Petinggi Uni Eropa Ursula von der Leyen dan Antonio Costa akan bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping di Beijing saat UE dan Cina menandai 50 tahun hubungan diplomatik di tengah ketegangan yang terus memanas.
Von der Leyen dan Costa, yang masing-masing mengepalai Komisi Eropa dan Dewan Eropa, akan tiba di Beijing pada Kamis untuk KTT UE-Cina ke-25. Namun jelang KTT satu hari ini, sempat tak jelas apakah mereka benar-benar akan bertemu Xi karena ketegangan politik antara Brussels dan Beijing.
Pertemuan awalnya direncanakan sebagai KTT dua hari di Brussels, tapi Xi menolak undangan tersebut, menurut laporan Financial Times yang mengutip sumber terkait.
Baru pekan ini Kementerian Luar Negeri Cina mengonfirmasi secara resmi bahwa pertemuan antara Xi, von der Leyen, Costa, dan Perdana Menteri Cina Li Qiang akan tetap berlangsung.
Meski sempat ada tarik ulur jadwal, Beijing memandang acara ini sebagai peluang untuk memperbaiki hubungan dengan Eropa, kata Marina Rudyak, asisten profesor di Institut Studi Cina Universitas Heidelberg, Jerman.
“Dari sisi Cina, pesannya konsisten: ‘Mari normalisasi hubungan, fokus pada kerja sama pragmatis, tekankan kesepakatan dan akomodasi saat berselisih’,” ujar Rudyak kepada Al Jazeera.
Jelang KTT, media negara Cina memuat analisis positif tentang hubungan UE-Cina—laporan yang kerap dianggap sebagai cara tak langsung pejabat Cina menyampaikan pandangan terkait isu terkini.
Juru bicara Kemenlu Cina Guo Jiakun juga menggambarkan hubungan Cina-UE dengan istilah mengilap pada Selasa, sebagai “salah satu hubungan bilateral paling berpengaruh di dunia”.
“Hubungan Cina-UE kini berada di titik kritis: melanjutkan capaian lama sekaligus membuka bab baru,” kata Guo.
Ia menambahkan hubungan ini menghadapi “peluang dan tantangan baru”, menyoroti lanskap internasional yang “semakin turbulen dengan maraknya unilateralisme dan proteksionisme”.
Ketegangan terkait Xinjiang, Ukraina
Meski Beijing menawarkan rekonsiliasi, pengamat Barat pesimis KTT ini akan capai terobosan besar, mengingat sejumlah perselisihan yang masih berlarut.
UE dan Cina kerap bersitegang soal isu HAM dan penindasan politik di Hong Kong, Tibet, dan Xinjiang. Namun hubungan memburuk pada 2021 saat UE menjatuhkan sanksi ke pejabat Cina atas penindasan terhadap Muslim Uighur.
Cina membalas dengan sanksi ke 10 warga Eropa, termasuk anggota Parlemen Eropa dan sejumlah think tank.
Beijing mencabut sanksi terhadap anggota parlemen UE pada April sebagai gestur baik hati jelang KTT, tapi friksi politik lain tetap ada, terutama terkait hubungan erat Cina-Rusia sejak invasi Moskow ke Ukraina 2022.
Cina juga dituding menyokong ekonomi Rusia di tengah sanksi internasional, salah satunya lewat impor energi.
UE bahkan menuduh Cina mengelak embargo senjata dengan menjual barang “dual-use” ke Rusia yang bisa dipakai untuk keperluan sipil-militer.
Cina membela tindakannya, menyatakan selalu mendorong “perundingan, gencatan senjata, dan perdamaian” di Ukraina.
Tapi pejabat Eropa gemas saat Menlu Cina Wang Yi dikabarkan mengatakan ke rekannya di UE bahwa Beijing tak ingin Rusia kalah karena bakal membebaskan perhatian AS, menurut Rudyak.
Blok itu terus mengawasi k