Leyla Khodabakhshi
Washington DC
Foto yang dikirimkan
Aubrey (kiri) dan istrinya berencana meninggalkan New York untuk Costa Rica pada bulan Januari.
Aubrey dan istrinya sedang mempersiapkan diri untuk meninggalkan Amerika Serikat menuju Costa Rica pada Januari mendatang—sebuah keputusan yang tidak mereka ambil dengan mudah, setelah membangun kehidupan sebagai pemilik rumah di New York bagian utara.
Aubrey mengungkapkan, bulan-bulan kekhawatiran mengenai iklim politik di Amerika Serikat—mulai dari perdebatan tentang hak-hak LGBTQ hingga kekhawatiran akan keamanan dasar—pada akhirnya mendorong mereka membuat rencana untuk pergi.
“Kami sangat khawatir tentang legalitas hubungan kami dan nada umum keamanan, tidak hanya sebagai anggota komunitas LGBTQ tetapi juga sebagai perempuan seutuhnya,” ujarnya.
Kisah Aubrey jauh dari unik, menurut sebuah survei yang menjadi berita utama awal bulan ini. Data baru dari firma analitik AS, Gallup, menunjukkan 40% perempuan Amerika berusia 15 hingga 44 tahun mengatakan mereka akan pindah ke luar negeri secara permanen jika ada kesempatan—angka itu empat kali lebih tinggi dibandingkan satu dekade lalu. Kenaikan ini juga menciptakan kesenjangan gender terbesar dalam aspirasi migrasi yang pernah dicatat Gallup, dengan hanya 19% pria berusia muda yang menyatakan keinginan untuk meninggalkan AS.
Angka-angka ini lebih mencerminkan aspirasi daripada niat yang konkret, namun tampaknya menyoroti semakin banyaknya perempuan Amerika muda yang menilai ulang di mana mereka memandang masa depan mereka.
Meskipun keputusan Aubrey mengkristal dalam beberapa bulan terakhir, di bawah kepresidenan Trump, tren ini telah terlihat selama bertahun-tahun—dimulai pada akhir pemerintahan Obama, menurut Gallup. Tekanan terhadap perempuan telah menumpuk dari kiri dan kanan, kata Nadia E Brown, profesor pemerintahan dan ketua studi perempuan dan gender di Georgetown University.
“Ini bukan sekadar politik partisan,” kata Profesor Brown. “Perempuan merasa terjepit di antara ekspektasi dari kedua sisi—peran tradisional yang dipromosikan kalangan konservatif, dan tekanan kehidupan kerja progresif. Kedua jalan itu tidak menjamin otonomi atau martabat, dan itu membuat perempuan mempertimbangkan alternatif seperti pindah ke luar negeri.”
Alasan ekonomi seperti pinjaman mahasiswa, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, dan biaya kepemilikan rumah juga merupakan faktor yang membentuk keputusan perempuan muda untuk membangun hidup di negara lain, tambahnya.
Sebuah survei terkini dari The Harris Poll—sebuah firma riset pasar AS—menunjukkan 40% warga Amerika pernah mempertimbangkan pindah ke luar negeri, dengan banyak yang menyebut biaya hidup yang lebih rendah sebagai alasan utama. Kelompok demografis terbesar yang memikirkan untuk pindah adalah Gen Z dan Milenial.
‘Tidak ada keseimbangan kerja-hidup yang kuat di AS’
Foto yang dikirimkan
Kaitlin di Portugal, tempat ia membangun kehidupan baru setelah meninggalkan AS empat tahun lalu.
Kaitlin (31), yang pindah dari AS ke Portugal empat tahun lalu, mengatakan tidak ada satu alasan besar mengapa ia memutuskan pindah, namun ia merasa terdorong untuk meninggalkan pekerjaan rutinnya dan menjelajahi kehidupan baru di tempat lain.
“Saya bekerja dari pukul 9 hingga 5 di Los Angeles, dan setiap hari terasa persis sama. Tidak ada keseimbangan kerja-hidup yang kuat di AS. Saya ingin tinggal di suatu tempat dengan ritme yang berbeda, budaya berbeda, dan mempelajari bahasa baru.”
Ia kini tinggal di Lisbon, bekerja jarak jauh sebagai freelancer, dan mengatakan biaya hidup yang lebih rendah serta budaya sosial yang kuat membuatnya merasa “lebih seperti manusia utuh lagi”.
“Saya tidak bisa membayangkan untuk kembali ke AS,” katanya.
‘Hak-hak perempuan dicabut secara real time’
Foto yang dikirimkan
Alyssa di Uruguay, tempat ia pindah awal tahun ini setelah meninggalkan Florida.
Terlepas dari sifat non-politik dari keputusan yang dibuat orang-orang seperti Kaitlin, sebuah perpecahan gender yang jelas muncul pada tahun 2017, di mana mereka yang tidak menyetujui kepresidenan Trump jauh lebih mungkin ingin pergi, menurut data Gallup yang didasarkan pada 1.000 wawancara.
