Gulungan kawat pisau kini membentang di tengah desa yang disebut Kamboja sebagai Chouk Chey, dan terus merambat melintasi ladang-ladang tebu.
Di belakangnya, persis di seberang perbatasan, layar-layar hitam tinggi menjulang dari tanah, menyembunyikan prajurit Thailand yang memasangnya.
Inilah perbatasan baru yang keras antara kedua negara, yang dahulunya terbuka dan mudah dilintasi oleh masyarakat dari kedua belah pihak.
Kemudian, pada pukul 15:20 waktu setempat tanggal 13 Agustus, segalanya berubah.
“Prajurit Thailand datang dan meminta kami pergi,” kata Huis Malis. “Lalu mereka menggelar kawat pisau. Saya bertanya apakah saya boleh kembali untuk mengambil panci masak saya. Mereka hanya memberi saya waktu 20 menit.”
Keluarganya adalah satu dari 13 keluarga yang terputus dari rumah dan ladang mereka di seberang kawat, di mana mereka mengklaim telah hidup dan bekerja selama beberapa dekade.
Pihak berwenang Thailand kini telah memasang papan-papan peringatan yang menyatakan bahwa warga Kamboja telah melakukan pelanggaran wilayah ilegal ke dalam teritori Thailand.
Di Chouk Chey, mereka berargumen bahwa perbatasan semestinya berjalan lurus di antara dua patok batas batu yang disepakati dan dipasang lebih dari seabad silam.
Thailand menyatakan bahwa mereka hanya mengamankan wilayahnya, mengingat keadaan konflik yang sedang terjadi dengan Kamboja. Itu bukanlah cara pandang Kamboja.
Ketegangan berbulan-bulan di sepanjang bagian perbatasan yang disengketakan memuncak menjadi konflik terbuka pada bulan Juli, menewaskan sekitar 40 orang. Sejak itu, gencatan senjata yang rapuh tetap bertahan, meskipun perang kata-kata, yang dipicu sentimen nasionalis di media sosial, membuat kedua pihak terus waspada.
BBC telah mengunjungi area-area perbatasan Kamboja, bertemu dengan warga yang terjebak di tengah konflik, dan menyaksikan sebagian kerusakan yang ditinggalkan oleh lima hari penembakan dan pemboman.
Kawat pisau membelah sebuah desa di Kamboja – sebuah penanda perbatasan baru yang tidak ada sebulan lalu. [BBC/Lulu Luo]
Di Chouk Chey, Gubernur Provinsi Oum Reatrey mengeluhkan dampak ekonomi dari tindakan Thailand terhadap komunitas tersebut. Dia memperkirakan mereka kehilangan pendapatan bea cukai satu juta dolar per hari akibat penutupan perbatasan.
Belum ada yang dapat memperkirakan besarnya biaya yang telah ditimbulkan oleh konflik antara Kamboja dan Thailand, namun pastilah jumlahnya sangat tinggi.
Perdagangan tahunan bernilai miliaran dolar telah melambat hingga tinggal tetesan. Ratusan ribu pekerja Kamboja telah meninggalkan Thailand, dan wisatawan Thailand telah berhenti berkunjung ke seberang. Terminal bandara baru hasil pembangunan Tiongkok di Siem Reap, gerbang menuju kompleks kuil Angkor Wat yang termasyhur, terlihat sepi.
Kami juga ditunjukkan rekaman video warga yang frustasi yang pada suatu kesempatan merobohkan kawat pisau di hadapan prajurit Thailand.
Sang gubernur mengatakan mereka kini diperintahkan untuk menghindari konfrontasi, namun kemarahan kembali meluap dalam konfrontasi lain dengan pasukan Thailand pada tanggal 4 September.
Para warga desa ini menyatakan prajurit Thailand memaksa mereka meninggalkan rumah mereka di dekat perbatasan [BBC/Lulu Luo]
Di Kamboja utara, terdapat dampak-dampak nyata lain dari perang.
