Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikabarkan telah memutuskan agar pasukannya menduduki seluruh Jalur Gaza, menurut laporan media pada Senin. Keputusan ini muncul di tengah kritik yang semakin meningkat terhadap situasi kemanusiaan yang memprihatinkan di wilayah pesisir tersebut.
Netanyahu rencananya akan berdiskusi dengan Kabinet dan pimpinan militer dalam beberapa hari ke depan untuk mendapatkan dukungan atas rencana ini.
Portal berita Ynetnews.com mengutip seorang pejabat tinggi yang dekat dengan Netanyahu yang berkata: “Sudah tidak bisa dibatalkan, kita akan menduduki seluruh Jalur Gaza.”
Netanyahu sendiri sebelumnya menyatakan bahwa ia berencana menggelar rapat Kabinet Keamanan untuk membahas langkah lebih lanjut di Gaza, seiring konflik yang telah berlangsung hampir 22 bulan.
Dalam pesan video yang dirilis Minggu, Netanyahu menyebut kelompok ekstremis Hamas menolak solusi melalui perundingan.
Netanyahu melancarkan operasi militer di Jalur Gaza pada Oktober 2023 sebagai balasan atas serangan Hamas ke Israel yang menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyandera 250 lainnya ke Gaza.
Upaya gencatan senjata dan pembebasan sandera melalui perundingan tidak langsung antara Israel dan Hamas telah berlangsung berbulan-bulan tanpa hasil.
Lebih dari 60.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan Israel di Gaza. Sementara itu, kecaman global semakin keras menyusul ancaman kelaparan di wilayah tersebut setelah Israel memberlakukan pembatasan bantuan hampir total sejak Maret.
Pasukan Israel saat ini menguasai sekitar 75% Gaza. Sisa 50 sandera, yang diperkirakan sekitar 20 masih hidup, diduga berada di wilayah yang masih dikontrol Hamas.
Militer kritis terhadap pendudukan penuh
Menurut surat kabar Times of Israel, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah berulang kali menentang pendudukan penuh atas Jalur Gaza, memperingatkan bahwa penghancuran seluruh terowongan dan bunker Hamas bisa memakan waktu tahunan.
Pimpinan militer juga mengingatkan bahwa serangan untuk menguasai seluruh Gaza bisa membahayakan nyawa sandera, yang dikhawatirkan akan dibunuh begitu pasukan Israel mendekat.
Namun, laporan menyebut Netanyahu kini bersedia mengambil risiko tersebut.
“Akan ada operasi di wilayah-wilayah tempat sandera ditahan,” kata pejabat yang dikutip ynetnews.com. “Jika ini tidak sesuai dengan Kepala Staf IDF [Eyal Zamir], dia bisa mengundurkan diri.”
Hingga kini, yang menyerukan pendudukan penuh atas Jalur Gaza terutama adalah menteri-menteri dari koalisi sayap kanan jauh dan ultra-religius dalam pemerintahan Netanyahu.
Mereka juga menuntut deportasi warga Palestina ke negara lain dan pembangunan pemukiman Yahudi di jalur pesisir tersebut.
Menurut laporan media, Zamir disebut terlibat perdebatan sengit dengan menteri-menteri ultra-kanan dalam rapat Kabinet Keamanan sebelumnya.
Mantan pimpinan keamanan desak perang diakhiri
Sementara itu, lebih dari belasan mantan pejabat keamanan Israel mengeluarkan seruan video pada Senin yang mendesak diakhirinya perang di Gaza segera.
“Perang ini awalnya adalah perang yang adil. Ini adalah perang defensif,” kata Ami Ayalon, mantan direktur dinas intelijen domestik Shin Bet, dalam video tersebut.
“Tapi setelah semua tujuan militernya tercapai, setelah kita meraih kemenangan militer gemilang atas semua musuh kita, perang ini berhenti menjadi perang yang adil.”
“Ini membawa Negara Israel pada kehilangan keamanan dan identitasnya,” tambahnya.
Video tersebut memperlihatkan para mantan pejabat duduk mengelilingi meja panjang di sebuah kantor yang tampak kosong. Di antara 19 mantan pejabat tinggi tersebut ada mantan Kepala Staf dan Perdana Menteri Ehud Barak, mantan Kepala Staf Moshe Ya’alon dan Dan Halutz, serta tiga mantan kepala dinas intelijen luar negeri Mossad.
Dalam video, mereka menyatakan perang ini dilanjutkan hanya untuk alasan politik dan mendesak dicapainya kesepakatan yang mengembalikan seluruh 50 sandera sekaligus.
“Kita di ambang kekalahan,” peringat Tamir Pardo, mantan direktur Mossad.
Beberapa dari mereka menyebut Israel kini dipimpin oleh pemerintahan fundamentalis dan ekstrem yang sudah tidak didukung mayoritas.