Menteri Indo-Pasifik Inggris Seema Malhotra membela proposal imigrasi pemerintahannya selama kunjungan ke India, sambil menyatakan keprihatinan atas meningkatnya jumlah pelajar asing yang mengajukan suaka setelah menyelesaikan studi mereka.
Berdasarkan rencana baru ini, beberapa migran kemungkinan harus menunggu hingga 20 tahun sebelum dapat menetap permanen di Inggris. Masa kualifikasi untuk izin tinggal tetap akan diperpanjang dari lima menjadi sepuluh tahun.
Proposal ini akan berlaku untuk sekitar 2,6 juta orang yang tiba di negara tersebut sejak 2021. Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk beberapa anggota parlemen dari Partai Buruh, meskipun Partai Konservatif menyambutnya dengan hati-hati.
Menurut Malhotra, reformasi ini “sejalan dengan yang dilakukan negara-negara di seluruh dunia” untuk menghentikan penyalahgunaan sistem imigrasi mereka. Ia menambahkan bahwa ada “pesan yang sangat kuat yang juga kami sampaikan, yakni kami tetap menyambut mereka yang datang secara legal”.
Menurut data Malhotra, sekitar 16.000 pelajar internasional dari berbagai penjuru dunia mengajukan suaka di Inggris tahun lalu setelah menyelesaikan kursus mereka. Hal ini disebutkannya sebagai bukti adanya penyalahgunaan rute migrasi legal.
Data terbaru Kantor Dalam Negeri menunjukkan tambahan 14.800 pelajar mengajukan suaka pada tahun ini hingga Juni 2025. Tidak jelas berapa banyak di antaranya yang merupakan warga negara India.
“Kami telah melihat penyalahgunaan visa dalam kasus rute legal, di mana orang-orang pergi secara legal dan kemudian berusaha tinggal lebih lama ketika visa mereka tidak diperpanjang,” ujar Malhotra.
“Jika Anda melihat tingkat penyalahgunaan seperti itu, hal itu merusak sistem imigrasi Anda. Ini merusak kepercayaan publik, serta keadilan dan kontrol yang diharapkan masyarakat.”
India tetap menjadi salah satu sumber utama pelajar internasional bagi Inggris, namun permintaannya mulai meredup.
Jumlah pelajar India yang berangkat ke Inggris telah turun 11% dari tahun lalu seiring dengan diterapkannya aturan imigrasi yang lebih ketat. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan universitas-universitas Inggris yang mengandalkan mahasiswa asing dan tengah mengalami tekanan keuangan.
Berdasarkan Migration Observatory di Universitas Oxford, India merupakan negara asal teratas bagi pelajar asing di Inggris pada 2023-2024, menyumbang 25% dari kedatangan. China menyusul di posisi kedua dengan 23%, sementara Nigeria menyumbang 8%.
Malhotra menyatakan bahwa meskipun Inggris tetap “sangat menyambut” pelajar India, pemerintahannya bekerja sama dengan universitas untuk memastikan bahwa mereka adalah pelajar asing yang sesungguhnya.
Ia mengatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Inggris dan India yang baru saja disepakati juga telah mendorong universitas-universitas Inggris untuk membuka kampus lokal di India. Universitas Liverpool mengumumkan akan membuka kampus di kota Bengaluru pada 2026 pekan lalu.
FTA yang ditandatangani pada Juli setelah bertahun-tahun negosiasi diprediksi akan meningkatkan PDB Inggris sebesar £4,8 miliar per tahun dan memperluas perdagangan bilateral antara kedua negara sebesar £25,5 miliar.
Sebagai bagian dari bab pendidikan dalam kesepakatan tersebut, sembilan universitas Inggris telah disetujui untuk mendirikan kampus di seluruh India.
Namun, ambisi perdagangan yang lebih luas ini menghadapi iklim politik domestik yang telah mengeras seputar migrasi.
Selama kunjungannya ke India pada bulan Oktober, Sir Keir Starmer mengatakan bahwa Inggris tidak akan melonggarkan aturan visa bagi warga negara India meskipun Delhi telah lama mendorong mobilitas yang lebih mudah sebagai imbalan atas konsesi perdagangan.
Malhotra menolak gagasan bahwa Inggris menginginkan perdagangan yang lebih mendalam sambil menutup pintu bagi profesional India. Ia mengutip pemberian hampir setengah juta visa kepada warga negara India tahun lalu di berbagai kategori kerja, studi, dan kunjungan.
Malhotra mengatakan Inggris bergerak menuju sistem imigrasi berbasis kontribusi, dimana penetapan dan tinggal jangka panjang bergantung pada kontribusi ekonomi seseorang daripada lamanya mereka tinggal di negara tersebut.
Proposal pemerintah untuk membongkar sistem imigrasi Inggris merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menunjukkan kontrol yang lebih kuat atas perbatasan. Namun, hal ini menuai kritik dari beberapa anggota parlemen Partai Buruh dan anggota House of Lords, terutama mengenai dampak potensialnya terhadap rekrutmen internasional di sektor seperti kesehatan dan perawatan sosial.
Sementara reformasi masih dalam tahap konsultasi, Malhotra, ketika ditanya tentang rute penetapan bagi profesional migran seperti perawat dan pekerja perawatan, mengatakan, “kami memperluas rute bagi mereka yang memiliki keterampilan di bidang yang dibutuhkan Inggris”.
Sebuah survei oleh Royal College of Nursing (RCN) telah memperingatkan bahwa hingga 50.000 perawat bisa meninggalkan Inggris jika pemerintah melanjutkan proposal imigrasinya.
Laporan itu mencatat bahwa Inggris kini memiliki lebih dari 200.000 staf perawat yang dididik secara internasional, yang merupakan sekitar 25% dari total tenaga keperawatan negara tersebut yang berjumlah 794.000.
Sejumlah signifikan dari perawat dan pekerja perawatan ini berasal dari India. Beberapa investigasi, termasuk oleh BBC, menunjukkan bahwa banyak dari mereka telah menjadi korban penipuan visa lintas batas dan kehilangan ratusan ribu pound.
Namun Malhotra mengatakan Inggris meningkatkan upaya untuk melindungi orang-orang dari eksploitasi semacam itu dan bekerja sama dengan lembaga penegak hukum negara-negara seperti India untuk berbagi intelijen dan memberantas geng-geng tersebut.
Ikuti BBC News India di Instagram, YouTube, Twitter dan Facebook.