Koalisi Sudan yang dipimpin oleh kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) mengumumkan pembentukan pemerintahan alternatif sebagai tantangan bagi otoritas yang dipimpin militer di ibukota Khartoum. Perang saudara brutal di negara Afrika timur laut ini telah memasuki tahun ketiga.
Kelompok yang menyebut dirinya Dewan Kepemimpinan Aliansi Pendiri Sudan (TASIS) menyatakan bahwa pemimpin RSF, Mohamed Hamdan "Hemedti" Dagalo, akan mengetuai dewan presiden beranggotakan 15 orang, termasuk gubernur regional.
Mohammed Hassan Osman al-Ta’ishi, seorang politikus Sudan, akan menjabat sebagai perdana menteri, menurut TASIS.
"Pada momen pencapaian bersejarah ini, dewan kepemimpinan mengucapkan salam dan selamat kepada rakyat Sudan yang telah menderita akibat perang dahsyat selama puluhan tahun," ungkap koalisi dalam sebuah pernyataan.
"TASIS juga mempertegas komitmennya untuk membangun tanah air yang inklusif, serta Sudan baru yang sekuler, demokratis, desentralisasi, dan bersatu secara sukarela—berdasarkan prinsip kebebasan, keadilan, dan kesetaraan."
Pemerintahan yang diproklamirkan sendiri ini berpotensi memperdalam perpecahan dan menciptakan institusi yang bersaing, sementara perang terus berkecamuk antara RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF).
Pada Mei lalu, tentara Sudan mengklaim telah sepenuhnya mengusir RSF dari Khartoum.
Menurut perkiraan PBB, konflik sejak April 2023 telah menewaskan puluhan ribu orang dan mengungsikan hampir 13 juta penduduk, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Beberapa bulan terakhir, kekerasan semakin meningkat di Darfur, tempat RSF mengepung kota el-Fasher, memperparah kelaparan di wilayah tersebut.
Kelompok HAM menuduh baik RSF maupun SAF melakukan pelanggaran hak asasi. Awal tahun ini, Amnesty International melaporkan bahwa pejuang RSF melakukan "kekerasan seksual meluas" terhadap perempuan dan anak perempuan untuk "menegaskan kontrol dan mengusir komunitas di seluruh negeri."
AS sebelumnya menjatuhkan sanksi kepada Hemedti, menuduh RSF melakukan "pelanggaran HAM serius" di bawah kepemimpinannya, termasuk mengeksekusi warga sipil dan menghalangi bantuan kemanusiaan.
Sudan semakin tidak stabil sejak Presiden Omar al-Bashir digulingkan tahun 2019 setelah aksi protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan.
Pada Oktober 2021, militer Sudan melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil Perdana Menteri Abdalla Hamdok, yang akhirnya mengundurkan diri awal 2022.
Panglima militer Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, dan Hemedti sempat berbagi kekuasaan setelah kudeta, tetapi mulai berebut kendali atas negara dan sumber dayanya pada April 2023.
Meski pertikaian antara al-Burhan dan Hemedti tidak bersifat ideologis, berbagai upaya mencapai resolusi damai tetap gagal.