"Hey Daddy": Bagaimana Para Pemimpin Dunia Memuji Ego Trump | Berita Donald Trump

Versi Bahasa Indonesia (Tingkat C2) dengan Beberapa Kesalahan/Ketikan:

Dalam konferensi pers pra-KTT NATO di Den Haag pekan ini, Presiden AS Donald Trump menggambarkan pertikaian Israel dan Iran layaknya anak-anak yang berkelahi di halaman sekolah, yang akhirnya harus dipisahkan.

“Kadang Daddy harus pakai bahasa yang keras,” canda Mark Rutte, Sekjen NATO, menyela.

Ditanya soal komentar tersebut usai KTT, Trump bilang: “Enggak, dia suka aku. Dia pasti suka aku. Kalau enggak, aku kasih tahu kalian. Aku balik dan hajar dia, oke? Dia bilang itu dengan sayang. Hey Daddy. Kamu Daddy-ku.”

Gedung Putih menilai Rutte sedang menjilat presiden AS, lalu membuat rekaman kunjungan Trump ke Belanda diiringi lagu *Hey Daddy* milik Usher.

Pujian Rutte kepada Trump tak berhenti di situ. Soal perang Rusia-Ukraina, Rutte berkata sebelum KTT NATO: “Saat ia menjabat, dia memulai dialog dengan Presiden Putin, dan aku selalu anggap itu krusial. Hanya satu pemimpin yang bisa pecahkan kebuntuan awalnya, dan itu harus presiden AS, karena dia pemimpin paling kuat di dunia.”

Tapi seberapa tulus pernyataan pemimpin dunia tentang Donald Trump? Apa pujian ini benar-benar membaikann hubungan bilateral, dan apakah menjilat itu efektif?

Siapa yang Sukses Menangani Trump dan Apa Hasilnya?

Baik Rutte maupun pemimpin Eropa lain tak terlibat dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin lama setelah invasi Ukraina 2022, karena dianggap sia-sia.

Kanselir Jerman Olaf Scholz dikritik habis sebagai “defeatis” saat menelepon Putin November lalu, sementara Viktor Orban (Hungaria) dan Robert Fico (Slovakia)—satu-satunya pemimpin Eropa yang berkunjung ke Kremlin selama perang—dianggap kolaborasionis.

Tapi ketika Trump mulai bicara dengan Putin, banyak orang Eropa memuji seperti Rutte saat kunjungan perdana ke Gedung Putih setelah ia menjabat Januari lalu.

MEMBACA  Dapatkah tarif Trump mengguncang tata ekonomi dunia? | Perang Dagang

**Keir Starmer, Inggris**

“Terima kasih sudah mengubah percakapan sehingga perdamaian mungkin, dan kami akan bekerja dengan Anda,” kata PM Inggris Keir Starmer di Oval Office Februari lalu.

Starmer mengeluarkan trik. Mengetahui Trump suka konsep kekuasaan turun-temurun, ia mengeluarkan surat dari Raja Charles III berisi undangan kunjungan kenegaraan kedua ke Kastil Windsor—hal yang belum pernah terjadi.

Trump terdiam sejenak. “Negaramu luar biasa, dan akan jadi kehormatan kami untuk datang, terima kasih,” ujarnya setelah sadar.

Starmer beberapa kali berjabat tangan dan menyentuh bahu Trump sebagai tanda keakraban.

Tapi apa efeknya? Trump membekukan bantuan militer ke Ukraina bulan berikutnya, memicu kemarahan Inggris serta negara Nordik dan Baltik.

**Giorgia Meloni, Italia**

Baik Starmer maupun PM Italia Giorgia Meloni mengidentifikasi Ukraina sebagai isu krusial bagi Trump, yang jelas-jelas ingin menang Hadiah Nobel Perdamaian dengan mengakhiri konflik global. Sejauh ini, ia mengklaim berhasil menghentikan “Perang 12 Hari” Israel-Iran, mencegah perang nuklir usai pertempuran udara India-Pakistan 7 Mei, dan mengawal kesepakatan damai DRC-Rwanda.

Karena itu, Meloni mengambil pendekatan serupa: “Bersama kita bela kebebasan Ukraina. Bersama kita bisa ciptakan perdamaian adil dan langgeng. Kami dukung usahamu, Donald,” katanya saat berkunjung April lalu.

Meloni cerdas menyentuh isu sensitif Trump: kebijakan anti-Fentanyl, investasi $10 miliar ke AS, dan kontrol imigran ilegal. Bahkan, ia memodifikasi slogan Trump: *Make the West Great Again*. “Kita bisa lakukan ini bersama,” katanya pada Trump yang tersenyum lebar.

