Para perempuan berjajar duduk rendah dekat tanah di kota Bida, Nigeria tengah, memegang tongkat yang naik turun dalam irama yang teratur.
Udara dipenuhi dengan suara gedebuk kayu membentur cangkang—kulit luar buah shea yang cokelat kehitaman dan dikeringkan matahari terbelah untuk mengeluarkan biji keras di dalamnya.
Hasil bumi ini, yang dipanen secara liar setelah jatuh dari pohon, disiapkan untuk dikumpulkan oleh para tengkulak sebelum akhirnya disuplai ke berbagai pabrik.
Ini merupakan tahap-tahap awal dari suatu proses yang berujung pada hadirnya mentega shea di etalase toko kosmetik di seluruh penjuru dunia—serta dalam produk-produk lain semisal cokelat.
Perempuan-perempuan di Nigeria—yang menyumbang hampir 40% dari panen shea global—berada di jantung industri ini, namun mata pencaharian mereka terancam oleh perubahan drastis dalam kebijakan pemerintah belum lama ini.
Pada akhir Agustus, di tengah musim panen, otoritas setempat mengumumkan larangan ekspor biji mentah selama enam bulan.
Maksudnya adalah untuk mendorong produksi lokal mentega jadi—alih-alih biji mentah—sehingga porsi keuntungan yang tetap di Nigeria dapat meningkat. Namun, perubahan mendadak ini justru mengakibatkan terjunnya permintaan akan biji shea karena kapasitas produksi dalam negeri tidak memadai untuk mengolah seluruh hasil panen.
Merosotnya permintaan ini memicu kemerosotan harga biji shea, yang pada gilirannya berarti pendapatan dari kerja keras para perempuan itu tak lagi cukup untuk menghidupi mereka.
Di negara bagian Niger saja, tempat Bida berlokasi, ratusan ribu perempuan diperkirakan menggantungkan hidup pada sebagian dari rantai produksi shea.
Hajaratu Isah, 40 tahun, yang sepanjang dewasa nya mengolah buah ini, bercerita kepada BBC bahwa kebijakan baru pemerintah telah menyulitkan dia, keluarganya, serta perempuan lain di komunitasnya untuk bertahan hidup.
Ms Isah tinggal bersama 11 orang lainnya, termasuk keenam anaknya, dan menderita penyakit mata berulang, konjungtivitis, yang kambuh saat cuaca berubah dan memerlukan pengobatan rutin.
“Kami merasa putus asa. Kami tidak bisa makan, kami tidak punya uang, dan anak-anak kami tidak dapat lagi bersekolah,” ujarnya.
Sebelum larangan ekspor, ia memperoleh hingga 5.000 naira per hari, cukup untuk membayar uang sekolah yang dibayarnya harian, serta membeli obat. Kini, penghasilannya merosot hingga kurang dari separuhnya.
“Sejak pengumuman itu, kami terus menderita. Hal ini tidak hanya memengaruhi kami, tetapi seluruh rangkaian orang yang bekerja di sini, termasuk para buruh,” tambahnya, merujuk pada para pria yang dibayar untuk memuat truk dengan karung-karung penuh biji shea.
Upah mereka pun telah berkurang setengah dalam beberapa pekan terakhir.
Penghasilan dari pekerjaannya sebelumnya cukup untuk menopang hidup Fatima Ndako, 55 tahun, dan rumah tangganya yang beranggotakan 14 orang, termasuk ketujuh anaknya dan beberapa cucu.
“Saat mendengar tentang larangan ekspor, saya tidak dapat tidur… uang yang kami hasilkan adalah yang kami gunakan untuk memberi makan keluarga,” katanya.
“Kami memohon kepada Presiden Bola Tinubu untuk mengizinkan ekspor kembali agar anak-anak kami tidak terdorong melakukan tindakan terlarang.”
Industri shea global diperkirakan bernilai sekitar $6,5 miliar, namun meski menjadi produsen terbesar di dunia, Nigeria hanya memperoleh porsi yang sangat kecil dari angka tersebut. Larangan ekspor Tinubu bertujuan untuk mengklaim porsi lebih besar dan meningkatkan taraf hidup semua orang di sepanjang rantai nilai.
Kunci utamanya adalah perluasan pengolahan lokal serta peningkatan mutu produk akhir.
Salah satu proyek utama yang mendorong perubahan ini adalah pabrik milik Salid Agriculture Nigeria Limited di Kudu, yang juga berada di negara bagian Niger.
Pabrik ini, yang dimiliki oleh seorang sekutu pemerintah saat ini, digambarkan sebagai fasilitas terbesar di Afrika yang khusus memproduksi mentega shea, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 30.000 ton. Pabrik ini bertujuan memproduksi mentega untuk kosmetik, pangan, dan farmasi.
Larangan ekspor mulai berlaku hanya dua minggu setelah pabrik baru ini diresmikan, namun secara keseluruhan, tidak cukup banyak pabrik pengolahan di Nigeria untuk menangani semua biji shea yang dapat dipanen.
