Saat mendengar kabar bahwa kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) telah menguasai kota el-Fasher bagian barat setelah mengepungnya hampir sepanjang dua setengah tahun perang dengan militer Sudan, Mouawia merasa hancur.
Berbicara kepada Al Jazeera via telepon pada hari Minggu, suara sang aktivis itu terputus-putus saat mengungkapkan kekhawatirannya terhadap warga sipil yang masih terjebak dan ketidaktahuannya apakah ia akan pernah bisa kembali ke kotanya.
Rekomendasi Cerita
list of 3 items
end of list
“Rasanya kami telah kehilangan segalanya,” ujar pria 31 tahun itu dari kota terdekat, Tawila. “Saya terus memikirkan orang-orang yang masih di sana – anak-anak, keluarga-keluarga – dan saya tak bisa berhenti mengkhawatirkan mereka.”
RSF mengumumkan pengambilalihan el-Fasher pada hari Minggu setelah menyatakan merebut garnisun terakhir milik Angkatan Darat di kota tersebut, yang merupakan markas Divisi Lapis Baja Keenam.
Mereka mengepung ibu kota negara bagian Darfur Utara ini selama 18 bulan, menyerang penduduk dan memblokir semua bantuan yang masuk, sehingga menciptakan kelaparan yang telah berlangsung berbulan-bulan.
Mengungsi
Mouawia, yang menolak menyebutkan nama lengkapnya karena takut pembalasan RSF, meninggalkan el-Fasher pada awal Oktober, menempuh jarak sekitar 60 km ke Tawila selama beberapa hari dengan menggunakan gerobak dan berjalan kaki.
Ia memutuskan pergi setelah menyadari bahwa ia tak lagi dapat melanjutkan pekerjaannya membantu warga sipil di kota itu seiring meningkatnya kekejaman serangan oleh RSF.
Mouawia, seorang lulusan jurusan media, terluka beberapa minggu sebelumnya dalam perjalanannya menuju klinik yang ia dan sejumlah relawan lainnya kelola di sektor barat kota.
Sebuah peluru meledak di dekatnya saat mereka berjalan, menjatuhkannya ke tanah dan melukai perutnya.
Setelah melalui perjalanan yang mencekam untuk keluar dari pertempuran, ia dan seorang teman berhasil mencapai rumah rekan relawan mereka, seorang asisten dokter yang mampu memberikan pertolongan pertama.
Kunjungan ke rumah sakit mengonfirmasi bahwa luka Mouawia masih mengandung serpihan peluru, namun serpihan itu tidak dapat diangkat karena rumah sakit yang penuh sesak dan sangat kekurangan sumber daya. Serpihan itu masih tertanam di perut Mouawia, yang kini telah sembuh.
Cedera tersebut mengubah segalanya. Tidak mampu melanjutkan kerja sukarela dan dengan bombardir harian yang semakin mendekat, ia memutuskan untuk meninggalkan el-Fasher melalui “koridor aman” untuk warga sipil yang mengungsi yang telah diumumkan RSF.
Ia dan timnya secara resmi menyerahkan klinik mereka kepada Kementerian Kesehatan, lalu ia dan seorang rekan relawan berangkat dengan sebuah gerobak kecil, sejumlah uang tunai, dan surat-surat identitas mereka.
“Kami pergi dengan diam-diam, sambil berdoa dapat mencapai tempat yang aman,” ujarnya. Namun saat mereka bergerak melalui “koridor aman” tersebut, mereka menyadari bahwa koridor itu sama sekali tidak aman.
Pengepungan el-Fasher yang berkepanjangan oleh RSF juga berdampak pada kamp-kamp pengungsian di sekitarnya, seperti Zamzam, yang para penghuninya terlihat mengungsi ke kamp-kamp di Tawila pada 14 April 2025, saat RSF mengambil alih Zamzam [Marwan Mohamed/EPA]
Tebusan, Penghinaan
Koridor itu berbelok ke arah barat laut meskipun Tawila berada di barat daya, karena RSF telah mendirikan gundukan pasir raksasa di sekitar kota selama pengepungan, hanya menyisakan satu arah yang terbuka.
