Versi C2 Bahasa Indonesia (dengan beberapa kesalahan/typo):
Area paling tenang di seluruh rumah sakit adalah sebuah pelataran kecil di tengahnya, tempat pasien-pasien beristirahat di bangku-bangku di bawah pagoda kayu. Di dekatnya, ada lintasan rintangan kecil nan warna-warni yang membantu para penyintas memulihkan mobilitas mereka setelah operasi dan perawatan intensif lainnya.
Di sanalah kami bertemu Alexandro yang berusia empat tahun dan ibunya, Youseline Philisma.
Alexandro baru berusia satu bulan ketika sebuah kelompok bersenjata membakar kamp pengungsian tempat mereka tinggal. Ia diselamatkan dari kobaran api, hidup tapi menderita luka bakar parah.
Sejak itu, Youseline rutin membawanya ke unit luka bakar di Tabarre — satu-satunya yang tersisa di negeri itu.
“Ketika aku datang ke rumah sakit, ini seperti dunia lain. Semua orang mengerti anakku. Semua memberi kami banyak kasih sayang,” katanya pada kami.
Alexandro akan membutuhkan perawatan unit luka bakar seumur hidupnya. Dokter bedah Donald Jacques Severe termasuk salah satu yang merawatnya.
Severe bisa meninggalkan negri ini. Istrinya dan anak-anaknya sudah melakukannya, berangkat ke Amerika Serikat empat tahun lalu. Para pejuang bersenjata pernah menguasai rumah mereka. Severe sendiri punya visa untuk tinggal di Kanada. Tapi hingga kini, ia belum pergi.
Rekannya sesama dokter bedah, Xavier Kernizan, mencoba menjelaskan rasa tanggung jawab yang ia dan Severe miliki.
“Kami tahu jika kami tidak ada di sini, seseorang akan kesulitan,” ujar Kernizan.
“Secara pribadi, kami hampir kelelahan. Kadang hampir depresi. Tapi ada juga perasaan puas karena telah membantu memperbaiki hidup seseorang, memberi sedikit harapan di saat tergelap mereka.”
Tapi jika situasi keamanan terus memburuk, tidak mungkin tahu apakah Rumah Sakit Tabarre akan bertahan.
Pada 11 April, tim dokumenterku dan aku keluar dari gerbang rumah sakit untuk pertama kalinya dalam seminggu. Kami menuju Petion-Ville, salah satu dari sedikit tempat di Port-au-Prince yang masih dikendalikan pemerintah.
Di sana, kami melintasi lapangan sepak bola dekat Hotel Karibe, tempat helikopter dari World Food Programme menjemput penumpang. Saat ini, itu satu-satunya jalan keluar dari ibu kota.
Kami naik ke helikopter, baling-balingnya mulai berputar, dan ibu kota Haiti perlahan mengecil saat kami terbang tinggi, melayang di atas gelembung kekerasan di bawah. Aku ingat merasa lega.
Staf rumah sakit tetap tinggal. Mereka tak berniat pergi.