Meskipun terjadi sedikit penurunan skor perempuan pada tahun pertama Trump menjabat dibandingkan dengan tahun terakhir Biden menjabat, kesenjangan tersebut telah mencapai level terlebarnya.
Bagi Alyssa, seorang ibu berusia 34 tahun yang pindah dari AS ke Uruguay awal tahun ini, keputusan untuk pergi bukan hanya tentang gaya hidup—itu adalah respons terhadap tekanan politik dan sosial yang terasa langsung dan personal.
Ia pertama kali serius memikirkan untuk pergi tiga tahun lalu, setelah Mahkamah Agung AS membatalkan putusan Roe v Wade—yang mengakhiri hak konstitusional aborsi di AS—tetapi baru melakukan perpindahan tersebut pada awal 2025.
“Saya memiliki anak dan tidak berencana punya lagi, tetapi meningkatnya pengaturan atas tubuh perempuan membuat saya takut. Saya merasa hak-hak perempuan sedang dicabut secara *real time*,” jelasnya.
Sebagai seorang Latina, ia merasa tidak aman karena retorika seputar imigrasi di AS, bahkan sebagai warga negara AS. “Saya sungguh takut akan ditahan di depan anak-anak saya,” ujarnya.
“Kami tinggal di Florida, dan kehidupan di sana sudah terasa terbelakang. Namun begitu Trump kembali menjabat, kami tahu kami tidak akan mengalaminya untuk kedua kalinya,” katanya.
“Butuh waktu sekitar delapan bulan. Kami menjual segala sesuatu, mengepak barang untuk dua anak, dan mengatur semua logistik keluarga,” kenangnya.
Kepercayaan terhadap institusi utama AS merosot
Isu lain di mana perpecahan gender tampaknya semakin melebar adalah masalah kepercayaan warga Amerika terhadap institusi.
Ini juga telah tenggelam ke titik terendah sepanjang masa, menurut data dari Gallup. Hanya 26% warga Amerika yang mengatakan mereka mempercayai kepresidenan, 14% mempercayai Kongres, dan kurang dari separuh yang menyatakan kepercayaan terhadap pengadilan.
Namun penurunannya sangat tajam di kalangan perempuan muda.
Pada tahun 2015, perempuan berusia 15 hingga 44 tahun mencetak skor rata-rata 57 pada Indeks Institusi Nasional Gallup—sebuah ukuran kepercayaan penduduk suatu negara terhadap institusi nasional.
Skor perempuan muda telah turun 17 poin sejak saat itu—penurunan ter tajam dari semua kelompok demografis. Kepercayaan menurun selama pemerintahan Trump maupun Biden.
Beberapa perempuan juga mempertimbangkan kekhawatiran praktis seperti layanan kesehatan, dan iklim—faktor-faktor yang dapat menjadi penentu saat mempertimbangkan pindah ke luar negeri.
Marina berencana meninggalkan AS untuk Portugal pada Mei depan bersama pacarnya. “Layanan kesehatan yang bukan merupakan hak asasi manusia di negara ini adalah bagian besar dari alasan kami pergi.”
“Kami juga ingin tinggal di tempat di mana kekerasan senjata kecil kemungkinannya,” ujarnya, menyebut masalah yang telah berusia puluhan tahun di Amerika. “Di Portugal jauh lebih sulit mendapatkan senjata—itu saja sudah membuat hidup terasa lebih aman.”
Bagi Marina dan pacarnya, tantangan di dalam negeri membuat keputusan untuk meninggalkan AS lebih mendesak—termasuk mimpi buruk rumahnya yang kebanjiran selama cuaca ekstrem yang semakin sering, masalah lain yang telah mengintensif dalam beberapa dekade terakhir.
“Kami lelah dengan iklim di sini—menjadi panas yang tak tertahankan, dan terasa seperti ada bencana alam setiap tahun sekarang.”
Kekhawatirannya mencerminkan campuran tekanan ekonomi, lingkungan, dan keamanan yang lebih luas yang menarik perempuan muda ke Eropa dan tempat lainnya.
Tren global
Perempuan Amerika muda sebelumnya cenderung kurang melihat masa depan mereka di luar negeri dibandingkan dengan perempuan di ekonomi maju lainnya, menurut dokumentasi Gallup, sebuah tren yang berbalik sejak akhir 2000-an dan awal 2010-an.
Tetapi Profesor Brown mengatakan ini “bukan hanya masalah AS”.
“Perempuan di banyak negara menghadapi tantangan serupa. AS kebetulan menjadi salah satu tempat di mana tekanan ini terlihat sangat jelas dan akut,” ujarnya.
Akses kepada subsidi untuk pengasuhan anak dan layanan kesehatan, yang lebih umum di Eropa, dapat mempengaruhi keputusan seorang perempuan Amerika untuk pindah ke luar negeri.
“Orang tidak menyadari betapa tertinggalnya AS dalam hal perawatan maternal, cuti orang tua, dan layanan kesehatan,” kata Alyssa, “sampai mereka meninggalkan negara itu.”