Washington, DC – Setelah mengucapkan sumpah jabatan untuk masa jabatan keduanya pada Januari lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan akan berupaya untuk "menghentikan semua perang" dan meninggalkan warisan sebagai "pembawa perdamaian dan pemersatu".
Namun, enam bulan kemudian, rudal-rudal melintas di Timur Tengah setelah Israel menyerang Iran, memicu risiko perang regional skala besar yang bisa menyeret pasukan AS ke dalam konflik.
Serangan Israel terhadap Iran, yang didukung secara implisit oleh Trump, kini menguji janji presiden untuk menjadi pembawa perdamaian.
Hal ini juga memecah belah basis pendukungnya, dengan banyak politisi dan komentator sayap kanan menegaskan bahwa dukungan tak bersyarat bagi Israel bertentangan dengan platform "America First" yang menjadi landasan kemenangan Trump.
"Ada perasaan dikhianati dan kemarahan yang kuat di kalangan basis ‘America First’ karena mereka benar-benar menentang gagasan AS terlibat atau mendukung perang semacam ini," kata Trita Parsi, Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute, sebuah lembaga think tank AS yang mendorong diplomasi.
"Mereka telah menjadi skeptis terhadap Israel, dan sangat percaya bahwa perang semacam inilah yang menyebabkan masa kepresidenan Partai Republik gagal—dan mengorbankan agenda domestik mereka yang lebih luas."
‘Lepaskan Israel’
Sejumlah konservatif mempertanyakan serangan Israel pada Jumat lalu, memperingatkan bahwa AS tidak boleh terseret ke dalam perang yang tidak menguntungkan kepentingannya.
Komentator konservatif berpengaruh Tucker Carlson—yang dianggap sebagai tokoh penting dalam gerakan Make America Great Again (MAGA) Trump—menyatakan AS tidak boleh mendukung "pemerintah yang haus perang" pimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Jika Israel ingin melancarkan perang ini, mereka berhak melakukannya. Itu negara berdaulat, dan bisa bertindak sesuai kehendaknya. Tapi bukan dengan dukungan AS," tulis buletin pagi Tucker Carlson Network pada Jumat.
Ditambahkan bahwa perang dengan Iran bisa "memicu generasi terorisme berikutnya" atau mengakibatkan kematian ribuan orang Amerika demi kepentingan asing.
"Sudah jelas bahwa kedua kemungkinan itu tidak menguntungkan AS," lanjut buletin tersebut. "Tapi ada pilihan lain: lepaskan Israel. Biarkan mereka berperang sendiri."
Senator Republik Rand Paul juga mengingatkan bahaya perang dengan Iran dan mengkritik kaum neokonservatif pro-perang di Washington.
"Rakyat Amerika sangat menentang perang tanpa akhir kami, dan mereka menyuarakannya saat memilih Donald Trump pada 2024," tulis Paul dalam unggahan media sosial.
"Saya mendesak Presiden Trump untuk tetap pada jalurnya, terus mendahulukan Amerika, dan tidak ikut campur dalam perang antar negara lain."
Anggota Kongres sayap kanan Marjorie Taylor Greene juga mengirim pesan yang mengisyaratkan penolakannya terhadap serangan ini. Sebelumnya, ia memperingatkan Trump agar tidak menyerang Iran hanya berdasarkan klaim Israel bahwa Teheran sedang mengembangkan senjata nuklir.
"Aku berdoa untuk perdamaian. Damai," tulisnya di X. "Itu posisi resmiku."
Sementara banyak pendukung Israel mengutip ancaman Iran bersenjata nuklir, pemerintah Teheran sejak lama membantah mengejar senjata tersebut. Kepala intelijen Trump sendiri, Tulsi Gabbard, memberi kesaksian pada Maret bahwa AS "tetap menilai Iran tidak membangun senjata nuklir".
Charlie Kirk, aktivis dan komentator Republik yang mendukung Israel, juga menyuarakan keraguan akan keterlibatan dalam perang dengan Iran.
"Jelas-jelas, basis MAGA kami sama sekali tidak menginginkan perang," kata Kirk dalam podcastnya. "Mereka tidak mau AS terlibat. Mereka tidak ingin Amerika terjebak dalam hal ini."
Serangan Israel
Beberapa jam sebelum Israel membombardir Iran pada Jumat—menarget pangkalan militer, fasilitas nuklir, dan bangunan residensial—Trump menyatakan bahwa pemerintahannya berkomitmen pada diplomasi dengan Teheran.
"Sederhana, tidak rumit. Iran tidak boleh punya senjata nuklir. Selain itu, aku ingin mereka sukses. Kami akan bantu mereka sukses," kata Trump dalam konferensi pers Kamis lalu.
Putaran keenam perundingan denuklirisasi antara pejabat AS dan Iran rencananya digelar di Oman pada Minggu.
Namun, pada Jumat, Trump mengaku telah mengetahui serangan Israel sebelumnya. Ia tidak menyatakan pernah memveto serangan, meski Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyebut tindakan Israel sebagai "unilateral".