Kedua pria itu pertama-tama menuju Garni, sekitar 16 km, dengan harapan dapat mencapai tempat untuk tidur sebelum melanjutkan perjalanan.
Di pinggiran Garni, sebuah perjalanan yang dapat memakan waktu hingga lima jam dengan berjalan kaki, para pejuang RSF menghentikan mereka di sebuah pos pemeriksaan dan menuduh mereka sebagai tentara yang menyamar sebagai warga sipil.
Para pejuang itu meneriakkan hinaan rasial dan menuntut untuk mengetahui posisi pasukan Angkatan Darat Sudan, menolak mendengarkan ketika Mouawia dan rekannya menunjukkan paspor dan menjelaskan bahwa mereka adalah relawan.
Setelah berjam-jam diinterogasi, mereka dibebaskan – hanya untuk dihentikan lagi beberapa menit kemudian di pos pemeriksaan lain di mana seorang pejuang menemukan uang cetakan baru pemerintah Sudan di tas Mouawia. Ia menggeram: “Ini uang flangi,” sebuah hinaan Sudan yang digunakan untuk menggambarkan pejuang mana pun yang terkait dengan angkatan darat atau pasukan sekutunya.
“Makan ini,” perintah sang serdadu, menampar Mouawia dan memaksanya menelan segumpal uang kertas.
“Dia menyuruhku untuk menyerahkan segalanya,” kenang Mouawia. Para serdadu itu mencuri sisa uang tunai dan ponsel mereka sebelum mengizinkan mereka lewat.
Lebih jauh, dua pejuang RSF menghentikan mereka dengan sepeda motor, sekali lagi menuduh mereka sebagai tentara yang melarikan diri.
Tapi karena tidak menemukan apa pun saat menggeledah, mereka mengizinkan mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah masjid dekat Garni, di mana mereka berhenti untuk tidur hingga pagi sebelum melanjutkan perjalanan dua hari ke Tawila.
Penderitaan mereka semakin dalam ketika sebuah kendaraan RSF jenis four-by-four memblokir jalan antara Garni dan Jughmer, sekitar 11 km ke arah barat.
Seorang serdadu memperhatikan bekas luka di perut Mouawia dan berteriak: “Dia tentara! Sudah kubilang!”
Mereka diseret dari gerobak, diinterogasi, dan diancam dengan senjata sampai akhirnya dibebaskan, terguncang namun masih hidup.
Beberapa jam kemudian, kendaraan itu kembali, dengan para pejuang menuntut 10 miliar pound Sudan – sebuah tebusan yang mustahil.
“Saya berkata: ‘Bahkan jika kau bunuh saya, saya tidak punya 10 miliar,’” kenang Mouawia.
Setelah argumen yang menegangkan, para pejuang menurunkan tuntutan menjadi 2,5 miliar pound Sudan dan membawa mereka ke area yang memiliki sinyal telepon, memerintahkan mereka untuk menelepon kerabat guna meminta uang dan mengancam akan membunuh mereka.
Dengan putus asa, Mouawia menghubungi seorang teman di Khartoum, yang berhasil mentransfer 1 miliar pound Sudan, dan relawan lain mengirim 1,5 miliar, sehingga melunasi tebusan tersebut melalui stasiun RSF Starlink yang terletak di dekat pos pemeriksaan.
Salah satu pejuang memutuskan untuk menyimpan sebagian uang untuk dirinya sendiri, cerita Mouawia, dengan berbisik bahwa ia seharusnya tidak memberitahu pejuang lain tentang 1 miliar pertama dari temannya di Khartoum.
Puas dengan 1,5 miliar pound, para pejuang itu berpura-pura baik saat pergi, berkata: “Kami akan mengembalikan uangmu jika kamu mau,” memberinya nomor WhatsApp “untuk perlindungan” dan kemudian pergi.
