Meryl Sebastian
BBC News, Kochi
Anahita Sachdev
BBC News, Delhi
Maddock Films
Film ini mengisahkan cerita cinta antara seorang perempuan dari negara bagian selatan Kerala dan seorang pria dari Delhi di India utara.
Sebuah film Bollywood baru telah kembali memicu perbincangan lama mengenai bagaimana industri film terbesar dan paling berpengaruh di India merepresentasikan karakter-karakter dari negara bagian yang tidak berbahasa Hindi.
“Param Sundari,” sebuah film romkom yang dibintangi Sidharth Malhotra dan Janhvi Kapoor, bercerita tentang kisah cinta antara seorang wanita dari Kerala dan seorang pria dari Delhi.
Param dan Sundari awalnya berseteru lalu kemudian jatuh cinta, berhasil mengatasi perbedaan budaya di antara mereka.
Gagasan ini bukanlah hal baru: Bollywood telah lama mengeksplorasi benturan budaya utara-selatan melalui film-film romantis komedi, dan di negara multibahasa, kisah percintaan lintas budaya yang dijalankan dengan baik dapat menjadi sukses.
Namun dalam kasus ini, para kritikus dan pengguna media sosial dari Kerala dan lainnya mengecam film ini karena penggambaran Karala yang karikatural, khususnya karakter Sundari.
Diperankan oleh Kapoor, Sundari sering mengenakan rangkaian bunga melati di rambutnya, dapat berkomunikasi dengan gajah, dan memanjat pohon kelapa sebagai hobi—semua stereotip yang sering dikaitkan dengan Kerala. Meskipun telah tinggal di sana hampir seumur hidup, bahasa Malayalamnya sangat buruk.
Kritik bermula segera setelah trailer film dirilis, dengan banyak orang yang bingung dengan Sundari yang seolah salah melafalkan namanya sendiri. Hal ini juga memicu perbandingan dengan karakter lain yang banyak dicemooh, Shalini Unnikrishnan (diperankan Adah Sharma), dari film kontroversial The Kerala Story.
Sunshine Pictures/YouTube
Film The Kerala Story (2023) memicu kontroversi besar di India
Dalam kedua film tersebut, sang tokoh utama perempuan, meski tinggal di Kerala, berbicara dalam bahasa Hindi dan tidak mampu berbahasa Malayalam dengan lancar ketika mereka mencobanya.
Beberapa menit setelah film Param Sundari dimulai, ketika teman Param mengetahui bahwa mereka akan mengunjungi sebuah desa di Kerala bernama Nangiarkulangara, ia melafalkan nama itu dengan berlebihan dan bertanya, “Itu dimana? Afrika?”, menggabungkan stereotip dan rasisme kasual dalam satu pertanyaan.
Sesampainya di Kerala, film ini dengan cepat menyajikan daftar hal-hal yang mungkin diasosiasikan orang awam dengan negara bagian yang digemari turis tersebut—backwater yang terkenal, pohon kelapa yang ada di mana-mana, tuak, gajah, dan Onam, festivalnya yang paling populer.
Seorang pengulas menyebut film ini sebagai “iklan pariwisata Kerala sepanjang film” yang “dengan gegabah mengabaikan semua kemungkinan nuansa budaya”.
Film ini penuh dengan lelucon kelapa: Param dan Sundari pertama kali bertemu di dekat pohon kelapa, ia meluapkan amarahnya dengan memanen kelapa dengan penuh emosi, dan ia akhirnya menyatakan cintanya dari atas pohon kelapa.
Bagi banyak penonton, ketidakautentikan budaya bukanlah hal yang fatal.
Rajiv, dari negara bagian Bihar di utara, memandang Param Sundari sebagai jendela menyenangkan ke budaya yang tidak familiar, menyatakan bahwa penggambarannya mungkin tidak sesuai dengan kehidupan nyata, tetapi mengejar autentisitas dapat mengurangi nilai hiburan.
“Mungkin ini akan berubah secara bertahap. Tapi kebebasan artistik sebanyak ini masih boleh untuk membuat film menarik,” katanya.
Namun bagi yang lain, upaya film untuk mendidik penonton terlihat setengah hati.