Alih-alih, Trump menyalahkan Iran, menyebut pejabatnya seharusnya mendengarkan seruannya untuk mencapai kesepakatan pembongkaran program nuklir.
"Sudah kukatakan pada mereka akibatnya akan jauh lebih buruk dari yang mereka tahu, duga, atau diberitahu, bahwa AS punya peralatan militer terbaik dan paling mematikan di dunia, JAUH lebih unggul, dan Israel punya banyak darinya, dengan lebih banyak lagi yang akan datang," tulis Trump dalam unggahan media sosial.
Parsi mengatakan, awalnya Trump ingin mencapai kesepakatan dengan Iran, tapi tuntutannya agar Teheran menghentikan pengayaan uranium membuat perundingan mandek.
"Daripada melanjutkan negosiasi secara wajar, ia mengadopsi tujuan nihil pengayaan, yang pasti berujung kebuntuan—dan dimanfaatkan Israel untuk mendorong serangan militer dan eskalasi," ujarnya kepada Al Jazeera.
Parsi menambahkan bahwa Trump menipu publik pekan lalu dengan mendorong diplomasi sambil tahu serangan Israel akan terjadi.
"Trump sengaja menyatakan dukungan pada diplomasi, pada tidak dilakukannya serangan Israel, membuat semua orang berpikir bahwa jika ada serangan, itu akan terjadi setelah enam putaran perundingan pada Minggu," paparnya. "Sebaliknya, itu terjadi lebih cepat."
—
Basis ‘America First’
Meskipun serangan Israel menuai kritik di Kongres, banyak kalangan Partai Republik dan Demokrat menyambutnya dengan sorak-sorai.
Namun, inti dari basis pendukung Trump adalah kelompok sayap kanan yang meragukan dukungan tanpa syarat AS untuk Israel.
“Mereka benar-benar mewakili konstituen kuat dalam Partai Republik, terutama di kalangan generasi muda,” kata Jon Hoffman, peneliti kebijakan pertahanan dan luar negeri di Cato Institute, lembaga think tank libertarian.
Hoffman mengacu pada survei terbaru Pew Research Center yang menunjukkan 50% Republikan di bawah usia 50 tahun memandang Israel secara negatif.
“Di antara pemilih sendiri, rakyat Amerika sudah muak dengan perang tanpa akhir ini,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Para pendukung kebijakan luar negeri yang pro-intervensi militer mendominasi Partai Republik semasa kepresidenan George W. Bush, yang melancarkan invasi ke Irak dan Afghanistan setelah serangan 11 September 2001.
Namun, dua konflik itu terbukti menjadi bencana. Ribuan tentara AS tewas, dan lebih banyak lagi mengalami luka fisik dan trauma psikologis. Kritikus juga mempertanyakan apakah perang itu menguntungkan kepentingan AS di kawasan—atau malah merugikan.
Proyek nation-building di Irak, misalnya, justru melahirkan pemerintahan yang bersahabat dengan Iran dan munculnya kelompok-kelompok yang dianggap ancaman keamanan global, termasuk ISIL (ISIS).
Sementara di Afghanistan, Taliban kembali berkuasa pada 2021, hampir tepat dua dekade setelah digulingkan oleh pasukan AS. Pemerintah Afghanistan yang didukung AS runtuh dengan cepat begitu pasukan Amerika ditarik.
Dalam kampanye pemilihannya kembali di 2024, Trump menyasar kemarahan akibat dua konflik tersebut. Berkali-kali ia menggambarkan skenario alternatif di mana, seandainya ia presiden, keruntuhan pemerintahan Afghanistan takkan pernah terjadi.
“Kita takkan mengalami situasi mengerikan di Afghanistan, momen paling memalukan dalam sejarah negara kita,” kata Trump dalam sebuah rapat umum di Detroit, Oktober 2024.
Trump juga menyerang saingannya dari Demokrat, Kamala Harris, karena aliansinya dengan Dick Cheney—Wakil Presiden era Bush—dan putrinya, Liz Cheney, yang ia sebut “elang perang”.
“Kamala berkampanye bersama Liz Cheney, pencinta perang yang benci Muslim, yang ingin menyerang hampir semua negara Muslim di planet ini,” ujar Trump di Novi, Michigan. Ia menambahkan bahwa Dick Cheney “bertanggung jawab atas invasi ke Timur Tengah” dan “membunuh jutaan orang”.
Tapi kritikus mengatakan sikap Trump terhadap serangan Israel ke Iran berisiko menjerumuskannya ke dalam konflik Timur Tengah sendiri.
Hoffman, misalnya, menyinggung kedekatan hubungan AS-Israel dan kerasnya tekanan dari pejabat Partai Republik yang selama puluhan tahun mendorong konflik dengan Iran, seperti Senator Lindsey Graham.
“Ada risiko besar AS terseret ke perang ini,” kata Hoffman.