Pengacara korban pelanggaran HAM selama konflik bersenjata di Peru yang berlangsung puluhan tahun berjanji akan mengajukan banding ke lembaga internasional untuk membatalkan undang-undang yang disahkan oleh Kongres negara itu. UU ini akan memberikan amnesti kepada anggota militer dan polisi yang sedang diadili, serta pasukan lainnya.
“Kami tidak hanya berupaya di tingkat domestik untuk membatalkannya, tapi sudah mengambil langkah di tingkat internasional,” kata pengacara Gloria Cano, direktur Asosiasi Pro Hak Asasi Manusia, dalam konferensi pers pada Kamis.
Komisi kongres pada Rabu menyetujui RUU yang memberikan amnesti kepada anggota angkatan bersenjata, polisi nasional, dan komite pertahanan lokal, kata legislator Alejandro Cavero, wakil presiden ketiga Kongres Peru.
Cano juga menyatakan bahwa asosiasinya telah memberi tahu Komisi dan Pengadilan HAM Antar-Amerika, serta berencana mengadu ke PBB.
Setelah Kongres Peru mengesahkan RUU itu, Volker Türk, koordinator HAM PBB, menulis di X bahwa “impunitas tidak menyembunyikan kejahatan, malah memperbesarnya.”
Amnesty International sebelumnya mendesak legislator berpihak pada korban dan menolak RUU. “Hak atas keadilan ribuan korban eksekusi di luar pengadilan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual akan dilanggar,” kata lembaga itu di X.
Koalisi organisasi HAM di Peru menyatakan UU baru ini bisa menghapus 156 vonis dan 600 kasus yang sedang diadili.
UU yang menunggu persetujuan Presiden Dina Boluarte ini menguntungkan personel berseragam yang dituduh, masih diselidiki, atau diadili atas kejahatan saat konflik bersenjata 1980–2000 melawan pemberontak sayap kiri. Boluarte belum berkomentar soal amnesti ini, bahkan sebelum pengesahannya.
RUU diajukan oleh anggota Kongres Fernando Rospigliosi dari partai sayap kanan Fuerza Popular pimpinan Keiko Fujimori, putri mantan pemimpin Alberto Fujimori.
Masa kepresidenan Fujimori sejak 1990 diwarnai pemerintahan yang kejam.
Ia dipenjara atas kekejaman—termasuk pembantaian warga sipil oleh tentara—tetapi dibebaskan pada 2023 dengan alasan kemanusiaan.
UU baru ini menyatakan amnesti kemanusiaan akan diberikan kepada narapidana berusia di atas 70 tahun yang telah dihukum atau menjalani hukuman penjara.
Kritikus memperingatkan bahwa UU ini menghambat pencarian kebenaran tentang periode konflik kekerasan antara pasukan negara melawan pemberontak Shining Path dan Tupac Amaru, yang menewaskan sekitar 70.000 orang.
“Pemberian amnesti pada tentara dan polisi tidak boleh menjadi dalih impunitas,” kata anggota Kongres Alex Flores dari Partai Sosialis dalam debat RUU.
Belakangan ini kerap ada upaya melindungi militer dan polisi dari tuntutan atas kejahatan selama konflik—tetapi penentang amnesti sebelumnya pernah menang di lembaga internasional.
Pengadilan HAM Antar-Amerika setidaknya dua kali menyatakan UU amnesti di Peru tidak sah karena melanggar hak atas keadilan dan standar HAM internasional.
Aktivis HAM percaya bahwa keanggotaan Peru dalam Sistem HAM Antar-Amerika dan kewajibannya membuat UU amnesti inkonstitusional.
UU amnesti 1995 di Peru melindungi personel militer dan polisi dari tuntutan atas pelanggaran HAM selama konflik, termasuk pembantaian, penyiksaan, dan penghilangan paksa.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Peru menemukan mayoritas korban konflik adalah warga asli Peru yang terjebak antara pasukan keamanan dan Shining Path. Ada lebih dari 4.000 kuburan massal di seluruh negeri akibat kekerasan politik selama dua dekade itu.
Pada Agustus 2024, Peru memberlakukan kadaluwarsa untuk kejahatan kemanusiaan sebelum 2002, menghentikan ratusan penyelidikan dugaan kejahatan selama konflik.
Inisiatif ini menguntungkan mendiang Fujimori dan 600 personel militer yang diadili.