Kuil Preah Vihear, yang terletak di puncak tebing berhutan persis di sebelah perbatasan, berada di pusat sengketa antara kedua negara, serta narasi historis yang masing-masing suka dikisahkan tentang diri mereka.
Nasionalis Thailand masih sulit menerima putusan Mahkamah Internasional tahun 1962 yang mengakui kuil tersebut sebagai wilayah Kamboja karena pemerintah Thailand sebelumnya gagal menentang peta yang digambar Prancis yang menempatkannya di sana. Namun, MIJ tidak memutuskan mengenai area-area perbatasan lain yang disengketakan, sehingga meninggalkan bibit konflik hari ini.
Akses menuju kuil megah berusia 1.000 tahun itu selalu jauh lebih mudah dari sisi Thailand. Kendaraan roda empat kami bersusah payah mendaki jalan curam yang dibangun orang Kamboja untuk menanjak tebing.
Begitu masuk ke dalam kompleks kuil, terlihat jelas bahwa tempat itu menderita dalam pertukaran tembakan artileri akhir Juli: dua tangga batu kuno telah hancur, sementara bagian lain kuil tersebut pecah atau rusak akibat tembakan peluru, dinding-dindingnya berlubang oleh serpihan peluru, dengan puluhan kawah berisi air hujan di tanah.
Pihak Kamboja menyatakan mereka telah mencatat lebih dari 140 lokasi ledakan di dalam dan sekitar kompleks, yang mereka klaim berasal dari pemboman Thailand pada tanggal 24 dan 25 Juli.
Tangga-tangga di kuil Preah Vihear kuno mengalami kerusakan [BBC/Jonathan Head]
Pejabat dari Pusat Aksi Ranjau Kamboja juga menunjukkan munisi cluster yang tidak meledak, senjata yang dilarang di banyak bagian dunia namun telah diakui penggunaannya oleh militer Thailand.
Militer Thailand membantah menembaki kuil tersebut, yang diakui oleh Unesco sebagai Situs Warisan Dunia.
Mereka menuduh Kamboja menempatkan prajurit dan senjata di dalam kuil selama pertempuran, meskipun kami tidak melihat bukti hal tersebut, dan sulit dibayangkan bagaimana membawa senjata besar menaiki jalan curam dan masuk ke dalam kompleks kuil.
Kedua negara kini menggunakan isu-isu seperti ini untuk mencoba membangkitkan simpati internasional.
Kamboja telah mengadukan kerusakan pada Preah Vihear ke Unesco, dan menyebut 18 prajuritnya yang ditangkap tepat setelah gencatan senjata berlaku sebagai sandera.
Thailand telah menunjukkan bukti bahwa pasukan Kamboja masih memasang ranjau darat di sepanjang perbatasan, melukai banyak prajurit Thailand, yang mereka argumentasikan menunjukkan itikad buruk dalam komitmen menghormati gencatan senjata.
Namun, semua pejabat Kamboja yang kami temui menekankan keinginan mereka untuk mengakhiri konflik dan memulihkan hubungan dengan tetangga yang lebih besar tersebut.
Di balik ini, sebenarnya terdapat suatu kecemasan lain yg merasuki sejarah Kamboja: yakni perasaan sebagai negara yang lebih kecil yang dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang lebih kuat.
Kedua belah pihak sama-sama menderita akibat penutupan perbatasan, namun kemungkinan besar Kamboja, yang jauh lebih miskin daripada Thailand, menderita lebih parah.
“Kamu tidak bisa menyuruh seekor semut untuk melawan seekor gajah,” ujar Suos Yara, juru bicara partai penguasa Partai Rakyat Kamboja. “Kita harus menerima bahwa kita adalah negara kecil, tidak besar seperti gajah. Jadi, bagaimana mungkin negara yang lebih kecil yang memicu masalah ini?”