Seorang perempuan pengungsi menyiapkan makanan pada 16 April 2025, saat ia berlindung di kota Tawila di Darfur Utara, Sudan, setelah serangan RSF di kamp pengungsian Zamzam [Reuters]
Bertahan Hidup
Pada saat itu, kelelahan sudah sepenuhnya melanda. Kedua pria itu bermalam di desa kecil Arida Djangay, tidur di sebelas gerobak mereka.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan, hanya untuk menemui taktik baru RSF untuk mengambil uang dari orang-orang di jalan: konvoi kendaraan RSF yang meminta “biaya transportasi”.
“Mereka bilang akan membawa kami gratis tapi kemudian meminta 1 juta [pound] per orang [$0,50],” ujarnya.
Di kamp Silik di Korma, barat Garni dan dalam perjalanan menuju Tawila – sekitar 45 menit darinya – para serdadu kembali menghentikan gerobak mereka, menahan penumpang, termasuk perempuan dan anak-anak, serta memeras “uang tiket” dari orang-orang untuk mengangkut mereka dengan kendaraan RSF sebagai gantinya.
Ketika seorang pria lanjut usia protes bahwa ia sudah sampai di tujuannya, para serdadu tetap meminta pembayaran.
“Orang-orang murka,” kata Mouawia. Dia dan rekannya memohon untuk tenang, mengingatkan para pejuang akan janji mereka sebelumnya untuk perjalanan aman – tetapi sia-sia.
Pada akhirnya, mereka mengamankan lebih banyak uang untuk membayar para pejuang itu dari teman-teman yang mengirim transfer via ponsel.
“Kami bayar hanya untuk bertahan hidup,” katanya.
Akhirnya, seorang sopar yang bersimpati setuju untuk membawa mereka ke Tawila dengan biaya 130.000 pound ($0,04) lewat transfer bank.
“Setelah semuanya, aku hanya bersyukur pada Tuhan kami selamat,” kata Mouawia dengan suara lembut.
Di Tawila, ia akhirnya beristirahat meski kini ia mempertanyakan bagaimana ia dapat melanjutkan hidup.
“Saat kami membantu orang,” ujarnya, “kami terus berjalan karena tahu seseorang harus menjaga harapan tetap hidup – bahkan di tempat seperti el-Fasher.”
‘Segalanya terhenti’
Saat perang meletus di el-Fasher pada 15 April 2023, kota yang pernah ramai itu porak-poranda. Dalam hitungan hari, pusat-pusat kesehatan menutup, jalanan kosong, dan warga sipil terjebak antara pemboman dan pengepungan.
“Segalanya berenti,” kenang Mouawia, lalu menjelaskan bagaimana ia dan sekelompok pemuda setempat – dokter, insinyur, dan pelajar – memutuskan untuk membantu dengan membuka kembali sebuah klinik di lingkungan mereka.
Dalam waktu seminggu, mereka telah membersihkan dan membukanya kembali, bergantung sepenuhnya pada donasi lokal dan berbagi makanan untuk menopang pekerjaan mereka.
“Kami bekerja sama terlepas dari keyakinan atau kecenderungan politik kami,” kata Mouawia.
Persatuan itulah yang membawa mereka melewati serangan udara dan kelangkaan. Mereka menangani korban tembakan, ibu hamil, dan keluarga pengungsi yang muncul di pintu mereka dalam kepanikan. Pada akhir tahun 2024, inisiatif mereka berkembang menjadi dapur umum dan bentuk dukungan lainnya, yang tetap berjalan meskipun ada pemboman.
Pada bulan Mei, ketika RSF memperketat pengepungannya di el-Fasher dan melancarkan serangan drone ke dapur umum, para relawan beralih ke mengantarkan makanan dari rumah ke rumah.
“Makanan yang kami masak untuk keluarga pengungsi menjadi satu-satunya makanan kami sehari-hari,” katanya.
Selama hampir dua tahun, keberanian mereka menyatukan lingkungan itu, tetapi menjelang pertengahan tahun ini, pengepungan semakin ketat. RSF menduduki area-area kunci, memblokir rute pasokan, dan mengubah rumah sakit menjadi zona militer.
Ketika para relawan sendiri menjadi sasaran, orang-orang seperti Mouawia mulai melihat tidak ada pilihan selain pergi.