Tapi ini belum berujung pada kunjungan Trump ke Roma, yang akan mengukuhkan posisi Meloni sebagai pemimpin besar Eropa.

**Mark Carney, Kanada**

PM baru Kanada Mark Carney bersikap manis sekaligus tegas. Ia memuji Trump sebagai “presiden transformatif” yang membela pekerja AS, tapi menolak ambisi Trump untuk aneksasi Kanada sebagai negara bagian ke-51. “Ini bukan untuk dijual, dan tak akan pernah,” tegas Carney.

MEMBACA  Anggota Parlemen Inggris menghadapi pemungutan suara penting tentang RUU bantuan bunuh diri yang memecah belah | Berita Politik

Hubungan membaik setelah ketegangan Trump dengan pendahulu Carney, Justin Trudeau, yang disebutnya “sangat tidak jujur dan lemah” di KTT G7 2018.

Tapi Carney mungkin tak berpengaruh. Jumat lalu, Trump hentikan perundingan dagang dan ancam tarif tambahan akibat pajak digital Kanada.

Pertemuan Mana yang Kurang Berhasil?

**Emmanuel Macron, Prancis**

Pertemuan Trump dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron Februari lalu terasa dingin. Trump bicara panjang lebar dengan nada defensif untuk membenarkan kebijakan Ukraina-nya, sementara Macron menekankan perdamaian bukan berarti menyerah—sentimen banyak pemimpin Eropa yang jarang diutarakan ke Trump.

Sementara itu, Prancis menolak menyerah dalam perundingan dagang UE-AS. Anggota UE lain ingin deal “asimetris” yang lebih menguntungkan AS, demi menyelesaikannya.

Usai KTT G7 dua pekan lalu, ketegangan makin jelas: Trump sebut Macron “cari perhatian” di media sosial.

**Volodymyr Zelenskyy, Ukraina**

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dihajar Trump dan Wapres JD Vance saat ke Gedung Putih 28 Februari untuk tanda tangani perjanjian mineral. Vance mengecam Zelenskyy karena kurang “bersyukur” pada AS, sementara Trump bilang ia “bermain dengan nyawa jutaan orang dan Perang Dunia III.”

Tapi hubungan mereka membaik saat bertemu dadakan di pemakaman Paus Fransiskus April lalu. Jurubicara Gedung Putih sebut pertemuan itu “sangat produktif.”

**Cyril Ramaphosa, Afrika Selatan**

Bulan lalu, Trump “jebak” Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa dengan memutarkan video demo partai oposisi yang ingin usir petani kulit putih. Trump tuduh Afrika Selatan lakukan “genosida” terhadap mereka.

Ramaphosa tetap sabar, menjelaskan bahwa dalam sistem parlementer, pandangan berbeda tidak mencerminkan kebijakan pemerintah, dan korban kekerasan di negaranya kebanyakan kulit hitam. “Kami bersedia bahas kekhawatiran Anda,” katanya, sedikit meredakan Trump.

MEMBACA  Israel Batalkan Kunjungan Macron Terkait Pengakuan Palestina

Trump malah melenceng bicara soal jet pemberian Qatar. “Maaf aku tak punya pesawat untukmu,” canda Ramaphosa, seolah bangga tak menjilat.

Apa Pujian Berpengaruh pada Trump?

Beberapa pakar percaya pujian bisa cegah konfrontasi dengan Trump. Tapi ini tak mengubah kebijakan AS. Rutte dan pemimpin NATO gagal tarik AS kembali ke Grup Kontak untuk bantu Ukraina.

Mereka yang dekat dengan Trump juga tak selalu dapat yang diinginkan. Kesepakatan dagang Starmer dengan AS masih mempertahankan tarif, walau lebih rendah. Meloni masih nunggu kunjungan Trump.

Di sisi lain, ketegasan yang santun justru efektif. Trump berhenti wacanakan aneksasi Kanada dan Greenland berkat ketegasan Carney dan PM Denmark Mette Frederiksen.

Upaya Trump mempermalukan Zelenskyy dan Ramaphosa juga gagal. Eropa ganti isi kekosongan bantuan militer AS ke Ukraina, sementara video “genosida putih” Trump tak meyakinkan publik AS.

*(Catatan: Ada beberapa kesalahan kecil seperti “membaikann” (harusnya “memperbaiki”), “defeatis” (lebih umum “kalah sebelum berperang”), dan “deal“ (lebih alami “kesepakatan”).)*