Tapi itulah persisnya yang dituduhkan Thailand kepada pemerintah Kamboja. Penelitian independen oleh Australian Strategic Policy Institute menunjukkan suatu pola penguatan militer di sepanjang perbatasan berbulan-bulan sebelum pertempuran skala penuh pecah pada bulan Juli, sebagian besar dilakukan oleh pasukan Kamboja.
Kemudian pada bulan Juni, mantan Perdana Menteri Hun Sen, yang masih menjadi figur paling berpengaruh di Kamboja, membocorkan percakapannya dengan Perdana Menteri Thailand saat itu, Paetongtarn Shinawatra, di mana dia terlihat menawarkan konsesi kepadanya dan mengkritik militer negaranya sendiri.
Rasa malu yang ditimbulkan oleh hal ini mengakibatkan Pengadilan Konstitusi Thailand menangguhkan, dan kemudian memecatnya.
Thailand menggambarkan ini sebagai kali pertama seorang pemimpin anggota ASEAN (blok Asia Tenggara yang diikuti oleh kedua negara) melakukan intervensi untuk menyebabkan krisis politik di negara tetangga.
Hal itu tak terbantahkan telah menyulut konflik, membuat semakin sulit bagi pemerintah Thailand manapun sekarang untuk mengambil posisi yang mendamaikan mengenai perbatasan.
Sulit diketahui mengapa politisi yang licik dan berpengalaman seperti Hun Sen memilih untuk menghancurkan persahabatan lamanya dengan keluarga Shinawatra dan memicu ketegangan perbatasan. Pemerintah Kamboja tampaknya tidak siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kebocoran tersebut.
“Masalah kebocoran itu hanya isu kecil, dibandingkan dengan apa yang terjadi di Bangkok, dengan faksi-faksi yang bersaing berusaha merebut kekuasaan dalam pemerintahan,” argumen Suos Yara, yang menyalahkan militer Thailand karena menggunakan konflik untuk meningkatkan pengaruhnya sendiri.
Sebagai gantinya, ia mengulangi seruan lama Kamboja agar Thailand menerima peta Prancis yang dipersengketakan dan intervensi dari ICJ.
Sementara para politisi dan pejabat terus berseteru, banyak warga Kamboja yang mengungsi akibat pertempuran masih belum pulang, meskipun kondisi di kamp-kamp sementara tempat mereka dipindahkan sangat memprihatinkan.
Lima ribu keluarga tinggal di bawah terpal seadanya di kamp yang kami kunjungi, dikelilingi lumpur dan dengan sanitasi yang minim.
Dapur umum menyediakan sup kentang untuk makan malam mereka.
Di sisi Thailand, di mana kondisi di tempat penampungan jauh lebih baik, semua pengungsi telah pulang dalam hitungan hari setelah gencatan senjata.
“Pihak berwajib memberitahu kami bahwa situasinya belum aman,” kata seorang wanita di kamp Kamboja. “Karena saya tinggal dekat perbatasan, saya tidak berani pulang.”
Memang benar masih terdapat ordinance yang belum meledak yang ditinggalkan setelah lima hari penembakan.
Namun, banjir disinformasi mengenai konflik di Kamboja, yang telah memperingatkan, tanpa bukti, tentang serangan Thailand yang akan segera terjadi dan penggunaan gas racun, telah menciptakan suasana ketakutan yang juga menghentikan orang-orang untuk kembali ke rumah mereka.
Sebuah papan besar telah dipasang di sepanjang jalur utama yang melintasi kamp, bertuliskan “Kamboja butuh perdamaian – yang terakhir (final)”.
Itu adalah sentimen yang kami dengar dari semua orang yang kami ajak bicara di Kamboja.
Tetapi untuk mewujudkannya, para pemimpin, baik sipil maupun militer, di kedua negara perlu mengurangi retorika nasionalis yang tidak kompromi yang sekarang menjadi ciri perselisihan mereka.