Keluarga Dahiyeh yang Mengungsi karena Perang Kini Terjebak oleh Identitas | Serangan Israel ke Lebanon

Dahiyeh, Beirut, Lebanon – Fatima Kandeel, 43 tahun, beserta dua putranya pindah ke apartemen sewaan baru di pinggiran selatan Beirut pada Maret. Mereka sempat tinggal bersama saudara perempuannya, Aida, selama empat bulan setelah gencatan senjata antara Israel dan Lebanon menghentikan serangan terburuk—meski tidak sepenuhnya. Rasanya menyenangkan akhirnya punya tempat tinggal sendiri.

Di ruang tamu mereka yang nyaris kosong di Laylake, Dahiyeh, hanya ada dua kursi malas dan sebuah pipa shisha. Dinding-dindingnya memperjelas posisi keluarga ini: foto terbingkai Hassan Nasrallah, pemimpin Hezbollah yang telah syahid, tergantung di samping potret keponakan Fatima yang berusia 21 tahun, seorang pejuang Hezbollah tewas dalam serangan udara Israel di Jnoub bulan Oktober lalu.

Di antara reruntuhan, sisa-sisa rumah

Ketika perang Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, Hezbollah menyatakan dukungan untuk Palestina dan memicu ketegangan di perbatasan Israel-Lebanon selama setahun hingga Israel melancarkan invasi dan perang total.

Dahiyeh—yang dikenal sebagai basis kuat Hezbollah—menjadi sasaran serangan Israel berulang kali. Rumah lama keluarga ini di Hay el-Selom, hanya sepuluh menit berjalan kaki dari Laylake, hancur oleh serangan udara Israel bulan Oktober.

Namun, di awal Juni, Fatima tetap hangat dan penuh harap. Matanya yang kecokelatan masih berbinar di balik hijabnya saat ia menceritakan duka kehilangan, pengungsian, dan kesulitan. Dengan penuh semangat dan percaya diri, ia berbicara ekspresif, menggerakkan tangan seolah sedang di atas panggung.

Seperti tuan rumah Lebanon kebanyakan, ia menawarkan minuman dan mengajak makan siang sambil berbincang tentang bagaimana rasanya hidup di bawah ancaman serangan di Dahiyeh—dan apakah itu mengubah hubungannya dengan lingkungannya.

Setelah rumah mereka hancur dan mengungsi ke tempat Aida, Fatima bercerita bahwa kedua putranya, Hassan (24) dan Hussein (20), berhasil menyelamatkan dua lemari pakaian dan sebuah tempat tidur dari reruntuhan, bersama beberapa barang lainnya.

Bangga dengan kemenangan kecil itu, Fatima membuka pintu kamar untuk memamerkan dua lemari yang sudah dipulihkan hingga sulit dikira pernah terkena bom. Tempat tidur yang diselamatkan kini digunakan salah satu putranya setelah diberi bilah baru dan "kehidupan" baru.

MEMBACA  Siapa yang akan menjadi penerusnya?

"Ini perabotan paling berharga di rumah ini," katanya, mengelus permukaan lemari yang masih sedikit rusak. "Mereka bersejarah—karena selamat. Aku sangat senang bisa mengembalikannya."

Hassan dan Hussein menemukan lebih banyak lagi di reruntuhan: mainan boneka kesayangan Hassan dan beberapa buku dari koleksi ibunya.

Fatima memegang boneka itu sambil tersenyum, sementara Hussein diam-diam memperhatikan ibunya. "Dulu ia selalu tidur dengan boneka ini di sampingnya," kenang Fatima. "Aku tak bisa menyelamatkan banyak kenangan masa kecil mereka setelah perceraian, tapi boneka ini bertahan—bahkan melalui perang."

Di kamarnya, sebuah meja kecil menampung tumpukan buku tentang sejarah, agama, dan budaya—hanya sebagian kecil dari yang pernah ia miliki.

Luka, yang terlihat dan tak terlihat

Dari balkon ruang tamu, bekas perang terlihat jelas. Lantai atas gedung tetangga hancur, sementara lantai bawah masih berdiri—pengingat harian atas apa yang hilang.

Tapi Fatima tetap mencintai Dahiyeh dan bertekad bertahan. "Aku cinta orang-orang di sini," ujarnya. "Semuanya baik… Dahiyeh adalah rumah."

Hussein setuju. Ia merasa paling nyaman di Dahiyeh dengan rasa kebersamaan yang kuat dan teman-teman di sekelilingnya.

Selama perang, ia secara emosional sangat terguncang—terus stres dan kerap terlibat pertengkaran. Sudah dua terapis ia temui, tapi belum banyak kemajuan.

Berbeda dengan ibunya, Hussein terbuka untuk meninggalkan Dahiyeh, tapi ia menyadari kendala praktis: biaya sewa dan hidup di luar Dahiyeh jauh lebih tinggi—jika mereka bisa menemukan tempat sewa.

Selain itu, mereka bisa menghadapi diskriminasi sektarian jika pindah.