Dalam ulasan pedasnya, kritikus Sowmya Rajendran mencerca film ini sebagai “generik, melelahkan, dan ofensif,” dengan mengatakan bahwa film ini menyembunyikan klise usang di balik latar Kerala yang “eksotis” dan skor musik yang terlalu menonjolkan “keasingan” daerah tersebut.
AFP via Getty Images
Chennai Express (2013), yang dibintangi superstar Shah Rukh Khan dan Deepika Padukone, sukses besar di box office
Film sering menghadapi dan bertahan dari kritik pemeran: Chennai Express (2013) dicerca kritikus tetapi melambung di box office.
Ketika pembuat film Mary Kom (2014) memilih Priyanka Chopra untuk memerankan petinju peraih medali Olimpiade dari negara bagian Manipur, hal itu menuai banyak kritik. Chopra sendiri kemudian mengakui bahwa “pada kenyataannya, peran itu seharusnya diberikan kepada seseorang dari wilayah timur laut”. Namun film itu sukses dan Chopra memenangkan penghargaan untuk penampilannya yang penuh semangat.
Dan karikatur Mehmood tentang seorang penyanyi Tamil dalam film Padosan (1968) tetap menjadi klasik.
Namun lanskap hiburan India telah bergeser: penutupan bioskop pasca-pandemi dan bangkitnya *streaming* telah membuat Bollywood kesulitan meraih kesuksesan, dengan kegagalan film-film beranggaran besar menggoyang dominasinya.
Film-film non-Hindi kini menjangkau penonton nasional melalui Netflix dan Amazon Prime Video, mendapatkan penggemar melalui versi dubbing, sementara rilis besar Bollywood tidak lagi mendominasi prime time bioskop.
Sejak rilis, Param Sundari meraup pendapatan dengan stabil namun lambat, sementara film pahlawan super perempuan Malayalam, Lokah, menjadi superhit dengan pujian atas alur dan eksekusi inovatifnya.
Dalam artikelnya tentang Param Sundari, penulis Cris mencatat betapa banyak industri film India menerima aktor yang memerankan peran di luar budaya mereka sendiri.
“Penonton baru tersinggung ketika para karakter terlihat seperti karikatur dari suatu negara bagian atau rakyatnya,” tulisnya.
Param Sundari memang berusaha menyeimbangkan jalan ceritanya. Lebih dari sekali, Sundari memberikan pelajaran kepada Param dan temannya tentang asumsi mereka mengenai negaranya—dalam satu instance, membalikkan bias tentang orang India utara yang “tidak tahu, tidak berpendidikan, arogan, dan merasa berhak”.
Courtesy Cannes Film Festival
All We Imagine As Light (2024) mencetak sejarah dengan memenangkan Grand Prix di festival film Cannes
Para komentator menunjuk pada contoh-contoh kuat dalam masyarakat India yang mobile: Godha (2017) dengan terampil menceritakan percintaan lintas budaya seorang pegulat Punjabi di Kerala; Axone (2019) menangani diskriminasi yang dihadapi orang-orang dari India timur laut dengan kecerdasan; Qarib Qarib Single (2017) mengisahkan seorang wanita Malayali di Mumbai; dan pemenang Cannes All We Imagine As Light (2024) menggambarkan perjuangan imigran dengan nuansa.
Bollywood tidak sendirian: Penulis dan penyair Aleena mencatat bahwa sinema Malayalam telah membuat stereotip suku, Dalit (dulu disebut kaum tak tersentuh), dan karakter Tamil, sementara penutur bahasa Hindi sering dikarikaturkan dalam film-film selatan.
“Saya pikir ini adalah pertanyaan besar mengenai dinamika kekuasaan dan representasi,” kata Aleena, menekankan peran suatu komunitas dalam membentuk cerita mereka sendiri.
Ia mengatakan bahwa ketika sebuah cerita menggambarkan suatu komunitas tanpa menyertakan suara nyata orang-orang dari komunitas tersebut, risikonya adalah menjadi miring dan tidak seimbang.
“Kita perlu membuat orang menjadi peserta atau pemangku kepentingan dalam seni yang kita coba buat.”
Ikuti BBC News India di Instagram, YouTube, Twitter dan Facebook.