dan menyalahkan Hamas karena menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
Dr. Abu Mughaisib mengatakan ia tahu bahwa pembalasan Israel atas serangan 7 Oktober akan sangat besar.
Akan tetapi, ia tak pernah membayangkan skalanya yang sedemikian besar, menyebutnya sebagai “serangan terhadap setiap lapisan kehidupan di Gaza, mulai dari infrastruktur, kelistrikan, pasokan air, sistem pembungan, rumah sakit, hingga sekolah-sekolah dan universitas.”
Ia bercerita bahwa warga di Gaza begitu putus asa sampai-sampai mereka mengharapkan anggota keluarga lanjut usia mereka wafat agar terhindar dari penderitaan lebih lanjut.
“Ada rekan-rekan saya yang masih terperangkap di bawah reruntuhan,” ujarnya.
Setidaknya 13 staf MSF telah tewas dalam dua tahun terakhir. Yang terbaru, seorang perawat yang meninggal akibat luka tembakan peluru dari serangan udara Israel di dekat tendanya pada bulan September.
Anadolu via Getty Images
Pasukan Israel meningkatkan operasi untuk menduduki Kota Gaza sepenuhnya.
Kini telah aman dari perang di Gaza, Dr. Abu Mughaisib menikmati mandi yang layak untuk pertama kalinya dalam hampir dua tahun.
Namun, setelah bermimpi selama berminggu-minggu untuk dapat makan, kini ketika makanan berlimpah di sekelilingnya, ia justru kehilangan selera.
“Tentu saja saya senang bisa pergi. Tapi saya tidak menikmati kebahagiaan ini. Saat saya tahu rekan-rekan saya sedang menderita, saya tidak sanggup menyantap hidangan dengan lahap.”
Ia meninggalkan Gaza hanya dengan telepon genggam dan pakaian yang melekat di badannya. Tidak ada lagi yang diizinkan untuk dibawa.
Kepadanya dikabarkan bahwa pihak Israel secara ketat melarang para pengungsi membawa sedikitpun pasir atau tanah dari Gaza.
Dan ia yakin hal itu ada alasannya: “Agar tidak ada bukti bahwa Anda berasal dari Gaza. Agar Anda tidak punya kaitan dengan Gaza. Agar Anda tidak punya kenangan akan Gaza.”
“Saya ingin membawa seluruh Gaza bersamaku,” katanya. “Bukan hanya secuil.”
Ia menyatakan bahwa kehancuran di Gaza begitu luasnya hingga kota-kota yang dilaluinya saat keluar melalui perbatasan dengan Mesir sama sekali tidak dapat dikenali.
Saya menanyakan pendapatnya apakah Gaza akan pernah pulih.
“Itu akan sangat sulit,” jawabnya.
“Luka-luka itu bukan hanya fisik. Melainkan juga sosial, psikologis, emosional, dan spiritual.”
“Segalanya telah hilang.”
Proses penyembuhan akan memakan waktu yang lama, ujarnya.
“Dan saya rasa masyarakat akan membutuhkan dukungan dari dunia internasional untuk memulihkan diri mereka.”