Para pedagang kini mendapati bahwa mereka memiliki stok yang hanya dapat dijual dengan merugi.
“Larangan ini tidak adil. Seandainya ada pemberitahuan sebelumnya, kami pasti akan mempersiapkan diri,” ujar seorang tengkulak kepada BBC.
Meski pejabat menyatakan telah berkonsultasi dengan para pemimpin industri dan melakukan survei, tampaknya banyak pihak dalam rantai pasokan tidak mendapat informasi.
Tak mengherankan, Ali Saidu, direktur pelaksana Salid, melihat peluang di balik larangan ekspor ini.
“Kami kini menerima begitu banyak respons dari para pemasok biji shea,” ujarnya. Sebelum larangan, Mr. Salid jarang menerima telepon dari para pedagang.
Segera setelah itu, mereka mulai menghubungi kami untuk menanyakan bagaimana mereka dapat memasok.
Dia juga kini mendapat keuntungan dari harga yang lebih rendah, sebab sebelum larangan ekspor, perusahaan Pak Saidu kesulitan menyaingi penawaran dana dari pembeli internasional.
Para pemain global ini beralih ke Nigeria setelah Burkina Faso memberlakukan larangan ekspornya sendiri pada September 2024, yang kemudian diikuti oleh pembatasan serupa di Mali, Pantai Gading, dan Togo.
Ghana berencana menerapkan larangan bertahap terhadap ekspor mentega shea mentah pada tahun 2026, disertai dengan investasi di pabrik-pabrik yang dapat mengolah kacangnya menjadi mentega.
Mobola Sagoe, kepala Shea Origin dan duta besar dari inisiatif Shea Nigeria yang didukung pemerintah—yang mempromosikan pemrosesan dan sertifikasi lokal—menekankan bahwa peningkatan skala harus dilakukan dengan hati-hati.
“Nigeria memiliki kapasitas untuk memimpin industri mentega shea. Namun, standar harus diterapkan,” ujarnya.
Fatima Mohammed Swasu, yang memanen buah shea, adalah satu dari ratusan ribu perempuan yang bergantung pada industri ini [Gift Ufoma / BBC].
Kingsley Uzoma, yang menasihati presiden tentang kebijakan pertanian, membela larangan ekspor dengan alasan bahwa Nigeria perlu mendapatkan manfaat lebih dari sumber daya alamnya dan percaya bahwa kehidupan perempuan yang terlibat dalam industri ini akan membaik.
“Selama beberapa dekade, para perempuan ini terperangkap dalam siklus kemiskinan yang tak berujung, hidup dalam kepapaan sementara para tengkulak dan pengolah asing meraup miliaran keuntungan.
“Kebijakan ini bertujuan untuk mengubah dinamika tersebut, memberdayakan perempuan-perempuan kita, dan memberikan tempat yang semestinya bagi Nigeria di pasar,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini hanyalah penghentian sementara selama enam bulan yang dimaksudkan untuk memaksa pelaku lokal dan internasional berinvestasi dalam kapasitas pengolahan Nigeria.
“Jika kita menunda reformasi yang berani, para penerima manfaat dari sistem eksploitatif lama hanya akan terus meminta tambahan waktu.”
Dia berargumen bahwa larangan ekspor di negara-negara tetangga telah membantu pengolahan lokal di sana.
Asosiasi Nasional Produk Shea Nigeria (Naspan), yang merupakan payung bagi sektor ini, telah mendukung larangan tersebut sebagai “reposisi strategis dan kritis” bagi industri. Namun, mereka mendesak pemerintah untuk memberikan keringanan bagi pedagang yang memegang stok dalam jumlah besar.
Meski demikian, kapasitas pengolahan shea Nigeria tetap terbatas dan terkonsentrasi pada segelintir pabrik besar.
Bagi produsen dan koperasi kecil, akses ke fasilitas semacam itu sulit terjangkau, dan pertanyaan masih mengemuka apakah penangguhan enam bulan cukup lama untuk membangun infrastruktur, insentif, dan rantai pasokan yang dibutuhkan untuk transformasi nyata.
Target pemerintah adalah pada tahun 2030, Nigeria akan menguasai setidaknya seperlima dari nilai pasar shea global.
Namun, saat ini bagi para perempuan di Negara Bagian Niger, yang sudah terjepit oleh turunnya harga dan tuntutan keluarga besar, janji itu terasa masih jauh.
Urusan bertahan hidup adalah yang utama: memberi makan anak-anak, membayar pengobatan, dan melewati musim shea berikutnya.
**Anda mungkin juga tertarik dengan:**
[Getty Images/BBC]
Kunjungi [BBCAfrica.com](http://bbcafrica.com/) untuk berita lebih lanjut dari benua Afrika.
Ikuti kami di Twitter [@BBCAfrica](https://twitter.com/BBCAfrica), di Facebook di [BBC Africa](https://www.facebook.com/BBCnewsafrica/), atau di Instagram di [bbcafrica](https://www.instagram.com/bbcafrica/).
**Podcast BBC Africa**