Saat perang Israel-Lebanon berkecamuk, keluarga ini sempat mengungsi ke Jnah, pinggiran pesisir Beirut. Fatima masih menyimpan kenangan pahit: seorang pemilik toko di Jnah pernah berkata dengan sinis, "Lihatlah orang-orang Syiah kumuh itu," saat melihat para pengungsi yang masih mengenakan sandal dan piyama.

MEMBACA  Kamis Briefing: Tekanan Bertambah untuk Biden Mengundurkan Diri

Ucapan itu meninggalkan luka, dan ia tak mau lagi meninggalkan Dahiyeh.

"Jika perang datang lagi, apa yang kau ajarkan ke generasi berikutnya?" tanyanya. "Bahwa boleh saja menyerahkan rumahmu? Atau bahwa kau harus bertahan?"

‘Kalau hanya aku sendiri, aku akan tetap di sini’

Sementara Fatima memilih bertahan, Iman (55), kakak perempuannya, ingin pergi.

Iman tinggal bersama suaminya, Ali, seorang mandor tukang plester, dan keempat anak mereka: Hassan (25, programmer), Fatima (19, mahasiswi), serta si kembar Mariam dan Marwa (16, masih sekolah). Semua anak masih berbagi satu kamar di rumah mereka yang sederhana tapi cerah dan penuh tawa.

Ruang tamu riuh dengan canda saat Iman duduk bersama Mariam dan Hassan, mengedarkan cokelat dan jus sambil saudara-saudara mereka mengobrol. Ada gurauan di antara kenangan ketakutan, pengungsian, dan ketangguhan.

Dahiyeh tak pernah benar-benar aman. Sejarahnya dibentuk oleh Perang Saudara Lebanon (1975-1990) dan serangan Israel, termasuk perang dahsyat tahun 2006.

"Ini seperti siklus," kata Iman. "Perang lagi, ketakutan lagi, mengungsi lagi." Selama perang terakhir Israel melawan Lebanon, keluarga ini berulang kali mengungsi.

Awalnya mereka pergi ke desa Kayfoun di Governorat Gunung Lebanon pada akhir September, namun ketegangan di sana tinggi. Seorang warga setempat menyebarkan rumor tentang serangan Israel yang bakal terjadi, berusaha menakut-nakuti keluarga pengungsi.

Setelah seminggu, mereka meninggalkan Kayfoun dan lari ke Tripoli di utara. Hidup di sana lebih tenang, dan kehadiran kerabat dekat memberi sedikit kenyamanan, meski rasa tak percaya tetap ada.

Iman sering dihakimi karena hijabnya, yang membuatnya dianggap "berafiliasi dengan perlawanan" oleh orang-orang yang menyalahkan Hezbollah atas serangan Israel ke Lebanon.

"Kami semua jadi tertutup," kenang Hassan. "Kami lebih banyak di rumah, tapi ada kerabat dekat dan beberapa teman baik. Kami duduk bersama, main kartu. Itu membantu."

MEMBACA  Ukraina, Rusia pertukaran ratusan tentara, warga sipil dalam pertukaran tahanan | Berita Perang Rusia-Ukraina

Awal Oktober, mereka mengikuti teman ke Baghdad, Irak. Di sana, mereka disambut hangat—bahkan lebih hangat dibanding di sebagian wilayah Lebanon.

Setelah gencatan senjata, mereka pulang. "Tak ada tempat lebih baik dari negara kami," tegas Iman. Tapi Dahiyeh tak lagi terasa aman baginya, meski ia punya ikatan kuat dengan lingkungan itu. Kini ia mencari rumah baru—di mana pun yang lebih aman.

"Kalau cuma aku, aku akan tetap di sini," katanya. "Tapi aku punya anak. Aku harus lindungi mereka."

‘Mereka tak mau menyewakan ke keluarga Syiah’

Hassan, putra Iman, mengingat saat pertama kali Israel mengebom dekat apartemen mereka—pada 1 April, melanggar gencatan senjata November.

"Aku cuma ingin keluar," ujarnya. "Tak peduli ke mana. Asal bukan sasaran."

Tapi mencari tempat sewa baru tak semudah itu.

Mereka pertimbangkan pindah ke Hazmieh. Dekat dengan Dahiyeh tapi bukan bagian darinya, sehingga relatif lebih aman. Juga lebih dekat dengan Mariam, saudara Iman yang tinggal di sana.

Tapi Iman berkata, "Di Hazmieh, kebanyakan tak mau menyewakan ke keluarga Syiah, atau harganya jadi didobelkan."

Meski ketakutan makin besar, keluarga ini tak ingin meninggalkan Lebanon. Hassan bahkan menolak tawaran kerja di luar negeri. Mereka lelah, tapi belum siap tinggalkan negara mereka.

Bahkan di tengah perang, orang tua Hassan tak mau meninggalkan Dahiyeh. Ia harus meyakinkan mereka untuk pergi ke Kayfoun, lalu akhirnya ke Irak.

Hal sama terjadi setelah gencatan senjata—diskusi panjang tentang apakah harus pergi. Ketakutan sang ibu pada keselamatan anaknya yang akhirnya membuatnya setuju.

Tapi lebih dari sebulan setelah berbicara dengan Al Jazeera awal Juni, mereka masih mencari tempat yang mau menerima dan terjangkau bagi mereka.