Ada “alasan yang masuk akal” untuk meyakini bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tengah terjadi di Sudan barat, ujar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Dewan Keamanan PBB pada Kamis.
Kekerasan seksual yang ditargetkan terhadap perempuan dan anak perempuan dari etnis tertentu disebut sebagai salah satu temuan paling mengganggu yang muncul dari penyelidikan ICC atas kejahatan di Darfur.
Perang meletus antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada April 2023, mengakibatkan apa yang PBB sebut sebagai “korban sipil yang menghancurkan”.
Wakil Jaksa ICC, Nazhat Shameem Khan, mengatakan “sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kedalaman penderitaan” di wilayah itu.
Dewan Keamanan PBB memberi mandat kepada ICC untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan di Darfur dua dekade lalu, dengan membuka beberapa penyelidikan atas kejahatan perang dan genosida di wilayah tersebut sejak Juli 2002.
ICC meluncurkan penyelidikan baru pada 2023 setelah perang saudara pecah lagi, mewawancarai korban yang melarikan diri dari konflik terbaru ke Chad tetangga.
Ny. Khan menggambarkan “pola pelanggaran yang tak terhindarkan”, dan menekankan bahwa tim sedang berupaya mengubah kejahatan tersebut menjadi bukti untuk pengadilan.
Tuduhan kejahatan perang terus berlanjut dalam dua tahun terakhir, dan pada Januari 2025 AS menetapkan bahwa RSF dan milisi sekutunya telah melakukan genosida.
RSF membantah klaim tersebut dan menyatakan tidak terlibat dalam apa yang mereka sebut sebagai “konflik suku” di Darfur.
Laporan PBB menunjukkan bahwa kondisi di Darfur terus memburuk, dengan rumah sakit dan konvoi kemanusiaan menjadi sasaran serangan, serta makanan dan air sengaja ditahan.
Warga sipil di ibu kota El-Fasher sepenuhnya terputus dari bantuan karena pengepungan bersenjata oleh pasukan RSF, sementara wabah kolera di zona konflik mengancam pasokan air yang sudah langka.
Kelaparan yang makin parah melanda wilayah tersebut, dengan badan anak-anak PBB (Unicef) melaporkan lebih dari 40.000 anak dirawat akibat gizi buruk akut antara Januari dan Mei 2025—dua kali lipat lebih banyak dari periode yang sama tahun lalu.
“Anak-anak di Darfur kelaparan karena konflik dan terputus dari bantuan yang seharusnya bisa menyelamatkan mereka,” kata Sheldon Yett dari Unicef.
Dalam dua tahun terakhir, lebih dari 150.000 orang tewas dalam konflik dan sekitar 12 juta mengungsi, tapi Ny. Khan memperingatkan, “Jangan berilusi—situasi bisa semakin buruk.”